BAB I
Lena ;
"Kalau benar orang itu hatinya untukmu, mungkin saja dia merasakan hal yang sama, rindu."
-Lena-
Bukan aku ingin menyudahi rasa ini. Tapi takdir memutus paksa agar aku berhenti. Ia lelah melihatku berjuang sendiri. Dengan menghadirkan sosok baru untukmu agar aku berbalik jauh, dan menyadari aku ke kamu hanyalah suntai ingin yang tidak akan pernah menemu janji suci.
Aku tutup catatan kecil yang selalu kuselipkan di dalam tas. Sebuah buku yang menampung segala perasaan di dalamnya. Seketika aku berbalik, setelah melihat begitu banyak orang berlalu lalang keluar masuk Puskesmas dengan ragam ekspresi. Ada yang meringis kesakitan ada juga yang tersenyum sekedar menenangkan diri.
Entah mengapa suasana ini seakan menekan sesak di dada. Ada semacam rasa yang tidak bisa aku jelaskan. Semacam sakit yang tidak berwujud. Namun, sampai detik ini aku bersyukur masih bisa berdiri mengawal sakit itu dengan baik.
"Heh!" Suara itu menggema keras sekali. "Kerjakan apa yang ada di depan kamu! Malah melamun!" Serunya beriring buku tebal menimpuk kepala. Aku mengerang, melirik balik menahan sakit. Seorang senior telah berdiri memandang masam di belakang membawa troli berisi peralatan rawat luka.
"Mau melamun sampai kapan? Emangnya di sini tempat bersantai orang-orang seperti kita? Bukan! Bukan! Ya! Di sini tempat liburannya orang-orang sehat saat sakit. Ini tuh Puskesmas! Bukan tempat bermanja dengan lamunan. Paham!"
Aku diam tidak berkomentar. Kalau menimpali sepatah kata saja bukan cuman buku registrasi, bisa-bisa peralatan di atas troli juga akan melayang menyapa tubuhku.
"Bangun! Sana bantu Kak Mita." Titahnya.
"Iya, iya," kataku melangkah malas. Biarkan Kak Dedi berkicau. Kuat-kuatkan hati saja.
Kak Dedi salah satu senior di Puskesmas Gunung Sari. Juga seorang dosen muda di salah satu kampus kesehatan swasta Mataram. Beliau memang galak. Kalau marah tidak peduli tempat. Tetapi Beliau baik dan sangat bertanggungjawab. Biar kata kami anak SMK Kesehatan yang tidak seahli anak-anak kuliahan, Kak Dedi tetap telaten mengajar kami bagaimana memberi tindakan. Tidak membeda-bedakan. Dibandingkan galak beliau lebih pantas disebut disiplin, profesional.
Aku masuk ke IGD. Menemui Kak Mita yang sibuk menyiapkan kasa dan beberapa instrumen minor set di troli.
"Lena, bawa NaCl buat Kak Dedi di ruang mawar, bed nomer tiga ya." Pintanya. NaCl larutan garam yang bisa digunakan untuk membersihkan luka.
Aku mengiyakan. "Baik Kak." Seraya melangkah cepat.
"Lena!" Panggilnya lagi. "Kamu mau kasi Kak Dedi NaCl kan?"
"Iya Kak."
"Tangan kamu kosong, infusnya mana?"
Kudapati kedua tanganku kosong. Tidak ada satu pun benda di dalamnya. Kak Mita lantas memelototi. "Mana?" Tanyanya lagi.
Aku perlahan berjalan mundur seperti robot. "Maaf," suaraku berat. Kemudian secepat kilat berbalik mengambil cairan infus di lemari lalu menyusul Kak Dedi ke ruang mawar.
Muka masam Kak Mita tidak bisa pudar. Aku sangat ceroboh. Selalu mengulang kesalahan yang sama. Menyesali itu, aku berjalan pelan mendekat pada Kak Dedi dengan perasaan tak menentu.
Kuperhatikan cara kerja Kak Dedi. Tangannya terampil dan begitu cekatan saat melakukan perawatan luka pada pasien luka bakar. Aku jadi sadar diri. Sudah hampir tiga tahun sekolah kesehatan belum juga mampu seperti Kak Dedi. Aku seperti bayi baru lahir belum menjadi dewasa seperti Beliau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories. (Sedang Dalam Proses Penerbitan Secara Indi)
Teen Fiction"Kalau benar orang itu hatinya untukmu, mungkin dia akan merasakan hal yang sama, rindu." ______Lena______