Malamnya, aku dan ketiga sahabatku mengunjungi pasar malam di Lapangan Rembige. Pengunjung membeludak padat datang silih berganti. Menikmati sederet wahana mulai dari rumah hantu hingga aneka macam kuliner, aksesoris, pakaian, atau sekedar melepas penat dengan berjalan di sekitar menikmati keramaian.
Dena, Anisa dan Andin telah lebih dulu masuk ke rumah hantu. Sedangkan aku memilih berjalan di sekitar pedagang aksesoris melihat-lihat pernak-pernik dan pakaian. Sejumlah pasangan berlalu lalang tepat di hadapku. Sudah jadi hal biasa walau sedikit mengoyak hati. Kemesraan-kemesraan yang mereka pamerkan seakan-akan meletakkanku di bagian terjauh dari kata bahagia. Perasaan tersisih menyergap seperti angin menyapa dan rasa kesepian memuncak hingga ubun-ubun.
"Apa cuma aku di dunia ini yang nggak punya pacar? Atau apa cuma aku di dunia ini yang belum bisa melepaskan masa lalu?" Aku mendesah pasrah tanpa ada jawaban. Menggerutu, mengutuk para pemamer cinta itu.
Kulepas gelang yang tadinya akan aku beli. Setelah melihat mereka berebutan membeli untuk kekasihnya. Rasanya risih kalu semisal aku pun membeli untuk diri sendiri. Tidak adil!
"Pasti sendiri. Sudah kuduga!"
Aku menoleh terkejut. Melihat laki-laki dibalut kaos oblong putih berukuran lebih besar dari badannya. Menggunakan celana jeans hitam dan rambut berponi pirang telah berdiri tepat di depanku.
"Jangan lihat aku seperti itu. Aku tahu kamu kesepian," katanya selang beberapa saat.
Sekilas, jelas bahwa laki-laki ini adalah orang yang sama dengan dia yang menemuiku di sekolah waktu itu. Tidak ada yang berubah dari wajahnya jika kumungkinkan menebak bahwa itu bukan dia. Seuntai senyumnya terukir dan menjadi bukti dari selidik singkatku bahwa memanglah dia. Senyum itu sama, seperti kemarin. Tidak ada yang berbeda.
"Benar. Ternyata kamu memang kesepian." Tekannya lagi disela selidikku.
Aku terpengarah lalu berkata, "kesepian? Siapa yang kesepian! Aku kira ini bukan kalimat pembuka yang baik untuk memulai percakapan." Celetukku merasa kesal. Kesalku menjadi dua kali lipat. Pertama karena Si pemamer cinta. Kedua karena dia menebak tepat. Fakta bahwa aku memang sedang kesepian.
"Mau ke mana? Kok pergi?"
Dia berlari kecil menyesuaikan langkah denganku yang menyelinap pergi. Tidak aku hiraukan dia yang terus mengejar. Peduli sekali aku padanya kalau sampai berbalik. Sedangkan bicaranya saja tidak semenyenangkan hari kemarin.
"Udah, nggak usah jauh-jauh, bentar lagi kamu juga bakal balik ke aku," cetusnya.
"Hah! Bilang apa?"
"Tuh 'kan benar," dia berucap. Aku menyadari posisi tubuh telah berbalik menghadapnya. "udah, aku bilang jangan melihatku seperti itu, nanti aku jatuh cinta, gimana? Emangnya kalau aku udah jatuh cinta kamu mau bertanggung jawab?"
Sekujur tubuhku seolah tersihir mendengar kalimatnya. Kesal brusan hilang saat kedua matanya menatapku. Langkah demi langkah membawa aku lebih dekat berdiri tepat satu jengkal dari dia. Pandanganku tidak berpaling menatap dia dalam.
"Apa yang kamu cari di mataku tidak akan kamu temukan jika itu dirimu, tapi coba cari di hatiku, hanya ada kamu satu-satunya orang di sana." Dia berucap pelan dan sungguh jelas terdengar olehku.
Rona merah pada wajah tak bisa aku tutup-tutupi. Ada kesal dan juga malu. Ada senang dan juga risih. Keduanya bertemu dalam bahasa tubuhku. Pada dasarnya wanita senang diperlakukan seperti ini. Saat disanjung atau saat diyakinkan akan dirinya. Yah, sifat alami wanita seperti itu.
Aku tidak ingin larut meng-wahkan kalimatnya lantas membalikkan badan kemudian pergi. Kalau tidak seperti itu boleh jadi akulah yang akan jatuh hati jika tak menguasi diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories. (Sedang Dalam Proses Penerbitan Secara Indi)
Teen Fiction"Kalau benar orang itu hatinya untukmu, mungkin dia akan merasakan hal yang sama, rindu." ______Lena______