8. Cara mencintai yang paling baik adalah memaafkan

70 62 10
                                    

Selasa pagi menjelang siang pukul 10:15 Wita. Setelah mengumpulkan hasil diskusi kelas ke pak Anto, guru yang mengajar pelajaran Kebutuhan dasar manusia. Segera aku bergerak ke kantin sekolah bersma Dena, Andin, juga Anisa. Begitu banyak siswa yang berkumpul membentuk antrian panjang untuk membayar makanan yang sudah mereka ambil.

"Len, di panggil pak kepsek." Arsya menghampiri begitu melihatku berada di antrian paling belakang.

"Hah! Aku? Aku di panggil kepala sekolah?" Sontak aku terkejut. "Kenapa? Ada apa? Aku nggak ada buat masalah kok."

"Nggak tau juga sih kenapa. Cuman kepsek minta kamu ke sana. Cepat ya, Len." Intruksinya.

Dena, Anisa dan Andin melongo terkejut. Begitu pula diriku. Seorang kepala sekolah memanggil aku? Sungguh sangat mustahil. Aku bukanlah siswa yang memiliki prestasi gemilang atau seorang siswa organisasi. Aku hanya siswa yang cukup kreatif dalam bidang tulis menulis, tidak lebih dari itu. Lantas masalah apa yang membuat kepala sekolah memanggilku?

"Ada apa ya?" Pikirku gugup. Selama ini hanya ada dua alasan kepala sekolah memanggil siswanya. Pertama karena siswa itu berpestasi. Kedua karena sisswa itu bermasalah dalam perestasi. "Aaaah, ada apa sih?" Pekikku semakin gugup saat menerka-nerka. Cepat-cepat aku merapikan seragam yang melekat di tubuhku. Pastikan name tag terpasang. Sepatu pantovel hitam bersih dari perpaduan warna yang lain. Seragam harus putih dari atas hingga bawah, dan rambut tidak boleh terurai.

"Aku ke sana ya," kataku setelah merasa yakin walau debar jantungku semakin tak terkontrol. Aku memasuki ruangan hijau yang terletak lebih dalam di antara ruangan guru. Di sana lelaki paruh baya tengah duduk menghadap komputer seorang diri. Terlihat cukup sibuk. Namun entah atas dasar apa beliau memanggilku. Langkah kakiku menjadi amat pelan. Suara hentakan dari sepatu berusaha aku atur, lalu kemudian memberanikan diri menyapa. "Siang, Pak. Saya Lena Amelia, bapak memanggil saya?" tanyaku gugup.

"Oh iya," kata beliau sigap meski beberapa saat terdiam melihatku. "Kamu, Lena, ya?"

Aku mengangguk. "Sini, duduk dulu." Beliau mempersilahkan. "Ini ada titipan dari orang. Orang ini, memanggil bapak pas di depan gerbang." Jelasnya.

"Bapak heran, ada ya, orang yang memanggil seorang kepala sekolah cuman buat nitipin makanan." Cetus beliau seraya mengeluarkan kotak makan dari lemari kecil di mejanya.

"Ini titipan buat saya, Pak?"

"Lah, terus buat siapa? Tadi laki-laki bujang pakai kemeja kotak-kotak nyetop bapak di depan. Dia bilang tolong kasi kotak makan ini ke Lena, anak kelas XII B. Kamu toh yang namanya Lena?"

"Iya Pak, saya Lena, tapi saya nggak tahu siapa laki-laki yang Bapak maksud."

"Bapak juga kurang tahu, tadi dia sama perempuan, perempuan itu pakai jas putih," tutur beliau.

Gilang! Satu-satunya nama yang terlintas di kepalaku. Mungkinkah yang mengirim kotak nasi ini adalah Gilang? Ah! Tapi bagaimana bisa dia melakukan hal semacam ini kepada kepala sekolahku.

"Lain kali kalau pacar kamu mau perhatian, suruh lihat dulu ke siapa dia mentipkan hal-hal seperti ini. Masak iya, kepala sekolah di suruh jadi tim sukses. Lah, lucu itu. Padahal, setiap hari kepala sekolah berkoar-koar bilang jangan pacaran dulu, sebentar lagi ujian nasional. Ini malah jadi tim sukses."

Senyumku tertarik ragu. Aku tahu, tidak sepenuhnya kepala sekolah bermaksud seperti itu. Ini hanya ledekan beliau kepada siswinya. Bukan maksud memperolok atau menghakimi. Tentu aku bisa melihat dari cara bicara dan intonasinya, juga bagaimana ekspresi beliau melihatku. Walau demikian aku tidak bisa menyembunyikan rasa malu. Ah, Tuhan.

Di luar, orang-orang sibuk mempertanyakan mengapa aku dipanggil. Aku bisa merasakan hal itu ketika baru saja beberapa langkah menginjak koridor luar. Mata-mata mereka menatap padaku bertanya-tanya. Terutama sahabat-sahabatku yang masih duduk menunggu di kantin.

Memories.  (Sedang Dalam Proses Penerbitan Secara Indi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang