9. Mungkinkah Rasa Itu Telah Habis Masanya?

70 55 5
                                    

Waktu yang makin beranjak jauh nyatanya tak membuat pulih hati yang patah. Kenangan-kenangan beruntun itu justeru memadam angan untuk bangkit. Ketidakmampuan mengubur kenangan hanya memberi sesak di dada. Aku tahu bahwa hati yang terlalu keras memaksakan diri melupakan hanya sedang menggali luka baru. Aku tidak ingin terus larut bersama kenangan pahit. Sudah waktunya bagiku melepas dia yang pergi. Jika memang sudah garis takdir, seberjuang apa pun aku untuknya tetap tidak akan berguna. Maka baiknya aku menentukan ke mana aku melangkah. Bukan berdiam diri dalam dilema yang tak bertepi.

Aku kembali duduk di hadapan wali kelas. Melanjutkan aktivitas seperti biasa. Menembus sepi yang kemarin melanda dengan sedikit ceramah pagi. Bukan Pak Ranu namanya kalau sehari saja tidak melihat siswanya. Abesn kosong kemarin tentu menjadi sebab kenapa siang ini aku berada di ruang guru. Beliau menatap padaku merasa yakin bahwa kemarin aku hanya membolos. Bukan sakit seperti yang sudah Dena atau Anisa jelaskan. Padahal aku bukan jenis siswa yang suka membolos. Masih berkelakukan baik seperti murid teladan. Bedanya aku hanya terlalu hanyut terbawa rasa patah yang sering membuatku lupa diri. Huh!

"Sakit apa kamu, Lena?" Tanya Pak Ranu dengan tatapan bertegangan tinggi. Memicu detakan cepat pada jantungku.

"Sakit panas Pak," kataku kaku.

"Mungkin bukan panas. Kayaknya sakitnya di hati kamu, Len..."

"Maksud Bapak?" Aku nyengir.

"Itu loh, sakit yang biasanya dirasakan kalau lagi rindu, tapi nggak dibalas-balas."

Aku tercengang mendongak beliau yang berubah serius. "Ada orang, nitip salam buat kamu, namanya Gilang. Dia bilang, nanti, besok atau lusa bisa buat kamu jadi rindu." Sambung Pak Ranu melanjutkan kalimatnya.

Seketika aku memajukan kepala mencoba melihat gerakan bibir Pak Ranu lebih jelas. Mungkin aku salah mendengar.

"Rindu! Rindu! Rindu itu toh maksudnya. Jajan seribuan yang pelastiknya warna merah?" Tuturnya lagi.

Aku melipat senyum di wajahku sekecil mungkin serta menggerakan tubuh sedikit lebih jauh. Suara Pak Ranu menggetarkan ruangan membuat para guru menoleh memperhatikan. Aku paham apa yang ada di benak beliau dan beliau pun paham apa yang ada di dalam hatiku. Bisa aku simpulkan bukan karena membolos aku berada di kursi panas ini. Kuyakini keberadaanku di sini murni karena hadirnya Gilang pagi tadi tanpa sepengetahuanku!

"Emang sekarang waktunya buat berpacaran!" Seru Pak Ranu lagi seraya memukul bahuku menggunakan buku. "Ujian nasional tinggal menunggu bulan! Bahas-bahas Rindu. Bahas rumus matematika sana!" Gertak pak Ranu.

Aku diam seribu bahasa. Menyahut pun akan menjadi salah. Suasana ini tidak semeneganggkan di medan perang tapi cukup menakutkan melebihi kisah horor. Bulu kudukku berdiri gagah, mataku terkejap-kejap takut memandangi Pak Ranu yang seketika berubah menyeramkan.

"Cowok tadi nitip buku ini ke Bapak. Buat kamu. Bagus dia ngasi buku buat kamu belajar. Cuman, apa masuk akal kalau nitip-nitip rindu juga?"

Ah! Aku mengelus dada seraya menarik napas panjang. "Maaf, Pak." Singkat aku berucap sambil meraih buku tebal berjudul kebutuhan dasar manusia itu.

"Pacar kamu berani, ya. Guru kayak kawan. Kawan biasanya jadi mediator. Lah sekarang saya jadi mediator pacaran siswi saya sendiri. Owalah dunia. Kenapa nggak sekalian saya jadi remaja di zaman sekarang ini aja," ucapnya berkacap.

Gilang kembali menebar benih-benih kekacauan di sekolah. Setelah melibatkan kepala sekolah, sekarang terang-terangan pada wali kelasku. Aku tertunduk sadar diri. Ini adalah kesalahan. Tidak mungkin membela diri. Kalau pun mau menjelaskan kebenaran itu sangat mustahil. Gilang sudah nekat dan aku pun sepertinya akan tamat.

Memories.  (Sedang Dalam Proses Penerbitan Secara Indi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang