Notes Part. 1 (4/5)

395 62 9
                                    

Entah sejak kapan ia mulai mengagumi langit sebelum fajar, bagaimana warna kuning keemasan perlahan menyebar dan merubah langit temaram yang bertakhtakan berlian putih keperakan sementara mentari mengintip dengan malu-malu dari balik cakrawala. Hal yang membuatnya terkadang takut—hingga dada rasanya tertekan oleh suatu kekuatan kasat mata adalah saat menutup mata dan bisa samar mendengar debur ombak meskipun ia berada jauh sekali dari tepi lautan. Dua iris gelap kembali terbuka dan menatap hamparan taman halaman depan dengan lampu-lampu taman berwarna kuning terang berdiri diantara semak bunga-bunga yang mekar dan diselimuti oleh embun.

Matanya menangkap satu sosok di bawah balkon tempatnya berdiri, seorang pria dengan surai kuning pucat dengan tangan yang memegang sebuah pipa tipis hitam yang mengepulkan asap tipis yang menari ketika angin berhembus mengenainya.

Dazai menuruni setiap undakan tangga dengan hati-hati, kedua tangan dalam saku celana. Pria itu tetap mematung dalam posisinya, terkadang bergerak hanya untuk mendekatkan dan menghisap pipa dan menghembuskan kepulan asap putih pekat dari mulut. Pria itu hanya mengenakan kemeja putih dan celana coklat tua, dan Dazai bisa melihat sebuah boneka perempuan dengan gaun merah berada dalam lipatan tangan kiri.

Tidak ada tamu spesial yang menginap di villa ini selain dia, Tanizaki dan orang dari Divisi Khusus. Kunikida memberitahunya bahwa tugas mereka kali ini adalah membantu orang-orang dari pemerintah ini mencari Hayamine Kaoru yang dinyatakan menghilang secara misterius dari kamarnya sekitar satu bulan yang lalu. Dazai sempat berkeliling saat yakin seluruh penghuni rumah sudah terlelap dan mencari di mana kemungkinan kamar atau ruang kerja korban berada. Setelah mengelilingi hampir seluruh ruangan di lantai dua—menemukan ada dua-tiga pintu kamar yang terkunci ia akhirnya menemukan satu ruangan tepat di samping ruang baca di mana ia bertemu dengan Yumemizu Kiyoshiro dan Iwasaki Mii kemarin malam.

Ruangan itu nampak seperti ruang kerja pada umumnya, lantai berlapis karpet beludru warna merah dengan tumpukan kertas berisi tulisan—naskah cerita—yang bahkan menyaingi tinggi seseorang yang pernah dikenalnya dulu. Langkahnya sempat tertahan di ambang pintu, namun akhirnya sesuatu seolah menariknya masuk dan menemukan sebuah mesin tik dengan satu kertas yang masih terselip di atasnya. Dazai membaca barisan kalimat yang tertulis di sana, sebuah narasi mengenai pesta dansa super mewah dan seorang pangeran dan putri yang menari dengan lincah diantara para tamu undangan.

Namun, tidak ada yang tahu bahwa itu adalah malam terakhir bagi sang Putri.

Kalimat terpotong sampai disana.

"Kalau ada yang mau kamu katakan, cepat katakan." Suara rendah dari pria yang berdiri tak jauh darinya memecah lamunan seorang Dazai Osamu.

Sang detektif menoleh dan menyunggingkan sebuah senyum. "Oh bukan, aku hanya ingin menyapa calon rekan kerjaku? Sejenis itu lah.."

Pria itu menutup dua matanya dan kembali menghembuskan asap dari mulut. "Begitu?"

"Dari reaksi itu sepertinya Tuan sudah tahu kalau kita akan kerja sama untuk kasus ini,"

Iris gelap menatap langsung ke manik mata Dazai, sebuah sorotan tanpa emosi dan ia bisa merasakan sesuatu bergerak di balik punggung, memberi peringatan bahwa ada sesuatu yang akan terjadi bila ia terlalu lama di sini—terlalu lama mengobrol dengan pria ini. Dazai mengabaikan alarm dan insting yang menjerit dalam kepalanya dan melanjutkan, "Oh maaf, aku belum mengenalkan diriku ya.."

"Dazai Osamu." Pria itu seketika memotong, kini menoleh dan Dazai tak lagi hanya menatap profil samping miliknya.

Kesan yang pria ini berikan mengingatkannya pada sesuatu, dua matanya melihat sesuatu yang tak kasat mata namun begitu jelas terpantul dari dua iris yang kini mengarah hanya padanya. Mata yang menyorotkan sesuatu persis yang matanya sering tunjukkan beberapa tahun yang lalu. Bau pekat darah dan kematian memenuhi indra penciuman sang detektif yang justru membuatnya terkekeh pelan, "Oya? Sepertinya aku lumayan terkenal sampai Anda bisa tahu namaku?" Dazai memiringkan kepalanya, senyuman masih terukir di bibir.

Pria itu mendengus sebelum kembali menghisap pipanya, "Atasan sekertarisku memberikan wanti-wanti tentangmu,"

"Sungguh?"

"Begitulah."

"Aku memang punya beberapa kenalan di Divisi Kemampuan Khusus, tapi kurasa tidak ada seorang pun yang tahu kalau aku yang akan dikirimkan kesini? Kebetulan?"

"Hmph." Pria itu mengalihkan pandangannya pada langit yang perlahan berubah dari hitam menjadi biru tua dengan garis putih keemasan yang seolah merobek tirai kobalt dan menyamarkan bintang-bintang dan menyisakan bulan sabit yang menggantung di atas sana.

"Dan boleh aku tahu namamu, Tuan? Atau haruskah aku memanggilmu Paman Pipa?"

Dazai berusaha keras menahan tawa ketika pria itu memicingkan mata ke arahnya, "Ayatsuji."

"Ayatsuji?"

"Detektif swasta, Ayatsuji Yukito."

"Hmm... Nama yang asing, aku sempat berharap pernah mendengar nama atau ternyata pernah bertemu denganmu sebelum ini."

Ayatsuji tidak menjawab.

****

Dazai-san muncul tidak lama setelah pelayan mengeluarkan beberapa cangkir berisi teh hangat, ia melambaikan tangannya santai ke arahku seraya melenggang dan mengambil satu kursi kosong. Saat itu pula, dua mata seniorku bertemu dengan sosok yang duduk di ujung meja panjang nan mewah ini. Wanita dengan rambut hitam panjang dan dua iris biru tua yang dibingkai kacamata tanpa bingkai, kulit putihnya tampak transparan saat terkena siraman cahaya matahari pagi dari jendela raksasa di sisi kanan dan kiri ruang makan. Dazai-san segera menoleh ke arahku lagi seolah bertanya siapa wanita asing itu.

"Hayamine-sensei," Bisikku.

Tentu saja, Dazai-san memasang ekspresi yang kurang lebih sama denganku saat wanita itu mengenalkan dirinya.

Bagaimana tidak? Seseorang yang seharusnya tidak terlihat di rumah ini selama satu bulan itu kini duduk dengan santai dan menyeruput secangkir teh herbal panas. Aku merasakan sepasang mata menatap ke arahku dan menemukan dua iris violet menatapku sebelum beralih pada pria berambut pirang di sampingnya yang mengucapkan sesuatu tanpa suara. Kalau tidak salah dia wanita yang aku dan Dazai-san temui saat pesta, Tsujimura Mizuki-san.

"Maaf sudah memanggil kalian berempat jauh-jauh ke tempat antah berantah seperti ini." Suara bak gemerincing lonceng kaca yang tertiup angin musim panas memecah keheningan canggung di balik meja makan panjang ini. Hayamine-sensei menumpuk kedua tangannya di atas meja dan mengulum sebuah senyum tipis di bibir sewarna kelopak sakura miliknya.

"Sudah jadi kewajiban untuk kami datang ketika ada permintaan dari klien," Jawab Tsujimura-san singkat.

Dazai-san mengendikkan bahunya, "Kurasa dari kami juga kurang lebih sama," Ujarnya diakhiri senyum ramah.

"Tapi permintaan yang saya terima adalah menemukan seorang penulis novel misteri yang menghilang dari kediamannya selama satu bulan penuh, kalau ternyata Anda ada di rumah ini dalam keadaan sehat, kurasa kasus sudah bisa ditutup?" Kata Tsujimura-san lagi.

"Kalau boleh saya tanya.." Dazai-san ikut angkat suara, "Kemarin malam aku bertemu dengan seseorang bernama Yumemizu Kiyoshiro, kalau boleh tau beliau tidak menginap di villa ini, ya?" Lanjutnya sembari meletakan selembar kartu nama dengan sebuah tulisan tangan berantakan berisi 'Detektif Terkenal Yumemizu Kiyoshiro'.

Hayamine-sensei menatap Dazai-san seolah ia sudah berbicara dengan bahasa asing atau menebak akhir dari novel yang sedang ia tulissusah payah. Aku juga perlahan merasakan atmosfer ruang makan yang semakin berat dan membuatku cukup sulit untuk bernafas.

"Itu kemampuan Anda, bukan begitu, Hayamine-kun?" Suara berat yang berasal dari pria dengan surai kuning pucat itu membuat perhatianku teralih. "Bisa ceritakan apa maksudmu memanggil kami kemari, untuk yang kesekian kalinya?"

Hayamine-sensei mengatupkan mulutnya.

"A     i    n k l n me        ku,"

真実は嘘に語る ― Truth Tells a LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang