Thought

3.1K 463 48
                                    



Menjadi anak terakhir dalam keluarga itu menguntungkan. Begitu kata kebanyakan orang. Nyatanya, tidak. Anak terakhir harus bisa menjadi sosok yang sukses seperti kakak nya. Dan Jimin sangat membenci itu.

Jimin mencintai tarian lebih dari apapun. Itulah mengapa ia tinggal terpisah dengan keluarganya. Sang ayah ingin dirinya menjadi pebisnis yang sukses seperti kakaknya. Dan sampai hari ini, Jimin masih mengasingkan dirinya dari kediaman mewah keluarganya. Ia tak ingin bertemu dengan sang ayah. Walaupun ia sangat merindukan pelukan hangat sang ayah.

Ayahnya itu—menurut Jimin—sangat hangat. Satu-satunya pria yang paling berwibawa. Tutur katanya sangat halus tetapi aura tegasnya yang membuat setiap orang akan menuruti perkataan beliau. Tapi semua itu tidak berlaku untuk Jimin. Anak bungsu dari keluarga Park itu sangat dimanja oleh beliau sejak kecil. Itulah mengapa saat sang Ayah meminta Jimin untuk menjadi pebisnis, Jimin menolaknya dan memilih untuk meneruskan pendidikannya di sekolah seni.

Tapi hari ini, Jimin diharuskan pulang ke rumahnya. Ke rumah keluarga Park. Ibunya menyambut sang anak dengan senyuman cerianya. Dan di ruang tamu, Jimin dapat melihat sang kakak dan mantan tunangannya. Ia tersenyum pahit. Jujur saja, hatinya masih sedikit sakit saat mengingat jika tunangannya mengkhianatinya. Bahkan dengan kakaknya sendiri.

Tubuh Jimin terkesiap ketika kakaknya datang dan memeluknya dengan erat. "Jimin-ah. Kenapa kau jarang pulang? Hyung merindukanmu." Jimin bisa merasakan setitik air mata jatuh dari pelupuk matanya. Ah—ia merasa jahat karena telah menganggap kakaknya sebagai peran antagonis. Ia pun membalas pelukan sang kakak. "Seokjin-hyung. Maafkan Jimin."

Seokjin melepas pelukannya dan menangkup wajah kecil Jimin dengan kedua tangannya. "Kenapa kau minta maaf? Oh, ya ampun. Adik hyung yang menggemaskan ini mengurus." Seokjin menarik kedua pipi Jimin dengan gemas. "Apa kau makan dengan benar, sayang? Apa selama ini Namjoon begitu jahat padamu? Seharusnya hyung yang meminta maaf padamu, sayang. Keputusan ini pasti membuatmu sedih." Tubuh mungil itu pun kembali direngkuh dengan erat.

Seokjin tak tega melihat wajah adiknya. Tapi ia tak bisa membohongi diri sendiri jika ia pun mencintai Namjoon. Lagipula adiknya pantas mendapatkan yang lebih baik. Begitu pikirnya. Jimin mulai sesegukan saat mendengar ucapan sang kakak. Semuanya terasa begitu cepat dan.. tiba-tiba. Jimin tidak pernah membayangkan akan menikah dengan orang lain selain tunangannya, dulu. Tapi yang terjadi sangat bertolak belakang.

Min Ah—sang ibu—menatap kedua anaknya dengan perasaan bangga. Ia rasa ketakutannya selama ini tidak akan pernah terjadi. Keluarganya harmonis. Sangat. Dan kedua anaknya mendapatkan sifat tenang suaminya. Sehingga tidak akan terjadi perpecahan yang besar. Seokjin, anak pertamanya. Sifatnya yang lembut dan tenang. Wibawa sang suami pun menurun kepadanya. Tapi entah kenapa anak itu bisa mendapatkan posisi submissive dalam hubungannya.

Dan Jimin, anak terakhir. Sikapnya yang ceria dan tidak bisa diam, juga takut akan hal baru. Sebenarnya ia sangat takut saat ia merencakan semua ini. Apa anaknya bisa melewatinya? Tapi pada nyatanya Jimin mampu melewati ini. Dan hanya satu yang belum ia lewati. Yaitu hari pernikahannya.

Jimin mengusap air matanya dan tersenyum pada kakaknya. "Hyung, Ibu benar. Namjoon-hyung memang lebih baik dengan Seokjin-hyung." Seokjin terlihat ingin membalas ucapan sang adik, tetapi Jimin menaruh satu tangannya di depan mulut sang kakak. "Karena aku telah mendapatkan yang lebih baik, hyung." Jimin tertawa kecil diikuti senyuman lembut sang kakak. Walaupun di pikirannya masih saja bertanya-tanya jika Yoongi akan menerimanya dengan sepenuh hati atau tidak.

..........

Yoongi mengusap wajahnya dengan kasar dan membanting pintu kamarnya dengan keras. Ia tidak menyangka jika mantan kekasihnya sebegitu 'jalang' untuk ia kencani. Ia baru saja memutuskan kekasihnya dengan fakta-fakta yang ibunya berikan padanya. Dan dengan tidak tau malunya, wanita itu menampar wajah Yoongi dan pergi meninggalkannya dengan seorang pria yang Yoongi pikir lebih muda darinya.

Ya Tuhan, kenapa tidak dari dulu aku mengetahui fakta ini? Yoongi merutuki dirinya sendiri. Untung saja ia bukan tipe pria yang akan memberikan barang mewah untuk sang kekasih jika sedang kencan atau semacamnya. Jadi ia tidak dirugikan apapun. Tapi ia rugi waktu. Seharusnya ia menemukan Jimin lebih cepat.

Tiba-tiba Yoongi terdiam. Jimin? Kenapa ia jadi memikirkan pria mungil itu sekarang? Ah—sepertinya ia butuh menghubungi pria manis itu. Tapi ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri jika ia tidak akan menghubungi Jimin sampai waktu persiapan pernikahannya tiba. Ia tidak ingin kehilangan kendali sebelum itu.

Yoongi sadar jika hasrat nya naik saat melihat pria mungil itu. Tapi ia pun merasa bersalah. Bagaimanapun juga, ia penganut 'bercinta'. Bukan 'bersetubuh tanpa cinta'. Dan mungkin ini akan sulit. Karena hati pria ini masih terisi oleh wanita yang sudah ia anggap 'jalang'.

Tiba-tiba, bel di rumahnya berbunyi. Ia tak ingin melihat ke layar untuk memastikan siapa yang datang. Ia sudah tau. Sosok berisik yang dengan bodohnya ia hubungi untuk datang menemuinya. Yoongi bersumpah ia akan melempar pria dengan cengiran lebarnya keluar rumah jika pria itu malah membuat mood Yoongi memburuk. Yoongi menatap malas pria itu dan menutup pintunya kembali, mengabaikan teriakan protes sang sobat. "Ya! Yoongi-hyung!"

Yoongi memasuki dapur dan mengambil minuman kaleng dari dapurnya. Ia melempar satu minuman itu kepada pria yang baru saja masuk dengan gerutuannya. "Thanks, hyung." Yoongi mengedikkan bahunya lalu duduk di sofa. "Jadi, apa yang aku dengar di telefon itu sungguh terjadi?" Yoongi menyenderkan tubuhnya, mencari posisi nyaman. "Hoseok-ah, kau tau aku tidak akan pernah bercanda." Hoseok mengangguk.

Ia mencondongkan tubuhnya guna mengambil makanan di depannya dan memakannya dengan santai. "Dan kapan kau akan menikah, hyung?" Yoongi meneguk minumannya. "Entahlah. Keluarganya meminta untuk menikahkan anak pertamanya terlebih dahulu—ya! Jangan dihabiskan!" Dengan sigap, Hoseok melindungi makanan yang akan ditarik Yoongi. Ia menatap Yoongi mengejek. "Hyung, berbaik hati lah pada temanmu ini. Kau kan bisa membelinya lagi."

Pria bersurai hitam legam itu mendecih kasar. Ia pun kembali menyenderkan tubuhnya di sofa dan memejamkan matanya. Entah kenapa kepalanya terasa penat. Ia tidak mengira semua ini akan terjadi. Dan perkataan ibunya terus terngiang. 'Kau harus menikahinya, Yoongi. Bagaimana jika ia hamil? Jimin bahkan belum pernah di setubuhi tunangannya, dan kau mau melepaskannya begitu saja?'

'Kau bahkan tidak memikirkan anakmu yang masih ingin terbebas.' Yoongi mendesah. "Hyung, jika kau banyak membuang nafas seperti itu, nanti keberuntunganmu bisa hilang." Yoongi menatap tajam Hoseok. Sedangkan yang ditatap hanya tersenyum konyol dan kembali menikmati makanannya.

"Hoseok-ah. Apa menurutmu aku lebih baik menikahinya?" Hoseok mengedikkan bahunya. "Bagaimana denganmu, hyung? Apa ia termasuk kedalam seleramu? Bisa saja ia sudah telaten jadi kau bisa di urus dengan baik, hyung." Yoongi termenung. Selama ini ia tidak pernah memikirkan untuk menghadapi hubungan yang serius. Ia termasuk orang yang menyukai kebebasan. Dan ia pikir, hubungan sekedar pacaran pun sudah cukup.

Yah, semoga keputusannya tidak menjadi buruk untuk kedepannya. 



..........

Uhuy! maafkan aku yang mengaret. TT masalahnya adalah, i failed on my first test. and today is the result for my second test. TT please, hope i pass this test so i can relax. TT 

btw, skybaby1504 ribbon96__ ChiminsCake Hika update nya dikit yaa. maaf. TT

and, talibeha xxzaku woy, gw update nih. tapi dikit. xD

last, mind for vote + Comment? ^^

Silent MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang