Seharusnya Jimin sudah bisa menghilangkan rasa sakit di dadanya ketika melihat kakak dan mantan tunangannya bersama. Itu hanyalah masalah biasa yang memang setiap orang akan mengalaminya. Patah hati, sakit hati, atau apalah itu namanya. Seharusnya memang Jimin sudah tidak harus menghindarinya. Tapi entah mengapa dadanya selalu merasa sesak, seakan-akan asupan oksigen di dunia ini sudah habis. Matanya pun terasa panas.
Seorang Jimin, sangatlah memuja sang kekasih hatinya. Dan sebenarnya ia masih tidak percaya, jika kekasih hatinya akan mengkhianatinya. Dan dengan kejamnya, pria itu bahkan tidak meminta maaf atas perlakuannya. Bahwa sesungguhnya selama ini ia hanya menjadikan Jimin sebagai pijakan agar dekat dengan sang kakak.
Rasanya pria mungil itu ingin mengambil pisau di dapur dan menancapkannya di leher pria tinggi itu. Tidak. Ia tidak ingin membunuh dirinya sendiri. Jiwanya terlalu berharga. Setidaknya itulah yang selalu dikatakan sang ayah setiap malam saat kecil. Dan ia pun tidak ingin membunuh sang kakak. Kakaknya, yang selalu merawatnya disaat kedua orang tuanya jauh. Walaupun jarak umur mereka yang tidak dekat, tapi sang kakak sudah berhasil membuat Jimin bergantung padanya.
Jimin kembali menatap salah satu sudut ruang apartement nya yang penuh dengan potret dirinya dengan Namjoon. Ia mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Berusaha menahan emosinya. Tetapi sayangnya, air matanya terus mengalir. Isakkan tangis kembali terdengar ke seluruh penjuru ruangan. Tubuhnya terasa lemas. Akhirnya tubuh mungil itupun terduduk.
Jimin merasa hancur. Walaupun ia sudah mendapatkan—yang kata orang—lebih baik, hatinya tetap tak bisa membohonginya. Ia masih sangat memuja cintanya. Kim Namjoon. Setiap sudut dari apartement ini selalu mengingatkannya pada lelaki itu. Bagaimana pria itu menyambutnya di pagi hari, menemaninya di siang hari, mendengar keluh kesannya di sore hari, menenangkannya di malam hari, dan membisikkan kata-kata cinta yang membuainya setiap saat.
Jimin benar-benar tidak sanggup. Ia tidak mungkin bisa terus tinggal di tempat ini. Sangat menyakitkan baginya. Tapi harus bagaimana lagi? Ia sudah berkata kepada ibunya jika ia baik-baik saja dan sangat bersyukur dengan pilihan ibunya. Jadi ibunya tak perlu khawatir. Tapi jika seperti ini, ia seperti sudah mengibarkan bendera kekalahan.
Saat itu pula, seseorang memasuki apartement nya. Sosok itu berhenti sejenak saat mendengar suara isakkan tangis. Dan tanpa berpikir lagi ia pun mendatangi sumber suara itu. Dan saat melihat tubuh mungil yang menangis itu, ia pun merengkuhnya. "Jimin-ah.. berhentilah menangis. Aku disini."
Tubuh mungil itu semakin bergetar. Jimin pun membalas pelukan itu dan menangis dengan keras di pelukan pria itu. Meluapkan seluruh perasaan sakitnya yang selama ini ia pendam.
.......
"Jadi Jungkook-ah, kau langsung mendatangiku saat melihat Seokjin-hyung... berciuman dengannya?" Pria bernama Jungkook itu mengangguk. Ia menyesap kopi panasnya perlahan kemudian menatap lembut mata coklat milik pria mungil itu. "Jimin-ah, aku benar-benar minta maaf." Jimin tertawa kecil, membuat matanya terlihat tertutup. "Tidak, tidak. Kau tidak perlu mengatakan itu, Jungkook-ah." Kemudian raut wajah Jimin berubah sebal. "ya! Kau tidak memanggilku hyung lagi? Itu tidak sopan!" Mulutnya ia gembungkan dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Jungkook terkekeh. Ia menarik kedua pipi Jimin dengan gemas. "Ya ampun, bagaimana bisa orang yang masih bertingkah imut seperti ini kupanggil hyung?" ia pun menarik puncak hidung Jimin. "Kau terlalu imut dan cantik untuk kupanggil hyung, Jimin-ah." Jimin menangkup wajahnya yang sudah memerah. Ia tidak tau jika adik kelasnya bisa bersikap menyebalkan seperti ini.
Jungkook hanya tersenyum geli dan kembali meminum minumannya. "Tapi aku sangat patah hati. Kau harus bertanggung jawab, Jimin-ie." Jimin menatap pria yang lebih besar darinya itu dengan bingung. "Eh? Kenapa?" Jungkook melihat Jimin memelas. "Aku sudah berniat untuk merebutmu dari pria tua itu. Dan tiba-tiba kau bilang kau akan menikah dengan pria lain? Kau sangat kejam Jimin-ie." "—Eh?" Pria bersurai cokelat itu menepuk keningnya. Ia lupa jika pria mungil ini sangat tidak peka terhadap perhatian sekitarnya.
Ia pun meraih tangan Jimin dan mengecup punggung tangannya dengan lembut. Wajah Jimin kembali memerah. Jungkook menatap bola mata jernih milik Jimin penuh arti. "Setidaknya sebelum menikah, aku bisa mencobanya dulu-kan?" Ia pun mengedipkan sebelah matanya. Membuat wajah pria mungil itu semakin memerah hingga ke telinga.
Tapi kemudian ia menatap Jungkook dengan sendu dan bergumam "Buat aku melupakan masa-masa yang menyakitkan, Jungkook-ah.". Pria tampan itu tersenyum lebar. Ia kembali mengecup punggung tangan Jimin dan mengucapkan 'terimakasih' berkali-kali. Jimin tersenyum kecil. Mungkin saja jika hatinya berpindah, ibunya akan mengerti. Ia ingin menikah dengan orang yang dicintainya. Bukan dengan pria yang tak dikenalinya. Dan ia akan memulai dari awal. Pertama, dengan adik kelasnya.
Jimin-ie, sayangnya takdir Tuhan tidak seperti yang kau pikirkan.
.........
Jadi, ku mau buat kesepakatan nih. mumpung waktu santai nya masih lumayan banyak~ huehehe
Kalian maunya aku update sering tapi dengan word yang gk lebih dari 1k words?
atau
Update lama, tapi dengan words yang pasti lebih dari 1k words dan bisa aja 2k words?
gimana? hehe pilih yaa~
btw, ini kenapa jadi agak rumit yha? /slap
skybaby1504 ribbon96__ maafkan hika, kak~ sedikit mengubah awal ide nya. TT
Mind for Vote + Comment, please?^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Marriage
أدب الهواةDisaat kata 'Cinta' itu baru saja hadir setelah sekian lama. YoonMin Fanfiction. Yoon!Top Jim!Bottom Cover by : @Jiminitation /loveyou♥♥/ Ps : some chapter are private. so, i'm sorry. TT you guys have to followed me first. ><