"Tak salah lagi, di sini tempatnya, aku bisa merasakan aura kristal yang kuat dari sini," ujar Wija yang berdiri di atas Jembatan Ampera. Perjuangannya untuk sampai ke demensi ini cukup menyita waktu dan tenaganya. Wija bahkan harus menemui dan bekerjasama dengan Penunggu Waktu, agar dapat bisa membantunya datang ke demensi sekarang. Tahun 2018, masa depan. Itu artinya dia harus menyesuaikan diri dengan peradaban dan kebudayaan di abad ini. Di mana manusia tidak lagi mempercayai kekuatan mistis. Bahkan manusia di zaman ini, tak lagi menggunakan kuda untuk kendaraannya. Suatu era yang tidak pernah membuat Wija nyaman.
"Di mana kristal itu bersembunyi? Meski aku bisa merasakan keberadaannya, tapi aku tak bisa melihat penampakannya sama sekali," ucapnya sambil melihat ke sekeliling, berharap ia bisa menemukan pecahan kristal itu dengan mudah. Namun, sejauh matanya memandang tak ada apapun yang terlihat. Kekuatan Siwar Trisula yang membuat dia bisa leluasa terbang tanpa bisa dilihat orang-orang di sekitarnya. Hanya gedung-gedung tinggi yang ia lihat dari atas jembatan. Jika pecahan kristal itu jatuh di zaman yang begitu tenang seperti ini, pasti akan ada kehebohan. Karena Makhluk apapun pemilik pecahan kristal akan memiliki kekuatan yang sama seperti dirinya.
"Kristal ini belum menunjukkan kekuatan sebenarnya. Aku harus cepat sebelum semuanya terlambat."
Setelah memastikan tak ada apapun yang aneh pada aliran Sungai Musi. Wija kembali terbang mencari di tempat lainnya, "Padahal aku cukup yakin, kristal itu pernah berada di sini."
***
Menginjakkan kaki di rumah besar ini, hanya menolerahkan luka. Lita masih terdiam di dalam mobil. Sungguh kakinya sulit untuk digerakkan. Terlalu banyak kenangan pahit di rumah ini. Kenapa orang-orang sangat suka menyiksa dirinya, batinnya kemudian.
"Nona, Nona Lita, anda sudah ditunggu di dalam." Seseorang mengetuk pintu kaca mobil. Lita mengenali pria maskulin yang berdiri di luar pintu mobilnya ini. Ken, teman sepermainan dari kecil, sebelum menjadi pengkhianat dan mengabdi untuk Pria Tua itu.
Lita membuka pintu mobilnya kasar. Sungguh saat inipun dia tak berminat sama sekali bertemu pria ini. Ia melangkahkan kakinya lebih cepat, meninggalkan ketidak mengertian di wajah Ken.
"Nona Lita," sapa seorang wanita separuh baya menyapanya sopan. Lita hanya membalas dengan senyuman. "Bapak dan Nona Nilan sudah menunggu di Ruang Kerja."
Lita yang mengerti langsung melangkahkan kakinya ke tangga menuju lantai dua. Namun, sebelum ke atas, matanya sempat melirik keberadaan seorang wanita yang sedang duduk di kursi keluarga menghadap televisi. Saat wanita itu menyadari kedatangan Lita, dengan hangat ia melontarkan senyuman, tapi dengan cepat pula Lita membuang pandangannya ke deretan anak tangga. "Rumah seperti neraka," gumamnya pelan
"Kau terlambat, duduklah," ujar seorang pria paruh baya yang masih tampak tegas dan berkharisma.
Dengan rasa malas dan gontai, Lita memilih duduk di sofa panjang tepat di sebelah Nilan. Yang membuat Lita penasaran saat melihat pria berjas hitam rapi yang ia kenal sebagai pengacara keluarga Kusuma. Untuk apa seorang pengacara menghadiri pertemuan hari ini. apa ada sesuatu yang terjadi?
"Nilan, Lita, kalian berdua adalah penerus sah Kusuma Corporotion. Kalian sudah dewasa dan sekaranglah waktunya kalian membantu menjalankan perusahaan ini. Tantangan yang kalian dapatkan satu bulan lalu sudah mendapatkan hasilnya. Selamat Nilan, seperti biasa kamu yang memenangkan tantangan ini."
Lita yang mendengar rangkaian kata ayahnya, merasa tak suka. Ia hanya menunjukkan ekspresi masamnya, Salahkan hujan. Kenapa mampir malam tadi di rumahku, batinnya membela diri.
"Kau Lita, aku tak akan mendengarkan alasanmu lagi. Kau memang tak bisa di andalkan. Untuk itu, hari ini, sesuai dengan apa yang kita bicarakan satu bulan lalu, siapapun yang memenangkan presentasi itu akan mendapatkan kuasa penuh atas Kusuma Corporation. Pak Banu, tolong lanjutkan sistematis dan lain halnya."
Lita yang memang tak menyukai pertemuan ini, merasa kesal dengan perkataan ayahnya. Ia pun langsung berdiri dan hendak pergi dari tempat itu. Hingga kemarahan Sang Ayah menghentikan langkahnya.
"Lita! Mau ke mana kamu!"
"Aku rasa sudah tahu arah pembicaraan kalian. Terserah kalian mau berbuat apa saja. Toh, aku juga sudah tak dibutuhkan lagi di sini," ucapnya dan kembali melangkah pergi.
Teriakan kemarahan Sang Ayah tak menyurutkan kepergiannya. Ada rasa sesak yang ia rasakan. Walau ia tahu semua ini akan terjadi, tapi tetap saja membuat luka besar di hatinya. Matanya memanas. Aliran air menerobos matanya. Ia pun mempercepat langkah kaki dan tak memperdulikan pandangan beberapa mata yang melihat tak mengerti.
Ibu. Andai saja kau bawa aku saat kepergianmu dulu, mungkin hatiku tak akan terasa sakit seperti ini, batinnya saat mulai menghidupkan mesin mobil dan berlalu pergi. Ia melaju sebelum akhirnya berhenti karena pintu gerbang utama tetap tertutup bahkan sampai ia berteriak untuk dibukakan pintu.
Tin tin tin
Suara klakson mobil membahana. Bunyi itu berasal dari Lita yang terlihat marah dan meminta seseorang segera membukakan gerbang pagar. Lita terus memainkan klakson mobil. "Buka sekarang juga. Atau aku tabrak pagar ini," teriaknya kesal.
"Maafkan saya Nona Lita. Ini perintah Tuan Besar, ia meminta saya menutup pintu gerbang dan meminta Nona kembali ke ruang kerja," jawab seorang pria yang memakai baju satpam miliknya.
Lita tak ingin mendengar alasan apapun. Yang ia inginkan sekarang hanyalah segera pergi sejauh mungkin saat ini. meninggalkan semua kemuakan yang ada di sini. Ia terus mengancam menabrak pagar besi itu jika tak segera dituruti. Ia bahkan memainkan gas mobil seolah memang bersiap menabrak. Tapi tetap saja satpam itu tak mendengarkannya, dia terlalu takut dengan Tuan Besar yang memang paling berkuasa di rumah ini.
"Kamu tuli ya! Buka pintu gerbang sekarang juga! Dasar batu!" teriak Lita makin kesal. Sesuatu pun terjadi, membuat rasa perih di telapak tangan kirinya. Lita melihat telapak tangan itu untuk sebentar bercahaya, tapi mungkin hanya ilusi dia saja. Lalu ia melihat pintu gerbang mulai membuka lebar, dan itu kesempatanya untuk segera pergi dari sana. Ia pun memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi dan segera pergi.
***
"Terjadi! Aku bisa merasakan kristal itu," ujar Wija yang melayang di udara mencari hawa keberadaan pecahan kristal. Matanya mulai menyapu daerah sekitar. Hingga ia merasakan sesuatu yang berbeda dari suatu tempat tak jauh darinya. Secepat kilat dia menuju ke sana. Namun yang ia temukan sesuatu yang ia takutkan dari awal saat menerima tugas ini.
"Dia telah bangkit. Sesuatu yang menakutkan telah terjadi kembali. Kejadian ratusan tahun lalu kini kembali," ujarnya saat melihat sebuah patung batu yang masih terasa hangat. "Pria yang malang, semoga kau masih bisa diselamatkan nanti," lanjutnya dan memindahkan patung batu berseragam satpam di balik pepohonan yang tak jauh dari sana. Agar nantinya tak menimbulkan kehebohan.
"Berarti makhluk yang memiliki pecahan kristal itu pernah ada di sini, aku harus segera menemukannya, sebelum terjadi hal yang lebih menakutkan lagi," ujar Wija dan kembali terbang melacak aura kristal.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/112745517-288-k660800.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Pahit Lidah // Tamat
Fantasy"Ampera punya cerito" Cerita ini Hasil remake dari Cerita Rakyat Sumatera Selatan : Si Pahit Lidah. Jadi, semoga gak ada yang marah ^~^ dan bisa diterima ^~^ *** Kemas Wijaya adalah salah satu utusan dari Penguasa Bawanapraba yang mendapat julukan H...