Tiba-tiba seorang pria dengan terburu-buru memasuki ruangan dengan membanting pintu, "Nona Nilan, anda harus segera pergi dari sini. Orang-orang Brata Kusuma sering menuju kemari!"
"Apa?!" serunya terkejut. "Bagaimana bisa ayah tahu," ujarnya panik.
"Nona sebaiknya kita pergi sekarang. Gadis ini biar mereka yang urus," sela Yanto.
"Tidak! Dia ikut denganku! Aku masih ada urusan dengannya."
"Tapi ...,"
"Yanto, bawa dia dan ikut denganku sekarang! Perintah Nilan yang bergegas pergi. Yanto yang mendengar titah itu bergerak menarik Lita supaya mengikuti mereka. Sedangkan pria lainnya bergerak berlawanan arah mencoba mengulur waktu agar mereka bisa keluar dari sini. Lita mengikuti dengan terpaksa.
Matanya melihat ke sekeliling, mencari Wija yang sampai saat ini tak terlihat.
Di mana pria aneh itu! Saat dibutuhkan malah menghilang, batinnya.
Mereka berjalan setengah berlari ke arah mobil yang di parkir tersembunyi di antara pepohonan tertutup terpal berwarna senada dedaunan. Lita baru menyadari jika dia disembunyikan jauh dari kota. Yang terlihat di sini hanyalah pohon-pohon karet yang berjajar rapi. Jelas ini area perkebunan. Telinganya dapat mendengar suara deru mobil di kejauhan, bahkan diiringi letusan senjata api.
"Masuk!" teriak Yanto yang mendorong tubuh Lita agar segera memasuki mobil. Nilan sudah duduk di kursi penumpang. Lita mengikuti perintah dengan malas. Yanto mulai mengendarai mobil dengan kecepatan penuh. Meninggalkan tempat itu dengan tergesa-gesa. Menerobos di antara pohon-pohon karet. Menjauh. Hingga suara bising yang didengar Lita tadi sudah tak terdengar.
"Kita mau ke mana Nona?" tanya Yanto sopan sambil mengendarai mobil.
Nilan diam sesaat, tampak memikirkan sesuatu, "Rumah lama."
"Baik."
Mobil kini sudah memasuki jalanan beraspal. Melaju kencang dalam kesunyian. Yanto terlihat serius memandangi jalanan. Kecepatan tinggi membuatnya waspada. Nilan hanya diam setelah menjawab pertanyaan Yanto tadi. Seolah sedang berpikir akan sesuatu. Membuat rasa penasaran Lita yang kini memandanginya dengan tangan terikat. Saat ini bisa saja Lita menggunakan kekuatan yang ia miliki untuk melumpuhkan Yanto juga Nilan. Tapi tak dilakukannya. Ia memilih diam dan mencaritahu apa yang akan direncanakan Nilan untuknya.
"Jika kau macam-macam, Dwi yang akan menerima akibatnya," ujar Nilan yang kembali mengancam.
Lita tak berniat menanggapi dan hanya memandangi jalanan. Melihat ratusan batang karet di kedua sisi yang berjajar seolah bergerak berjalan mengikuti laju mobil mereka. Bahkan gerimis mengiringi perjalanan ini. Lita menyunggingkan senyumnya saat teringat suatu kejadian lampau. Saat dia dan Nilan baru dipasangkan menjadi saudara. Mereka yang masih anak-anak mencoba belajar mengerti keadaan yang terjadi. Bagaimana mereka bisa menjadi saudara jika baru dipertemukan.
***
"Nilan, ini adikmu Lita," ujar seorang wanita yang tak lagi muda memulai pembicaraan.
Nilan kecil tampak manis dengan rambut panjang yang dikuncir kuda, memegang boneka teddy kesayangannya, mengulurkan tangan, "Hallo, aku Nilan. Adikku cantik ya Bu," ucapnya polos memandang Lita kecil di depannya.
Lita yang saat itu baru kehilangan ibunya tak berniat mengobrol dengan siapapun, terlihat murung. Tak banyak bicara. Hingga tidak menanggapi uluran tangan Nilan di depannya. Kemudian berlari menjauhi mereka.
"Lita! Mau ke mana Nak?" wanita yang dipanggil Ibu oleh Nilan mencoba mengejarnya. Namun langkahnya terhenti saat Nilan kecil menahan tangannya.
"Biar Nilan yang kejar Bu." Kemudian dia berlari menyusul Lita yang telah hilang di balik semak tak jauh darinya. "Lita, tunggu!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Si Pahit Lidah // Tamat
Fantasy"Ampera punya cerito" Cerita ini Hasil remake dari Cerita Rakyat Sumatera Selatan : Si Pahit Lidah. Jadi, semoga gak ada yang marah ^~^ dan bisa diterima ^~^ *** Kemas Wijaya adalah salah satu utusan dari Penguasa Bawanapraba yang mendapat julukan H...