Epilog

384 73 12
                                    

Setelah mengantar Lita dan Nilan kembali ke rumahnya, Wija langsung terbang menuju Bawanapraba untuk melaporkan misinya ke Sang Hyang bahwa semuanya telah selasai ia jalankan. Ia memegang erat peti berisi pecahan kristal yang terus saja merontak ingin keluar.

Ia cukup lelah sampai lupa mengganti kembali pakaian yang ia kenakan. Hingga saat di gerbang istana Bawanapraba, Wija tak sengaja berpapasan dengan Sanaoka. Yang berjalan penuh percaya diri mendekatinya. Dari auranya wanita itu baru saja menyelesaikan tugasnya dengan baik. Wanita yang luar biasa, batin Wija kemudian.

"Salam Hulubalang. Kelihatannya kau kewalahan dengan tugas Tuhenori kali ini," sapa Sanaoka saat berpapasan dengan Wija.

Wija menatap Sanaoka tak percaya. Sepertinya dia sedang memamerkan keberhasilannya, pikir Wija kemudian. Wija menghela napas sebelum menjawab Sanaoka, "Aku tidak ada waktu bertengkar denganmu Sanaoka." Kemudia Wija berlalu meninggalkan Sanaoka.

Jika tidak seperti itu bukan Sanaoka namanya. Sang penunggu bangunan. Wanita keras kepala dan juga unik. Dia akan mendapat perhatian banyak orang dengan sifatnya. Wija berhenti melangkah. Ia teringat akan sesuatu, mumpung bertemu ahlinya di sini. Kenapa dia tak mencoba meminta bantuan Sanaoka untuk membantu masalahnya.

"Sanaoka!" panggilnya dan menatap intens Sanaoka.

"Kalau kau punya waktu, aku ingin mengundangmu ke tempatku. Perpustakaan yang berisi banyak benda dan catatan berharga yang kukumpulkan akan rubuh. Ada sesuatu yang terus-menerus mengguncangnya. Kupikir sebagai penunggu bangunan, mungkin kau bisa membantuku menemukan masalahnya?" pinta Wija penuh harap.

"Aku akan mempertimbangkannya."

Wija tersenyum mendengar jawaban Sanaoka. Kali ini permasalahan yang menggangunya akhir-akhir ini akan segera berakhir. "Terima kasih." Wija menatap aneh wajah Sanaoka yang tiba-tiba memerah seperti buat tomat. Wija mengulurkan tangannya sopan. "Wija. Kau boleh memanggilku Wija."

Namun uluran tangan Wija tak jua disambut. Sanaoka hanya diam dan terlihat ragu mengulurkan tangannya. Hingga tiba-tiba Sanaoka menepis tangan Wija dengan kasar dan berbalik secepat kilat melesat pergi meninggalkan Wija dengan pikirannya.

Aku tak mengerti ada apa dengan wanita ini. Terkadang dia sangat manis, tapi terkadang ... ah, sudahlah. Aku harus menghadap Sang Hyang sekarang agar segera beristirahat, pikir Wija yang mulai membalikkan badannya menuju ke dalam istana yang sudah banyak di penuhi orang.

Beberapa ia melihat utusan lainnya sudah melaporkan tugas yang telah selesai seperti dirinya. Ia melihat Baruna dan beberapa utusan lainnya di kejauhan. Namun ia belum melihat Pangeran Barat, mungkin pria itu belum menyelesaikan tugasnya. Bergegas ia menemui Sang Hyang yang mungkin sedang menunggu kristalnya yang masih terus merontak ingin keluar.

"Hulubalang Selatan, kau sudah menjalani misimu dengan baik," sapa Sang Hyang yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Wija menunduk dan memberi penghormatan.

"Iya Sang Hyang. Hamba sudah mendapatkan Pecahan Kristal yang dicari," jawab Wija yang menyerahkan peti dengan masih menundukkan kepalanya.

Sang Hyang mengambilnya dan merasakan getaran dari dalam peti cukup hebat. "Kau pasti sangat kewalahaan menghadapi pecahan Kristal ini. Hingga kau tak sempat mengganti pakaianmu," ujar Sang Hyang sambil tertawa kecil.

Wija yang menyadari penampilannya yang masih berantakan, kembali menunduk lebih dalam, "Maafkan saya yang berlaku tidak sopan Sang Hyang," ujarnya merasa bersalah dengan keadaanya.

"Tidak apa Hulubalang Selatan, kau sudah membantu mengembalikan ini saja sudah cukup." Sang Hyang membuka perlahan peti tersebut dan membuat pecahan Kristal itu terbebas. Tapi ia dapat dengan mudah dikendalikan sang Penguasa Bawanapraba. Kristal yang ia bawa kini telah menyatu dengan yang lainnya di tongkat yang memang seharusnya menjadi tempatnya.

"Sebagai hadiah keberhasilanmu, apa permintaanmu?"

Wija diam sesaat. Ia memikirkan sesuatu yang ingin ia pinta. Walau sudah terlintas dipikirannya, tapi ia tak berani mengungkapnya pada Sang Hyang. Seolah tahu apa yang dipikirkan Hulubalang Selatan, Penguasa Bawanapraba itu berkata dengan titahnya.

"Semua permintaanmu aku kabulkan."

Hulubalang tersenyum senang mendengar ucapan Sang Hyang. Setelah semua selesai, ia bergegas berpamitan dan pulang. Wija lega misi yang dibebankannya dapat ia tuntaskan dengan baik. Ia mencari utusan lainnya di sekitar. Tapi sepertinya mereka sedang sibuk masing-masing. Membuat Wija enggan menggangu kegiatan mereka. Ia memilih pulang ke tempatnya dan segera beristirahat. Sebelum esok datang dan mengharuskannya mengembalikan peti keramat milik Bhanurasmi juga menyampaikan kabar bahagia untuk Lita dan Nilan tentang permintaanya tadi.

***

"Dek, lihat apa yang kakak temukan," teriak Nilan dari atas teras kamarnya. Ia menunjukkan sebuah gulungan kertas ke arah Lita yang sedang duduk bersantai dengan ibu tiri yang sudah mulai ia terima kehadirannya. Sedangkan ayahnya sedang asyik mengobrol santai dengan Ken di dekat kolam ikan koi di dekat mereka.

Lita yang mendengar teriakan Nilan, mendongakan kepalanya ke atas dan penasaran dengan apa yang ditunjukkan oleh Nilan. Ia pun berjalan cepat menyusul Nilan ke atas dengan tergesa-gesa menaiki tangga. Sesampainya di atas, Nilan memberikan gulungan kertas itu ke Lita seraya berkata, "Aku baru lihat kali ini burung merpati pengantar surat. Dari siapa sih? Hari gini masih pakai burung." Nilan penasaran dengan siapa pengirimnya.

Perlahan Lita membuka gulungan yang di atasnya terukir nama "Artalita K", pertanda surat itu memang ditujukan untuknya. Ia membaca dengan keras agar Nilan dapat mendengar isi surat tersebut.

Lita, ini hadiah untukmu. Semua orang yang telah berubah menjadi batu dulu, diberikan kesempatan kedua oleh Sang Hyang. Mereka akan kembali dengan hati yang lebih murni. Dan hadiah terbaiknya, Selamat tanganmu sudah kembali baik. Hiduplah dengan bahagia dan bermanfaat bagi orang banyak.

Salam,

Kemas Wijaya.

"Wija," ucap Lita tak percaya.

"Dek, coba buka sarung tangannya, cepat." Nilan yang tak sabar ingin melihat bukti surat itu mendesak Lita membuka segera sarung tangannya.

Perlahan Lita membuka dan melihat telapak tangannya sudah kembali seperti dulu. Tak lagi hitam. Normal. Lita dan Nilan yang melihat itu melompat-lompat senang, mereka bahkan berpelukan karena bahagia.

"Selamat ya, Dek."

"Terimakasih Kak," jawab Lita. Terimakasih juga, Wija, batinnya mengingat kebaikan Wija.

***

Kebencian, hanya akan menjerumuskan kamu

ke jurang kenestapaan.

Cinta dan Kasih-sayang membawa kamu dalam kedamaian hakiki.

Pada apa hatimu berlabuh? Benci atau Cinta?

The End

Si Pahit Lidah // TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang