DiM - 4

992 79 5
                                    

Hinata mengingat; jadwal kerja hari ini masih ada di dua tempat, minimarket dan bar. "Maaf, Naru ... eh Naruto. Aku harus bekerja di minimarket. Ini jam kerjaku."

"Baiklah, aku akan menunggumu di rumah." Naruto kemudian menyalakan televisi dan berbaring santai di sofa terdekat.

Ingin sekali Hinata menendang teman semasa kecilnya yang amat berbeda dari yang lalu-lalu. Dia sulit akrab dengannya. Naruto sungguh berbeda. Kepribadiannya pun sudah terbalik. Dia yang dulu begitu gelap, muncul secerah matahari di musim panas.

Hinata membawa sebuah tas, lalu berpamitan sebelum pergi. "Aku berangkat."

"Hati-hati, Sayangku." Embel-embel dari Naruto menyakiti jantungnya. Berdetak terlalu cepat dan tidak teratur.

.

Hinata pulang agak larut karena menggantikan rekan kerjanya yang sakit. Dia membolos kerja di bar. Hinata memasuki rumahnya yang minim penerangan. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh rumah. "Di mana, Naru itu?" Dia tidak peduli, juga berpikir kalau Naruto sudah pulang petang tadi. Namun, dia melihat makhluk kuning itu, Naruto, tidur di kasur kesayangannya. Terlihat sekali dia kelelahan.

"Kau sudah pulang?" Suara serak Naruto sangat seksi di pendengaran Hinata. Pikiran Hinata melayang ke mana-mana. "Sudah pulang, ya?" tanya Naruto ulang.

Hinata mengalihkan pandangannya ke tempat lain. "Kalau belum, siapa yang kau tanyai?" balasnya memojokkan Naruto.

"Benar juga. Wah, calon istriku cerdas, aku bangga."

"Jangan mengada-ada. Kau tidak pulang?" sindir Hinata. Dia ingin Naruto pergi dari malam tenangnya.

Naruto berguling ka arah lain. Menyisakan sedikit tempat untuk ditiduri. "Aku menginap. Tidurlah di sampingku."

"Tidak," tolak Hinata. Dia melingkarkan tangan memeluk tubuh. Dia berpose seolah incaran paman berhidung belang.

"Aku tidak napsu, Hinata." Naruto memunggungi Hinata. Dalam sekejap, dengkuran halus terdengar nyaring. Baiklah, tenang Hinata, tidak akan terjadi apa-apa, batin Hinata. Dia menyemangati dirinya agar bertingkah normal ketika tidur bersama seorang pria. Dia menyelusup ke selimut. Sulit rasanya menenangkan detak jantung yang tidak bisa berkompromi. Suhu udara semakin lama, semakin panas, menyesakkan paru-paru. Dia menerka mempunyai penyakit baru. Penyakit jantung, atau asma? Dia takut penyakit itu menimpanya.

Hinata merapalkan metode 4-7-8 selama satu menit. Tubuhnya rileks, dan organnya kembali bekerja normal, berbeda dengan tadi. Dia tidak menghiraukan lagi Naruto yang di sisinya. Yang dia butuhkan, tidur nyaman, melepas kelelahan sehabis bekerja. Masalah siapa yang tidur sekasur, tidak penting.

Esok hari, Hinata bangun pagi buta. Masih sekitar jam setengah enam. Dia beralih mengecek Naruto. Posisinya masih persis seperti kemarin malam. Berarti tiada sesuatu yang membahayakan tadi malam. "Syukurlah." Hinata merenggangkan ototnya yang kaku karena tidur dalam posisi yang sama, tanpa berguling ke sana-kemari. Dia berinisiatif membuat sarapan untuknya dan Naruto. "Nasi goreng cocok mungkin." Dia jarang sarapan di rumah, tidak sempat dan membuang waktu. Waktu adalah uang, membuang waktu juga membuang uang. Terkesan perhitungan, tapi itu 'lah Hinata.

Wangi gurih menyeruak ke penjuru rumah. Bahkan mencapai kamar Hinata yang tidak tertutup rapat. Harum lezat mengusik bunga tidur Naruto. Naruto mengerjapkan; mengucek mata. Dia menggaruk perutnya yang tidak gatal. Kebiasaan. Tanpa aba-aba, dia berjalan ke dapur. Duduk manis di kursi yang tersedia.

"Baru akan kupanggil, kau sudah datang." Hinata meletakkan dua piring nasi goreng di meja. Lengkap dengan garnish yang manis.

Naruto menguap lebar. Dia mengacak surai pirangnya. Kemudian, melahap nasi goreng buatan Hinata. "Enak, tapi kurang telur."

"Kau 'kan alergi telur." Hinata terlebih dulu memanjatkan doa sebelum makan.

"Wah, Sayangku masih ingat."

¡¡¡¡

Next?

[6] Disappear in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang