DiM - 2

1K 74 5
                                    

"Apa?" teriak Hinata tidak elitnya. Hinata membungkam mulutnya sendiri. Matanya melotot seakan hendak keluar dari kelopak.

Naruto mendorong Hinata. Dia mendudukkannya di salah satu kursi ruang makan itu. Naruto menyusul duduk di hadapan Hinata. "Dia hanya belum kulamar, jadi dia kaget."

Wanita berambut pirang mirip Naruto, Tsunade, mengangguk paham. "Dia cantik juga."

"Naruto, bukankah dia ...," ucap pria berambut hitam keputihan, Iruka, terpotong oleh acungan telunjuk di depan bibir Naruto.

"Kalian cukup memilih tanggal. Nenek yang akan mengurus semua keperluannya," ucap Tsunade entengnya. Dia tidak memikirkan Hinata yang sudah megap-megap tidak percaya.

"Mari makan," pinta Iruka. Mereka makan seperti keluarga pada umumnya. Bukan seperti konglomerat yang makan dalam hening.

"Naruto, bagaimana bisa kau menemukan Hinata?" Iruka mengajukan pertanyaan tak wajar.

"Menemukan? Kau mengambil perempuan secara random?" gertak Tsunade. Hinata menyahut dalam hati, ya memang tepat sekali.

Naruto menjawab sesantai mungkin. "Yang Ayah maksud, bertemu Hinata di mana."

"Dasar Iruka! Kau memang tidak pandai menyusun kata." Tsunade mendengus kesal.

"Maaf, aku permisi ke kamar mandi." Hinata diserang pusing mendadak akibat kejadian hari ini.

"Lurus saja, lalu belok kanan. Kamar mandi berpintu merah muda," tunjuk Iruka.

"Permisi." Hinata memegangi kepalanya seraya berjalan menuju arah yang Iruka tunjukkan.

"Nenek, aku akan menyusulnya. Kupikir dia mual dan pusing. Apa dia sudah hamil, ya?" Naruto terkikik dan cengar-cengir tidak jelas.

"Cepat susul! Aku akan menyiapkan pernikahan kalian secepatnya," ucap Tsunade menggebu-gebu. Dia tidak sabar menimang cicit.

Naruto senang sekali pancingannya berhasil. Dengan ini, dia dengan mudah mengklaim Hinata menjadi miliknya. Dia membuka pintu kamar mandi sembarangan. Salah siapa pintu tidak dikunci.

"Kau tidak apa-apa?" Naruto menutup pintu. Menghampiri Hinata yang terjongkok di dekat wastafel.

Hinata mencubit pipinya sendiri. Bergumam berulang kali. "Mimpi, pasti mimpi."

"Kembalilah. Aku akan bercerita penjang lebar di rumahmu saja. Jika di sini, pernikahan kita akan batal," bujuk Naruto. Hinata berdiri, pandangannya menjadi kosong. Naruto merangkul bahu mungilnya.

"Nenek, sepertinya dia tidak enak badan. Aku mengantarnya pulang dulu."

.

"Kau tahu rumahku?" Hinata lagi-lagi dibuat tercengang sesampainya di rumah sederhana itu.

"Apa yang tidak kutahui tentangmu, Hyuuga Hinata?" Naruto terkekeh memerhatikan Hinata yang begitu ekspresif. "Berikan kuncimu," sambungnya.

Masa bodoh laki-laki kurang ajar masuk rumah Hinata. Tanpa segan, dia memberikan kunci rumahnya. Pening mengalahkan semuanya.

Hinata duduk di sofa. Sedangkan Naruto? Dia seenak jidat menggunakan dapur rumah itu. Dia membuatkan teh hijau hangat untuk mereka berdua. Dia datang bersama nampan yang di atasnya terdapat dua cangkir.

"Sebaiknya, kau minum dulu." Naruto menodongkan secangkir teh tadi. Dengan senang hati, Hinata meminumnya sembari menghirup harum teh. "Kau lebih baik?"

"Aku lebih gila dari aku beberapa jam lalu," celoteh Hinata tidak jelas.

Naruto menarik sudut bibirnya ke atas. Dia pun berucap, "Jadi, kau sudah gila sebelumnya."

"Kau ... kau dari mana tahu namaku?" Sudah habis kesabaran dari putri sulung Hyuuga Hiashi. Dia bahkan tidak menggunakan sopan santunnya lagi.

Naruto malah memainkan surai pirangnya. "Menurutmu dari mana?"

"Ini sangat aneh. Aku belum memperkenalkan diri padamu, tapi kau sudah tahu namaku," cerocos Hinata tanpa menghirup napas saat bicara. Dia berbakat menjadi rapper.

"Hinata, stabilkan kondisimu dulu. Aku takut kau terlalu shock akan ini," ingat Naruto.

Hinata bernapas dengan metode 4-7-8. Setelah dia benar-benar siap menerima, dia bertanya pertanyaan paling pokok dari kepalanya. "Siapa dirimu sebenarnya?"

¡¡¡¡

[6] Disappear in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang