Hinata mengikuti segala panduan dari calon suaminya. Perlu digarisbawahi, suaminya, Naruto. Dia membiarkan Naruto memilih sesuai seleranya, apapun yang dipilihkan Naruto, dia pikir itu terbaik.
"Kau mau yang seperti apa, Hinata?" tanya Naruto sembari meneliti gaun berwarna ungu lembut.
Hinata memerhatikan arah pandangan Naruto. Gaun itu, indah, gumamnya dalam hati. "Yang kau lihat sekarang, aku menyukainya."
Naruto hanya mengangguk. Kemudian, dia berpesan kepada pengurus butiknya. "Tolong sediakan gaun ungu lembut itu untuk kami. Untuk pasangannya, kalian bisa atur. Aku tidak terlalu pandai dalam hal ini. Terima kasih."
"Hinata, mari pulang."
Dibawanya Hinata ke rumah terdekat milik Naruto. Rumah yang sekiranya nyaman hanya untuk mereka berdua. Jaraknya tak terlalu jauh, hanya sekitar setengah jam dari butik.
.
"Mengapa aku tidak mengingat seluruhnya? Apa yang terjadi denganku? Mengapa aku begitu mudahnya menerima ajakanmu?" Hinata ingin melanjutkan mengapanya itu, tetapi terlalu panjang dan akan tiada habisnya. Hinata melemaskan tubuhnya, menghirup udara sedalam-dalamnya, dihembuskan dengan keras.
Naruto membawa Hinata ke pelukannya. Dia merengkuh dengan lembut. Membelai surai indah Hinata. "Itu yang seharusnya kutanyakan padamu. Mengapa kau bisa melupakan kita? Mungkin, memang kita dulu hanya bocah, tapi entah mengapa, perasaan ini sungguh bukan main. Aku pun tak paham."
Naruto membunuh percakapan di antara mereka. Dia menikmati dingin ruangan menabrak kulitnya. Merasakan debar yang tiada ujungnya. Debar yang hanya ada ketika bersama orang yang direngkuhnya kini. Selama bertahun-tahun dia merasa janggal dengan perasaannya, dan inilah jawaban dari semua itu. Debarnya hanya pada Hinata. Tidak bisa dia rasakan, walau dengan gadis yang dipuji seluruh Asia.
Hinata terbelenggu dalam kebingungannya, ketidakpahamannya, keluguannya, dan segala tentangnya. Dia tidak bisa menalar apa yang terjadi padanya. Seperti terhipnotis, dia lebih dari sekadar mengikuti arus, dia terlalu hanyut. Dia tidak bisa melawan. Lelaki yang merengkuhnya seakan merampas logika Hinata.
Perasaan tak segila ini. Atau dia yang belum terlalu memahami apa itu perasaan. Ini benar-benar gila. Dia masuk ke dalam jeruji lelaki itu. Dia tidak bisa melawan, pun beranjak. Setelah hidupnya yang monoton, dia dikejutkan oleh hadirnya pria asing atau alien ini. Ingin rasanya dia protes pada sang pemilik takdir, tetapi apalah daya, dia bukan siapa-siapa, dan tidak bisa apa-apa.
Naruto melirik Hinata di rengkuhannya. Dia terlihat sedang berpikir keras pada kejadian ini. Rasanya mungkin seperti tertabrak, terkejut, dan hal yang membuat hati bingung. "Tak perlu terlalu dipikirkan. Waktu yang akan menjawab pertanyaanmu. Kau hanya perlu bersabar, Hinata. Kalau kau memaksa ingatanmu, kau sendiri yang akan tersiksa."
"Apa kau pernah memiliki kekasih sebelum hari ini?" Tentu, pertanyaan ini yang paling sering ditanyakan perempuan ketika seorang lelaki mulai memberinya harapan. Ditanyakanlah seluk beluk percintaan.
Naruto terkekeh geli. "Sebelumnya, aku pernah beberapa kali berganti pasangan. Kupikir diriku ini tidak normal, karena aku tidak merasakan apa itu jatuh cinta. Kugali kembali masa laluku, dan menemukan dirimu. Debaran ini seperti nostalgia, aku merasakannya kembali."
"Apa bisa seperti itu?" tanya Hinata tak percaya.
"Buktinya ada padaku. Aku mengalaminya, secara nyata. Walau tak nampak, tapi aku merasakannya," ucap Naruto, dengan raut wajah serius, tak ditemukan setitik kebohonganpun ketika Hinata menatap matanya.
Hinata terpaku. Bagaimana bisa takdir semudah ini memberikan dia kebahagiaan. Meski dia belum terlalu merasakannya, dia yakin dia akan menemukannya bersama lelaki ini. Lelaki asing yang memaksa mematuhinya. Dia memohon agar disadarkan dari mimpi ini.
"Apa kau sudah yakin denganku?"
!!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
[6] Disappear in Me
FanficNaruto dan Hinata teman semasa kecil yang cukup dekat. Dikarenakan Naruto diadopsi oleh keluarga lain, dia terpaksa pergi, juga meninggalkan Hinata. Berkian tahun, Naruto datang tiba-tiba. Ada yang berbeda darinya. Ada yang hilang pula darinya. . . ...