DiM - 5

1.1K 77 6
                                    

"Aku tidak sengaja mengingatnya," celetuk Hinata.

"Sesungguhnya, aku alergi pada udang."

.

"Naru, aku membawa bekal. Nasi goreng, ada telur, udang, dan cuminya." Hinata menyodorkan kotak bekal berisi nasi goreng lengkap dengan topping lengkap.

Naruto menyendok nasi itu beserta telur gulung, tersembunyi seekor udang kecil di dalamnya. Dia mengunyah, menikmati betapa enaknya nasi goreng buatan Hinata. Tidak sampai sepuluh menit, badannya menjadi panas dan gatal. "Hinata, tolong aku. Panas."

"Aku akan panggil guru." Hinata panik melihat Naruto. Dia ke ruang guru, lalu menjelaskan tergesa-gesa. Guru tidak tinggal diam, mereka memanggil ambulan untuk membawa Naruto ke rumah sakit. Membiarkan dokter yang menangani.

Setelah kejadian itu, Hinata mengira Naruto alergi pada telur. Padahal tidak, dia alergi dengan udang di balik nasi.

.

"Memalukan sekali waktu itu. Aku bak monyet yang berkutu."

Hinata tertawa lepas, hingga mengeluarkan air mata. Mengingat saja sudah geli, apalagi jika Naruto mengalaminya lagi. "Untunglah hanya sementara."

"Sementara? Seminggu aku merasakan panas dan gatal. Dasar!" protes Naruto.

"Ngomong-ngomong, nasi goreng itu sudah kucampur udang." Hinata menunjuk mulut Naruto yang penuh nasi.

Naruto berlari ke arah kamar mandi. Memuntahkan semua yang berada di mulutnya. Dia mengambil segelas air putih setelah itu. Meminumnya sekali tenggak. "Selamat ... hah, baru beberapa suap."

Hinata menahan tawanya yang hendak meledak. "Maaf, Naru. Aku bercanda."

"Fine, nasi gorengmu terbuang sia-sia." Naruto merengut sebal.

"Kau tidak pulang?" Hinata berniat mengusir Naruto, tapi dia tidak peka saat disindir.

Naruto menyeringai. Dia berpikir; toh yang pergi dari sini kita berdua, bukan aku saja. "Menikahlah denganku."

Adik Hinata, Hanabi, menjatuhkan tasnya. Dia meraup udara sebanyak mungkin, terguncang dengan kejadian langka di mana calon kakak iparnya adalah pria tampan. "Kakak akan menikah? Dengan dia, aktor ini?"

"Hanabi, kau sudah remaja rupanya." Naruto membandingkan tingginya dengan Hanabi. Sebatas siku saja, Naruto jangkung sekali. "Kau pendek juga," ejeknya.

"Kakak Ipar, tampannya. Segeralah menikah." Hanabi meloncat kegirangan. Dia bisa memamerkan ketampanan calon kakak iparnya ini di instagram. Pasti dia akan terkenal dalam waktu dekat. Followers-nya juga akan bertambah, menguntungkan sekali.

"Adikmu saja sudah setuju," timpal Naruto. Dia memasang senyum selicik iblis.

"Kakak Ipar, ayo kita foto bersama." Hanabi mengeluarkan smartphone-nya. Dia membuka aplikasi kamera, pula memposisikan diri berjinjit.

"Tentu." Naruto membungkuk agar terlihat di kamera.

Ckrek

"Terima kasih, Kakak Ipar. Saranghaeyo." Hanabi kabur. Dia mengurung diri di kamar. Terkenal, terkenal, terkenal, batinnya.

"Adik durhaka." Hidung Hinata kembang kempis. Mempertahankan diri supaya tidak mengamuk detik ini juga.

"Apa susahnya menikah denganku?" Naruto mengguncang tubuh Hinata yang kaku. Meminta perhatian lebih pada pernikahan dadakan ini.

"Mana mungkin aku menikahimu. Aku tidak mencintaimu," tolak Hinata kasar.

"Apa yang harus kulakukan agar kau mencintaiku? Memberikan hartaku padamu? Kau ingin tas atau gaun baru? Apa? Katakan apa?" tanya Naruto penuh paksa.

Hinata geram atas setiap kalimat yang dikeluarkan mulut itu. Tanpa berpikir, blak-blakan sekali Naruto. "Kau pikir cinta semudah itu. Dengan harta, dapatkah cinta itu ada? Jangan padankan aku dengan obralan yang banyak dilirik."

Naruto melawan argumen Hinata. Dia tahu Hinata salah mengartikan rasa cinta dan pedulinya. "Hinata, maksudku tidak seperti itu. Aku mencintaimu, maka aku aka memberikan apa pun padamu. Kumohon mengertilah."

"Kau bahkan tidak mengerti diriku."

¡¡¡¡

[6] Disappear in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang