Malam itu seseorang muncul dari dalam buku dongeng yang dulu sering dibaca ibu untukku. Seorang pria tampan. Di sekelilingnya dipenuhi cahaya putih bersinar bak malaikat baik.Pria itu tersenyum, melangkah mendekat. Ada perasaan takut dan ingin mundur menjauh tapi sesuatu yang membahagiakan memerintahkan kedua kakiku untuk tetap di tempat. Seakan kakiku mengetahui pria itu adalah garis takdir, seseorang yang akan menyelamatkan aku—si pengecut ini dari lubang hitam—yang kuciptakan sendiri.
"Air mata kebajikan dari Dewi hujan." Aku merasakan sebuah sentuhan lembut di sekitar mata dan pipi. "Tepat di usia ke dua puluh lima, hidup seorang gadis akan berubah. Pilihan yang tepat meneteskan air mata pertamamu di atas buku itu," ujar pria tersebut, menunjuk buku yang tergeletak mengenaskan di lantai. Pria itu tersenyum lembut, menatapku dengan mata teduhnya.
Tidak ada yang bisa aku lakukan selain mengerutkan kening. Meskipun ada perasaan bahagia karena akhirnya ada seseorang yang bisa menyelamatkanku, tetap saja aku merasa ini aneh, tidak masuk akal. Seorang pria ke luar dari buku? Apa aku sedang berhalusinasi? Atau ini hanya mimpi? Aku mengangguk cepat tanpa ragu. Iya, ini pasti mimpi. "Jika ini hanya mimpi, aku berharap cepat bangun. Aku tidak ingin terjebak dalam mimpi indah yang membuatku melupakan bahwa kenyataan lebih pahit."
Pria tersebut terkekeh lalu menggeleng. "Jika ini mimpi, aku tidak mungkin berada di sini. Tenanglah, ini nyata. Pria tampan yang ada di hadapanmu ini nyata. Sangat nyata."
"Ini bukan mimpi?" Aku menggeleng. Rasanya apa pun yang pria itu ucapkan tidak akan benar-benar membuatku percaya kalau ini nyata. Dan jika semua hal aneh ini nyata itu malah lebih menyeramkan. Kuakui, aku bahagia tapi di sisi lain aku tidak bisa mengelak dari rasa takut yang kini menguasaiku. Kakiku pun setuju untuk melangkah mundur. "Jika kau nyata, itu malah lebih mengerikan."
Semua orang waras pasti akan melakukan hal yang sama sepertiku. Mundur, menjauh, menggigil ketakutan. Seberapa tampan pun pria itu tetap saja ini mengerikan. Bagaimana jika dia hantu? Atau Iblis yang menginginkanku untuk menjadi budaknya di sebuah istana berkabut yang menyeramkan? Realistis, realistis! Meskipun aku sangat berharap dia bisa membawaku kembali menikmati hangatnya mentari dan dinginnya hujan seperti dulu, itu tidak mungkin.
Kakiku terus melangkah mundur, menjauh dari pria tidak masuk akal yang masih tetap tersenyum dengan senyuman yang sama hingga tembok menghentikan langkahku.
"Jika ini mimpi kau berharap cepat bangun karena bertemu pria sepertiku di dalam mimpi terlalu indah. Dan jika ini kenyataan kau malah takut." Pria itu tertawa cukup keras sebelum mengarahkan tatapan tajamnya. Hilang sudah sorot lembut dan teduh yang tadi sempat membuatku terpana.
"Apa semua manusia seperti itu? Benar-benar, aku masih tidak percaya Dewi hujan memberikan air mata kebajikannya pada manusia sepertimu. Haaa .... Pasti ada kesalahan. Iya, pasti. Dewi hujan-"
Dewi hujan? Air mata kebajikan? Aku tidak mengerti apa yang dibicarakan pria tidak masuk akal dan gila itu. Bahkan menurutku kalimatnya lebih sulit dipahami jika dibandingkan soal matematika tersulit sekalipun. Dan kenapa pria itu terus mengoceh hal aneh yang tidak ingin aku dengar? Lalu kenapa dia melangkah mendekat?
Tidak, jangan. Jangan mendekat! Diam di sana! Apa yang terjadi? Kenapa? Kenapa kakiku tidak bisa digerakkan lagi?! Aku menggigit bibir bawahku. Pria itu sudah benar-benar berada di hadapanku dalam jarak sangat dekat. Ini terlalu menakutkan. Ditatap dengan sepasang mata tajam dalam jarak sangat dekat. Aku bisa membayangkan hal-hal yang mustahil terjadi di dunia nyata seperti tiba-tiba melihat kedua taring di sudut bibir si pria, lalu tiba-tiba menggigit leher dan mengisap habis darahku.
Aku ketakutan. Jika saja kakiku bisa digerakkan sudah pasti sedari tadi aku pergi melarikan diri dan meminta bantuan pada siapa pun. Tapi sayangnya kakiku menolak untuk digerakkan. Kalau begini ceritanya aku bisa apa selain pasrah dan menunggu kematian?
Kematian?
Bukankah itu yang kau inginkan? Menghilang tanpa harus membunuh diri sendiri? Seharusnya kau berterima kasih.
Ah, ya. Aku akan menerima kematianku malam ini dengan senang hati. Mungkin sedikit sakit. Dan yang pasti rasanya tidak sesakit ketika hidup di dunia ini kan? Sementara aku memikirkan tentang seberapa sakit yang akan aku rasakan ketika darahku dihisap, pria tersebut menundukkan kepalanya. Apa yang bisa aku lakukan sekarang hanya memejamkan mata dan menikmati perjalanan menuju kematian.
Namun tidak terjadi apa-apa selama bermenit-menit aku menutup mata. Aku bingung sendiri. Kenapa aku tidak merasakan sakit sama sekali? Apa jalan menuju kematianku dipermudah mengingat selama aku hidup selalu tersiksa?
"Dasar manusia naif." Telingaku menangkap suara seorang pria berbicara dengan nada meremehkan. Pria yang mengaku-ngaku kalau dirinya nyata, pria yang memojokanku ke dinding!
Sedikit kesal rasanya diejek naif oleh pria yang diragukan kenyataannya. Aku membuka mataku kemudian menatapnya galak. Sengaja aku melototkan mataku yang besar agar terlihat lebih menakutkan. Tapi alih-alih ketakutan, pria itu malah tertawa, salah satu tangannya memegang perut dan satu tangan lagi menutup mulutnya. Dasar, kalau mau ketawa ya ketawa saja, tidak perlu ditahan-tahan.
"Terima kasih telah membuatku berada di sini. Sebagai rasa terima kasih, bagaimana kalau aku mengabulkan satu permintaan yang selama ini hanya ada dalam khayalanmu?" ucapnya setelah puas tertawa selama beberapa menit.
Aku tidak menjawab, hanya diam menatap tepat di matanya. Mata indah sebiru laut, aku tidak dapat menemukan kebohongan di sana, seakan dia benar-benar mampu mengabulkan apa pun yang aku inginkan hanya dalam semalam. Matanya seakan mengatakan, jangankan meminta dibuatkan candi, minta dibuatkan negara pun aku sanggup. Cih, dasar pria aneh. Dia pikir dia Tuhan apa?
"Cinderella yang berubah menjadi putri dalam semalam dengan bantuan peri lalu kembali ke kenyataan yang pahit tepat jam 12 malam. Sihir tidak akan bertahan lama."
"Dan aku adalah orang yang REALISTIS! Itu hanya terjadi di dalam dongeng. Meskipun aku bodoh aku tidak bisa kau kelabuhi dengan cara aneh seperti ini, Tuan Iblis. Kreatif dikit kek. Payah deh."
"Lagipula kebanyakan kisah putri, pada dasarnya dia memang putri. Hanya saja karena orang tuanya meninggal dan memiliki ibu tiri dan sebagainya. Putri yang pada dasarnya memang seorang putri, konyol bukan?"
Pria itu menggeleng kemudian tersenyum. "Tidak, tidak seperti itu. Kau salah paham. Meskipun sihir yang diberikan pada Cinderella hanya bertahan sebentar, sihir itu tetap berjasa. Keesokan harinya pangeran dan para prajurit mencari pasangan dari sepatu yang tertinggal hingga akhirnya sang pangeran menemukan pemiliki dari sepatu tersebut dan Cinderella hidup bahagia."
Aku ikut menggeleng dan berdecak tidak terima. "Kalau Cinderella tidak kecentilan meninggalkan sepatunya, dia tidak akan bertemu pangeran. Hidupnya akan menderita selamanya!"
"Tunggu dulu-"
"Apa? Kau mau bilang aku salah paham lagi?! Aku tahu, aku sudah tahu kalau mereka yang menjadi putri dan akhir kisahnya hidup bahagia bersama pangeran itu pada awal memang seorang putri!"
"Mereka memang putri. Cantik, tidak jelek seperti aku," gumamku pelan. Aku harap pria itu tidak mendengar.
Hening.
Dia diam. Aku diam. Dia masih menatapku dengan tatapan yang sama, ekspresi yang sama seperti tadi, seakan dirinya hanya punya satu tatapan dan satu ekspresi. Sedikit aneh rasanya ditatap lama oleh seorang pria.
"Oh, jadi kamu ingin menjadi seorang putri tanpa sihir?"
"Aku sudah mengatakannya, bukan? Aku tidak ingin terjebak dalam mimpi indah yang palsu!"
"Aku berasal dari sana." Dia menunjuk buku yang tadinya aku baca di atas pangkuanku sebelum berada di lantai yang dingin. "Dari negeri dongeng. Jadi aku tahu betul kisah-kisah putri lebih dari dirimu." Dia menunjukku lalu berdehem pelan.
"Bagaimana kalau kita membuat cerita dongeng yang belum ada sebelumnya? Aku akan datang lagi untuk menagih jawabanmu."
Lalu dia menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri
RomanceSudah hampir tiga tahun Putri mengurung dirinya di kamar, berharap seorang pangeran akan datang menyelamatkannya. Membawanya pergi untuk menikmati hangatnya mentari setiap hari dan dinginnya hujan saat menyentuh kulit. Putri tahu mengharapkan seoran...