LIMA

83 15 12
                                    

Setelah kepulangan paman sekeluarga aku terus-terusan merutuki diriku yang dengan bodohnya kepancing emosi. Sekarang apa? Apa yang harus aku lakukan? Paman akan merasa menang jika yang aku katakan tadi hanya omong kosong.

Aku bilang apa tadi? Aku bisa? Akan aku tunjukan? Apa yang sebenarnya yang ingin kau tunjukan, Putri? Kebodohanmu?!

ARRGGGG...

Aku mengacak rambutku sambil terus merutuki bibirku yang berbicara seenaknya.

Lalu tiba-tiba silau. Maksudku ada cahaya yang membuat mataku sulit melihat. Cahaya yang begitu menyilaukan.

Apa cahaya matahari?

Tapi tidak mungkin cahaya matahari semenyilaukan ini.

Daripada mataku sakit aku lebih memilih menutupnya dan sebisa mungkin tidak berusaha mencari tahu darimana asalnya cahaya yang menyilaukan ini. Lagipula, untuk apa mencari tahu kalau kenyataannya itu benar-benar cahaya matahari yang terlalu bersemangat hingga menyelimuti seluruh kamarku dengan sinarnya.

Tapi...,

...tunggu

Kalau ini cahaya matahari, kenapa ada suara orang tertawa. Jelas ini bukan suara bang Hadhi maupun bang Chandra. Suara papa bukan, suara paman juga bukan.

"Hahaha...."

Itu suara....

"Hahaha...."

Aku mengerutkan alis. Tidak mungkin kan itu suara....

"Halo, kita bertemu lagi."

Jantungku nyaris copot dan melarikan diri ketika mataku melihat dia. Sosok yang membingungkan. Antara nyata atau tidak. Dia berdiri diantara kabut asap—seperti di film yang pernah aku tonton—melangkah mendekat lalu seenak jidat duduk di atas ranjang. Ketika dia menjentikan jari kabut asap tadi hilang tanpa bekas. Sepertinya dia memang sengaja menciptakan cahaya menyilaukan lalu kabut asap itu untuk berlagak seperti aktor di depanku.

Dia tersenyum, tapi mata indahnya tidak. Di bola matanya seakan ada tulisan 'dasar menyedihkan.' Dia menatapku dengan pandangan hina, seolah aku makhluk paling menjijikan di dunia ini.

Kalau boleh dan kalau bisa aku ingin mencongkel kedua matanya lalu aku jadikan pajangan. Kan lumayan matanya bagus.

"Marindukanku?" tanyanya dengan wajah penuh percaya diri. Kalau tadi aku ingin mencongkel matanya, sekarang aku ingin mengurung wajah beserta kepalanya di dalam aquarium kaca sama ikan-ikannya sekalian. Ikan piranha kalau perlu.

Aku tidak menjawab, hanya membalas tatapannya dengan tatapan angkuh. Kuharap begitu. Karena kenyataannya aku ketakutan. Aku takut dia adalah iblis yang ingin menculikku dan menjadikanku makan malamnya. Dan yang lebih aku takutkan lagi..., dia tidak nyata. Dan ini lagi-lagi hanya mimpi.

Jangan tanya kenapa. Entah, kali ini aku berharap dia benar-benar nyata. Bukan makhluk mitos yang diragukan kenyataannya.

"Kau menyedihkan."

'Aku tahu. Untuk itulah aku berharap kau nyata.' Aku tidak mengeluarkan suaraku dan hanya menjawab dalam hati. Selama beberapa menit aku hanya memperhatikannya. Dia berdiri dengan mata yang masih tertuju padaku. Aku mendongak dan baru menyadari kalau dia memiliki tinggi badan yang tidak normal. Maksudku terlalu tinggi. 188 mungkin? Atau 190?

"Bagaimana jika aku menepati janjiku sekarang?"

Janji? Aku menelan ludah. Apa sesuatu seperti itu memang ada di dunia ini? Di dunia nyata bukan dongeng yang dulu selalu diceritakan ibu sebelum tidur? Aku menggeleng. Bukan, aku bukan menolaknya untuk menepati janji tapi aku menggeleng karena masih tidak percaya.

PutriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang