ENAM

28 5 3
                                    

Masakanku sudah matang semua. Tumis kangkung dan sambal tahu campur ati-ampela. Semua mencicipinya, mengambil nasi lalu mengambil lauk secukupnya.

Aku tidak butuh pujian, sungguh. Aku juga tidak menginginkan masakanku bisa seenak masakan di hotel berbintang. Bagiku mereka mau memakan dan memasukkan apa yang aku masak ke dalam perut masing-masing meski rasanya pas-pasan sudah cukup untukku.

"Enak, Put," puji bang Chandra.

"Iyo. Sering-sering masak yo, Put." Yang ini bang Hadhi.

"Mantap, Put." Bibi ikut memujiku.

"Lezattt...." Aku tersenyum melihat Evita yang mengacungkan jempolnya dengan ekspresi kalau dia benar-benar suka dengan masakan sederhana itu. Sepertinya Evita tidak marah atas kejadian kemarin. Tapi biar bagaimanapun aku tetap harus minta maaf padanya nanti.

Setelah kejadian kemarin paman dan bibiku serta Evita masih tetap berkunjung ke rumah. Padahal kupikir kalimat yang kuucapkan sudah lebih dari cukup untuk membuat seseorang membenciku. Atau jika mereka tidak membenciku setidaknya mereka marah, kan? Orang yang sedang marah pasti lebih memilih untuk tidak bertemu dengan sumber yang membuatnya marah. Setidaknya tiga hari, bukan besoknya langsung bertatap muka kembali. Memang aneh. Tapi yasudah lah.

Kemudian mataku beralih pada Hana hanya sibuk mengunyah makanan yang penuh di mulutnya. Hana begitu menggemaskan. Sedangkan Paman..., dia juga sedang makan, tapi tidak ada tanggapan darinya tentang bagaimana masakanku. Aku tidak kecewa karena Paman memang lebih suka menghina orang ketimbang memuji.

Ketika aku sedang mengingat semua tingkah menyebalkan paman tiba-tiba pria bermulut pedas muncul di hadapanku. Aku hampir terjengkang ke belakang. Jika aku tidak berpegangan dengan pinggiran meja mungkin pantatku sudah jatuh mencium lantai.

"Kamu tahu apa yang paling aku benci dari manusia?"

Aku tidak menjawab. Tidak mengucapkan satu kata pun dan juga tidak mengangguk. Jin di hadapanku ini benar-benar menyebalkan! Dia mengatakan kalimat itu seakan tidak tahu kalau aku hampir jatuh! Wajahnya datar dan sekelilingnya penuh dengan warna hitam seolah dia sedang marah. Padahal yang seharusnya marah itu aku! Aku!

"Berpura-pura tidak membutuhkan bantuan. Cih, dasar munafik."

Mendengar itu amarahku seketika hilang. Sepertinya aku juga tersenyum.

"Daripada dibilang seperti itu aku lebih suka menyebutnya berusaha tidak menyusahkan makhluk lain."

Bang Hadhi dan bang Chandra menoleh ke belakang. "Kamu ngomong sesuatu, Put?" Bang Hadhi yang bertanya. Aku cuma menggeleng sebagai jawaban. Aku lupa kalau aku sedang tidak sendirian.

"Aku ke kamar dulu ya." Sebaiknya aku ke kamar. Aku tidak mau disangka orang gila gara-gara berbicara sendiri karena sepertinya hanya aku yang bisa melihat makhluk menyebalkan satu ini.

"Kamu sudah makan? Makan dulu kalau belum." Kali ini bang Chandra yang buka mulut.

"Belum. Sebentar lagi aku makan kok."

Di kamar aku dan dia duduk saling berhadap-hadapan di atas ranjang dengan kaki bersila. Dia menatapku tajam, aku juga berusaha menatapnya dengan tatapan serupa. Dia pikir hanya dia yang bisa melakukan itu?

Mungkin lebih dari lima menit kami berada di posisi seperti itu barulah dia berdiri dan tiba-tiba menghilang. Dasar makhluk tidak punya sopan santun! Datang seenaknya pulang juga seenaknya.

Tidak lama setelah kepergian jin menyebalkan tiba-tiba tubuhku terasa dingin sekali. Seluruh bulu kudukku juga berdiri. Ada apa? Aku melirik ke arah jendela yang terbuka lebar. Hanya angin, kenapa harus takut? Daripada mengurusi jendela dan angin aku lebih memilih tetap diam di tempat. Rasanya terlalu lelah untuk berjalan ke sana. Mungkin aku kelelahan karena mencuci dan memasak tadi. Huh, padahal masakan yang aku buat hanya masakan sederhana, baju dan piring yang aku cuci juga cuma sedikit.

Aku merenggangkan tubuh. "Mungkin karena aku sudah lama tidak melakukan dua hal itu."

Ketika aku hendak membaringkan tubuh, mataku tak sengaja melihat buku dongeng tergeletak di lantai.

Aneh. Perasaan aku sudah meletakkannya di atas meja. Kenapa bisa ada di situ? Apa ini kerjaan makhluk gila itu? Aku mendengus, mengambil buku tersebut dan meletakannya ke tempat seharusnya dia berada.

"Ah, capek. Apa aku tidur aja, ya?"

Hm, sepertinya aku tidak bisa tidur. Angin yang membuat seluruh tubuhku merinding datang lagi. Padahal tadi sempat hilang sebentar saat aku turun dari ranjang untuk mengambil buku. Apa aku tutup saja jendelanya? Tapi ini masih siang, namanya pemborosan kalau menghidupkan lampu disaat matahari masih berada di singgasananya.

"Biarkan saja lah. Toh, merindingnya pasti cuma sebentar. Kalau tidak bisa tidur ya sudah, seperti ini sudah cukup."

Aku menatap langit-langit kamar dan menggosok-gosok tanganku untuk mengalihkan rasa dingin yang semakin menjadi. Entah kenapa aku seperti berada di suatu tempat paling dingin di belahan dunia.

Ini tidak mungkin perbuatan angin. Aku menoleh ke jendela, tidak ada siapa-siapa. Apa mungkin ini ulah si makhluk tidak tahu sopan santun itu?

"Siapa lagi kalau bukan dia? Sudahlah, Putri. Abaikan saja. Dia begitu pasti karena masih marah."

Iya, kemarin kan dia sangat marah karena seorang manusia menyedihkan seperti aku pada akhirnya malah memutuskan untuk tidak meminta apapun.

Kemarin setelah aku menggeleng dan mengucapkan kalimat penuh keangkuhan dia langsung menghilang tanpa mengucapkan apapun.

"Sepertinya aku bisa menjadi seorang Putri seperti yang aku inginkan dengan caraku sendiri karena namaku sendiri adalah PUTRI."

Kalimat itu memang terdengar sedikit sombong. Aku mengembuskan napas, tersenyum menatap langit-langit kamar. Jika kemarin aku meminta sesuatu padanya apa itu benar-benar terwujud? Jika terwujud, apa aku benar-benar akan menjadi orang lain? Apa hidup dengan keadaan yang mendadak berubah itu menyenangkan? Aku memikirkan semua itu di kepalaku kemarin hingga aku memutuskan untuk menggeleng dan tidak mengucapkan satu permintaan yang aku inginkan.

Kembali aku mengembuskan napas. Aku yakin pilihanku sudah benar.

Meminta agar takdirku dan Evita ditukar. Aku berada di posisi Evita sedangkan Evita berada di posisiku. Aku hidup nyaman dan Evita menderita.

Itu permintaan yang sangat kejam. Jika aku benar-benar mengucapkannya maka aku yakin detik itu juga aku akan menjadi manusia paling jahat sedunia. Evita tidak salah apa-apa, dia tidak ada hubungannya dengan hidupku yang menyedihkan, lalu kenapa aku melibatkannya? Yang jahat itu ayahnya, bukan dia.

Sekarang aku lega. Aku tidak meminta apapun pada makhluk itu dan keputusanku untuk kembali melangkah ke depan secara perlahan—bukan diam di tempat seperti pesakitan telah aku lakukan hari ini. Memasak dan mencuci untuk sekarang. Besok aku akan melakukan hal yang lebih lagi.

Kurasa ini berkat makhluk itu juga. Tanpa dia sadari kata-kata pedas yang meluncur dari mulutnya kalau aku benar-benar menyedihkan membuatku berpikir kalau aku akan lebih menyedihkan lagi jika aku meminta pertolongannya.

Tubuhku tidak merinding lagi. Sepertinya dia lelah mengerjaiku karena aku abaikan. Baguslah, dengan begitu aku bisa tidur nyenyak. Aku menguap kemudian menutup mata.

"Jadi dia?"

"Wajahnya tidak seperti yang aku harapkan. Tapi auranya beda. Pantas dia bisa membuka portalnya."

Aku mengerutkan kening. Apa aku sudah berada di alam mimpi? Tapi kenapa suara seorang pria dan kodok yang aku dengar begitu nyata?

Penasaran, aku memberanikan diri membuka mata.

"Apa yang harus aku lakukan? Membunuhnya atau menjadikannya istri?"

Sepasang mata kelam menatapku dengan tatapan paling dingin yang pernah aku terima. Tapi kenapa tubuhku mendadak panas?







#########

YAY UDAH CHAPTER 6!
Terima kasih untuk kalian semua yang telah membaca cerita saya.

Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar kalian, ya~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 28, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PutriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang