1 • Mantan

316 26 6
                                    

Situasi paling menyebalkan dalam hidup itu, ketika kau sedang berada di suatu tempat dan ternyata tak jauh dari tempatmu berdiri, mantan yang paling kau sesali pernah kau jadikan pacar juga ada di sana. Lengkap dengan para teman lebaymu yang meledeki kalian berdua.

Seperti yang menimpa Nina saat ini.

"Nina, ada Rama, Nin!"

"Mantan, Nin, mantaaan!"

"Nina-nya malu-malu anjing, Rama-nya salting. Cocok udah, cocok!"

Yeah, welcome to the fucking moment ever, Nin.

Menginjakkan kaki di gundukan tangga yang menuju kelas 10 IPS 1, cewek bersurai hitam itu menggerutu kesal. Selalu seperti ini. Konstan setiap Nina terjebak dengan cowok berkulit sawo matang itu di suatu tempat yang sama, maka teman-teman Nina akan mengejek mereka berdua.

Tak peduli Nina melihat keberadaan cowok itu atau tidak, tapi kalau sepasang mata teman-temannya sudah menangkap siluet cowok jangkung dengan rambut berdiri nyentrik, itu berarti bencana sudah dimulai.

Tapi teman-teman Nina tak akan menghabiskan waktu lama untuk 'mem-bully'. Hanya sampai pipi si cowok memerah karena malu, lalu mereka akan berhenti karena sakit perut akibat tertawa terpingkal-pingkal.

"Little shit lo semua. Tai." Nina menghardik begitu merasa teman-temannya sudah mengekori ia kembali untuk memasuki kelas. Nina tak mungkin salah orang, karena sebelumnya, tawa khas Sabil—salah satu temannya yang bila tertawa, akan memancing orang lain untuk tertawa pula—ia dengar tepat berada di belakangnya.

"Astagfirullah, Nina berkata kasar, Teman-teman." Itu sahutan dari teman Nina yang lain—Gissa—sebelum akhirnya suara-suara tawa dari neraka kembali berterbangan di udara.

•••

Selepas menunaikan kewajiban sebagai pelajar, yaitu bersekolah, Nina dan Gissa berjalan menyusuri jalan setapak, jalan penghubung antara komplek perumahan tempat sekolah mereka berada dengan komplek perumahan mereka.

Bersama rambut pony-tail yang bergoyang ke sana-sini mengikuti gerakan sang empunya, inci demi inci jalan bertanah, Nina tekuri. Berulang kali Nina mengumpat begitu ia hampir terjungkal karena tersandung batu-batuan besar.

"Nin," Gissa memanggil tak jauh di depan Nina.

"Apaan?" Nina menyahut cuek, masih dongkol karena kejadian di tangga sekolah tadi.

"Ninaaa," panggil Gissa lagi, sepertinya ingin menyulut emosi cewek di belakangnya.

"Apaan, Tai? Nggak usah sok misterius, Nyet." Nina ngegas. Gissa jadi cekikikan sendiri.

"Wohooo, calm down, Baby, calm down," kata Gissa di sisa-sisa tawanya. "Gue... 'kayaknya' ada usul." Nada cewek yang setiap harinya melipat sedikit kedua lengan seragam itu, berubah serius. Ia mengutip kata kayaknya dengan sepasang jari telunjuk dan tengah.

"Usul apa, sih?" Nina mulai keki. "Kalo ngomong jangan setengah-setengah, please."

Lagi-lagi, Gissa cekikian. Membuang nada seriusnya beberapa detik lalu. Keduanya kini sudah keluar dari jalan setapak dan berjalan bersisian di tengah-tengah jalanan komplek perumahan mereka menuju rumah masing-masing.

"Oke, oke," Gissa berdeham. Aura di sekeliling mereka kembali berubah serius. "Kenapa lo nggak balikan aja, Nin, sama Rama?"

Dan seolah di depannya terdapat batu super besar tak kasat mata, Nina benar-benar langsung terjungkal.

[M a n i f e s t a s i : Satu]

ManifestasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang