"Ibu kok nggak bangunin aku, sih?! Telat kan, jadinya!"
Sang ibu yang sedang mengikatkan tali sepatu anak bungsunya, mengernyit heran.
Padahal, semua permasalahan berpusat pada anak perempuannya yang berteriak nyaring itu.
Yah, akibat terlalu memikirkan omongan Gissa yang membuat kepala runyam karena tak menemukan titik terang semalaman, Nina baru tertidur jam 3 dini hari. Itu pun ia harus meminum satu pil obat tidur milik ayahnya terlebih dulu agar bisa segera pergi ke alam mimpi tanpa harus bangun telat keesokan harinya.
Tapi sayangnya Dewi Fortuna sedang absen untuk mengurus keberuntungan-keberuntungan orang lain.
Sehingga Nina bangun terlambat di jam 7 lebih 30 pagi ini.
Oh. Bahkan ayam jantan sudah kembali ke dalam kandang, menanti pagi berikutnya untuk berkokok.
"Kok nyalahin Ibu? Tadi udah Ibu bangunin, kata kamu sekarang libur. Ya udah, Ibu diemin." Si ibu memandangi putrinya yang baru saja menuruni tangga dengan terburu-buru.
Kini, Nina sudah berada di ruang tamu, memakai asal converse hitamnya ketika Ibu menyerocos tak tahu situasi, seperti, "Tadi Ibu liat ada obat tidur Ayah di meja kamu. Kamu minum itu semalem? Emang insomnia bisa nular? Ibu baru tau."
Tak mau ambil repot, Nina memilih untuk mengabaikannya dan langsung berlari keluar.
Tapi seolah mengingat sesuatu, Nina menepuk pelan jidatnya kemudian kembali masuk ke dalam rumah.
Menyalimi tangan ibunya lalu mengucapkan salam.
Menerapkan salah satu motto hidupnya: buru-buru boleh, nggak sopan jangan.
•••
Jam 7 lebih 40 menit. Dan kaki Nina baru mencapai gerbang komplek perumahannya. Salahkan penjaga jalan penghubung ke sekolahan Nina yang belum membukakan portal di pagi hari begini sehingga Nina harus jauh-jauh memutar arah lewat jalan raya.
Ingin memaki, tapi tak ada guna. Jadilah ia mendengus keras-keras.
Sampai seseorang yang ternyata berada di sebelahnya sambil memegang ponsel sedari tadi, menoleh.
Seragamnya kurang lebih sama dengan Nina. Yang membedakan hanya seragam yang Nina kenakan versi cewek, sedangkan orang itu versi cowoknya.
"Ya elah. Lo lagi," kata cowok itu.
Sepertinya, Dewi Fortuna memang sedang absen untuk jangka waktu yang panjang. Karena Nina sangat mengenal suara itu. Oh, bolehkah Nina meralat?
Nina kenal betul dengan pemilik suara itu.
"Eh, Mantan." Sialnya lagi, ia keceplosan. "—Rama maksud gue, seriusan!"
Cowok itu berdecak, memalingkan pandangannya ke arah yang berlawanan. "Mana temen-temen alay lo? Jangan bilang mereka juga di sini."
"Ya mereka di sekolah, lah." Sadar akan sesuatu yang ia ucapkan, Nina langsung memekik. "—Ya Allah! Gue lupa kalo telat! Ah, gara-gara lo ngajak gue ngobrol, sih!" Dan ia menabok bahu Rama sepenuh hati.
Yang diperlakukan seperti itu nampak tidak terima. Ia mengusap bekas kejahatan Nina, sebelum akhirnya ikut-ikutan menaikkan intonasinya. "Apa sih lo, nabok-nabok?! Sok kenal! Ngapain juga gue ngajak lo ngobrol? Kayak nggak ada kerjaan lain aja! Emang lo doang yang telat? Gue juga, kali!"
Setelah keluarnya kalimat beruntun dari Rama itu, hening yang cukup lama terjadi. Yang dipakai Nina untuk membuang muka. Dan Rama pakai untuk menetralkan napasnya yang memburu.
Masih membuang muka dari Rama, Nina melirik arloji toska yang melingkar di lengan kirinya.
Sial.
Waktu benar-benar tak berhenti barang sedetik saja. Jarum di arlojinya sudah menunjukkan pukul 07.55. Itu berarti tersisa 5 menit lagi, sebelum pelajaran pertama dimulai. Dan Nina tak ingin namanya ditulis absen pada pelajaran pertama di buku Agenda Siswa oleh Si Sekretaris kelas.
Tidak. Tak boleh terjadi. Itu nightmare terburuk. Track record-nya di kelas 10 bisa tercoreng dengan adanya huruf A—pertanda tidak hadir tanpa keterangan—di bagian Kehadiran Siswa yang ada dalam rapornya.
"Malah bengong, lagi! Woy, lo itu telat. Lo nggak ada usaha buat jalan kaki, apa?"
Nina yang tersadar dari lamunan tentang nightmare-nya, buru-buru menggeleng kuat, lalu mengejar Rama yang berada beberapa meter di depan.
Satu-dua langkah terpenuhi begitu Nina tiba di sisi Rama. Dan telunjuk lentiknya tak tahan untuk tidak terangkat, menodong tepat di depan mata cowok itu, kemudian berseru. "Noh, kan! Barusan lo ngajak gue ngobrol!"
[M a n i f e s t a s i : Tiga]
KAMU SEDANG MEMBACA
Manifestasi
Short Story[FINISHED] "Malah bengong, lagi! Woy, lo itu telat. Lo nggak ada usaha buat jalan kaki, apa?" Satu-dua langkah terpenuhi begitu Nina tiba di sisi Rama. Dan telunjuk lentiknya tak tahan untuk tidak terangkat, menodong tepat di depan mata cowok itu, k...