Dengan tangan terpaut, keduanya berlari, memasuki asal salah satu gedung kosong yang sejak awal sudah tertangkap oleh indra penglihatan mereka.
Menaiki tangga menuju rooftop gedung, tujuan mereka masih sama: menghindari salah satu anjing spesies bulldog yang sedari tadi mengejar, supaya tidak meninggalkan bekas gigitannya di betis atau bahkan lengan mereka.
Sampai di rooftop, keduanya menghela napas saat bulldog sialan itu tak lagi mengejar. Hanya sedetik, sebelum mereka saling pandang dan tertawa lepas.
"Gila! Keren! Baru pertama kali gue dikejar bulldog! Ternyata seru juga! Kapan-kapan lagi ya, Ram?!" Nina kegirangan. Meski napasnya masih satu-satu, kini ia sudah melompat-lompat seperti anak kecil minta dibelikan balon di sebelah Rama.
"Tai. Bodo amat."
Jawaban Rama tentu membuat Nina melengos, berpaling. Menikmati pemandangan kota Jakarta yang ramai dari atas sini. Rambut yang pagi itu ia gerai, berterbangan diusik angin. Beruntung baru jam 8 pagi, jadi hawa panas dan gerah belum begitu terasa.
Cewek itu masih asyik dengan dunianya sendiri sebelum dehaman Rama menginterupsi.
"Kenapa?" tanya Nina. Bingung sekaligus lucu melihat ekspresi Rama yang menegang, tersiram oleh cahaya mentari pagi.
"T-tangan lo, Nin."
Oh.
Oh? Mungkin maksud Nina:
Kok gue bisa lupa kalo gue sama Rama masih gandengan?!
Buru-buru Nina melepas tautannya. Agak menyentak memang. Tapi siapa yang peduli? Toh, keduanya sama-sama membuang muka ke arah bertolak belakang akibat rona merah yang sudah menjalar ke mana-mana.
Keduanya tersenyum sendiri. Dan untuk satu alasan itu, mereka tak mengerti.
Oh, mungkin karena suatu gelenyar aneh yang entah datang dari mana, mengalir di pembuluh darah keduanya. Berbaur dengan darah dan mendesirkannya. Berenang terus dan terus sampai memasuki jantung. Mendobrak-dobrak degubnya hingga mengubah ritmenya menyerupai sebuah drum yang ditabuh di suatu acara penting.
Melted bersama.
Uh, andai rasanya semanis kedengarannya, pasti Nina akan dengan senang hati menerima situasi seperti ini.
Tapi sungguh. Berdiam diri bersama mantanmu di tempat menenangkan ini, mendengarkan deguban jantung kalian berdua yang entah mengapa bisa terdengar sampai ke telinga, bukanlah salah satu contoh hal menyenangkan.
Percayalah.
"Nina?"
Setelah kecanggungan yang amat menyiksa, Rama memberanikan diri untuk memanggil Nina. Semburat merah muda itu masih setia bertengger di tulang pipinya yang kentara.
Ah, dengan keadaannya yang seperti ini, Rama malu harus berada bersebelahan dengan cewek itu. Dan seharusnya, ia tidak usah memanggil Nina, sebab itu hanya akan mengguncang-guncangkan hatinya saja.
Tapi mau bagaimana lagi, jika cewek itu sudah terlanjur menoleh, menatapnya tepat di mata dengan disertai sahutan "kenapa"?
Ingin tidak ingin, Rama harus mengakhiri semuanya. Memanifestasikan segala keinginan dari perasaan yang telah disusun sedemikian rupa sejak... Sejak? Entahlah. Rama bahkan tak pernah menghitungnya.
Maka dari itu, untuk mempercepat waktu, dengan mantap ia berkata,
"Balikan sama gue, mau?"
END
•••
—Oh! Atau belum!
Biarkan aku meminta waktu sedikit untuk memberi tahu sesuatu padamu.
Jika kini kukatakan bahwa cerita ini belum selesai, maka percayalah.
Karena kisah mereka memang belum dan tidak pernah selesai.
Kisah mereka bahkan baru, dan akan selamanya dimulai.
[M a n i f e s t a s i : Selesai—atau belum?]
a/n:
terinspirasi dari kisah nyata. nama diubah, tapi insial tetap sama.
by the way, ini short-story pertama gue, lho! semoga suka!☻
dan... sampai jumpa di short-story gue selanjutnya!🌈
sincerely,
for feels💝
KAMU SEDANG MEMBACA
Manifestasi
Short Story[FINISHED] "Malah bengong, lagi! Woy, lo itu telat. Lo nggak ada usaha buat jalan kaki, apa?" Satu-dua langkah terpenuhi begitu Nina tiba di sisi Rama. Dan telunjuk lentiknya tak tahan untuk tidak terangkat, menodong tepat di depan mata cowok itu, k...