2

14 3 0
                                    

Cafelia berbaring di atas tempat tidurnya setelah mengganti pakaian. Ia memejamkan mata. Hatinya kian berbunga bunga mengingat kejadian barusan. Duduk satu meja dan berbicara saja itu sudah anugerah, apa lagi diajak berangkat bersama?

Beberapa kali Cafe menepuk kedua pipinya.

"Gue mimpi? Enggak kan?" suaranya memenuhi ruang kamarnya.

Pikiran Cafe melayang jauh. Ia mengingat saat ia baru menginjak usia 15 tahun. Saat pertama kali Cafe sadari bahwa ia punya rasa pada sosok absurd cowok bernama Azmokasin Satyadarma.

Sosok itu biasa. Ia lelaki penggemar dunia fotografi dan pecinta permainan skateboard. Cafe mulai menyukainya saat ia melihat Moka membekukan waktu. Entah kenapa, Cafe suka gaya Moka seperti itu. Mata hitam yang sering menatap tajam tampak fokus, tangannya yang lincah memainkan fokus kamera, serta cara ia mengambil sudut pandang pun membuat hati Cafe meleleh.

Moka telah mencuri hati Cafe sejak hari itu tanpa Moka tahu dan tanpa Cafe izinkan untuk pergi, hatinya telah memilih.

***

"Senyum-senyum gak jelas.. Kesambet lo, Dek?" tegur Vedri--kakak Moka.

"Kesambet cinta," sahut ayahnya dari ruang keluarga.

"Cinta itu omkos deh," kini Sergy ikut nyeletuk.

"Sejak kapan keluarga ku tercinta memperhatikan ku sebegitunya.." senandung Moka menuju kamarnya.

"Moka kenapa sih, Yah?" tanya Sergy melihat adiknya itu tampak bahagia.

"Kepo deh," sahut Moka sebelum menutup pintu kamarnya diiringi senyum penuh misteri.

"Awas kesenengan, sisain buat sedihnya. Entar kalo sedih sakit banget lho!" seru Vedri iseng.

"Sirik lo, Bang!" sahut Moka.

Tawa Vedri pecah mendengarnya. Ia tahu betul Moka sedang bahagia pasti karena wanita. Hanya saja Vedri belum tahu siapa wanita itu yang bisa membuat adiknya sebahagia itu.

Moka memandangi langit-langit kamarnya sambil membayangkan gadis lucu dengan rambut pirang yang ujungnya dicat maroon. Gadis dengan senyum berlesung dan mata bulat seperti boneka. Moka tak bisa menghilangkan wajah itu dari pikirannya. Moka sudah lama ingin memiliki gadis itu. Tapi ia sadar, siapalah ia dibanding Cafelia yang punya segalanya?

***

"Tumben pagi bangunnya?" tanya Ibu saat Moka duduk di meja makan pukul 06.15.

"Iya, Bu. Ada janji jemput temen, takut telat," jawab Moka malu.

"Jemput temen? Siapa? Bukannya temen Moka cuma kamera doang?" olok Ibu.

"Bu.. Moka manusia kali bukan barang elektronik," rajuk Moka.

"Iya, iya, bujangnya, Ibu.." sahut Ibu menatap Moka dengan senyum lembut.

"Pagi, Bu! Pagi, Dek!" sapa Vedri saat keluar dari kamarnya.

"Ya.. Yaa.. Pagi rusuh," balas Moka malas.

"Tumben lo udah stay di sini? Biasanya jam segini baru melek," Vedri menatap curiga adik yang muda lima tahun darinya.

"Bukan urusan lo, kepo amat deh," sahut Moka sedikit ketus.

"Lagi dateng bulan, Ka? Sensi beud, wkwk..." tawa Vedri.

"Bu, Moka berangkat dulu, yaa!" pamit Moka.

"Lho? Gak nungguin yang lain dulu, Ka?"

"Gak deh, Bu.. Assalamu'alaikum," Moka meninggalkan ruang makan setelah menyalami tangan ibunya.

Ia melajukan mobilnya santai menuju rumah Cafe. Sebelum turun dari mobil menjemput Cafe, Moka merapikan rambutnya.

Teng.. Tong..

Pintu terbuka. Cafe berdiri dengan seragam lengkap dan rambut yang dikucir ekor kuda. Senyum kecil tersungging pada bibir mungilnya.

"Udah siap?" tanya Moka.

"Udah. Lo mau pamit dulu sama bo-nyok gue?" tawar Cafe.

"Emm.. Mana?" Moka sedikit ragu, tapi akhirnya memberanikan diri.

"MAAA...?? PAAA...?!" Cafe berteriak memanggil orang tuanya.

Sosok berwibawa dan anggun tiba di ambang pintu. Moka terkagum melihat aura positif dari sosok mereka.

"Siapa, Lyn?" tanya Mama Cafe.

"Temen, Ma.. Tuh rumahnya yang di ujung blok," jawab Cafe.

"Hai, Om, Tante.. Saya Moka anaknya Satya," Moka mengulurkan tangannya.

Papa Cafe balas menjabat tangan Moka diikuti oleh Mama Cafe.

"Saya mau ajak Cafe berangkat bareng saya, Om, Tan.." ucap Moka sopan.

"Iya, jagain anak Om. Hati-hati," sahut Papa Cafe.

"Yaudah, kalo gitu Cafe berangkat dulu, Ma, Pa.. Daahh.." Cafe mencium kedua pipi orangtuanya.

"Misi Om, Tan.." pamit Moka.

Mereka segera meluncur menuju sekolah. Cafe bercerita betapa berbedanya hari yang ia jalani hari ini.

"Biasanya juga teguran ama lo gapernah," Cafe menatap Moka dengan senyum bahagianya.

"Iya, habis gue juga bingung mau gimana negur lo duluan,"

"Kenapa emangnya?"

"Lo itu bagaikan putri raja dibanding gue yang bukan apa-apa,"

"Mulai deh lo, lebay banget,"

"Eh.. Gitu kenyataannya kali, Cafe,"

"Gue sama kali kayak semua orang, gak ada bedanya,"

"Gue sama lo beda, Cafe.."

"Beda apanya? Sama aja kali, Mo.. Lo itu.."

"Gue cowok dan lo cewek," potong Moka.

"Mokaaaa!" seru Cafe gemas.

"Lo lucu," puji Moka yang seketika membuat pipi Cafe merona.

Moka mengucap syukur dalam hatinya. Ternyata semua tak sesulit yang ia bayangkan. Ia hanya butuh nyali dan keberanian untuk mendekati Cafelia.

Di sisi lain, Cafe sedang merasa hatinya kini di tumbuhi berjuta jenis bunga yang indah. Jantugnya sudah seperti hendak melompat keluar setiap kali Cafe dipuji atau pun ditatap oleh Moka.

"Kalo kita kenal cinta dari sekarang terlalu cepet gak?" Moka membuka suara yang membuat Cafe terperangah.

Masala(ku)luTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang