Kasus-kasus yang ditanganinya sama sekali tidak berbobot. Sesekali Will mendapati kekecewaan dalam dirinya karena Jack memang dengan sengaja menaruhnya di zona aman. Namun setelah segala yang terjadi, ia bisa memahami.
Kali ini mereka baru saja sukses menangkap pelaku pembunuhan seorang pegawai kereta api dengan motif dendam dan kesenjangan sosial yang dilakukan oleh tetangganya sendiri yang merupakan pemuda pengangguran.
Will baru saja meneguk beberapa butir aspirin saat sekelebat bayangan hitam seolah menatapnya dari balik semak dan pepohonan. Will membalas tatapan itu, namun ia tidak berjalan menghampirinya.
"Kerja bagus, Will." Jack Crawford menepuk punggungnya. Will yang fokusnya teralihkan mencoba mencari lagi sosok di balik semak itu, namun ia tidak berhasil menemukannya. Dia tidak tahu harus merasa lega atau kecewa.
"Kau boleh pulang sekarang." Lanjut Jack. Will mengangguk.
---
Will tidak lagi melihat kijang ataupun wendigo yang menghantui tiap langkahnya. Alih-alih, dua sosok itu muncul sebagai bayangannya tiap kali ia menggunakan cermin. Kadang ia berbicara sendiri, mengakui rasa bingungnya tentang apa yang sebaiknya ia lakukan dengan mereka.
Jam menunjukkan pukul setengah satu malam (atau pagi?) saat Will mendengar ketukan di pintu apartemennya. Beberapa anjingnya hanya mendongak sebentar, sebelum melanjutkan tidur mereka.
Will meraih sepucuk handgun yang disembunyikannya dibawah bantal. Dia memeriksa ketersediaan peluru dalam selongsongnya sebelum akhirnya memberanikan diri berjalan ke ruang depan.
Suara ketukan itu semakin keras.
Will mencoba melihat dari lubang intip, dan tentunya dia tidak melihat siapapun disana. Namun ketukan itu masih terdengar—Dengan sergap Will membanting pintu itu terbuka, dan melirik ke arah kiri dan kanan, menodongkan senjata apinya bersamanya.
Kosong.
Jantungnya masih berdegup kencang. Hembus angin musim gugur menyadarkan Will bahwa dirinya, bertelanjang kaki dan hanya mengenakan sehelai kaos yang basah karena keringat. Dia bisa terkena flu.
Setelah sekali lagi memeriksa dan memutuskan bahwa seseorang di pintu hanyalah ulah pikiran tak warasnya, Will kembali masuk kedalam apartemennya—
"Kau," Will dengan panik mengangkat pistolnya, mengarahkan senjata itu pada siluet seorang lelaki berjaket hitam yang secara entah bagaimana bisa berdiri tenang di tengah ruang tamunya.
Tangannya gemetaran, namun Will tetap memastikan moncong senjatanya tetap terarah pada baik kepala maupun badan sosok itu.
"Lihat apa yang kau perbuat padaku," Ujarnya terbata. Dia melirik segala kekacauan di tempat yang ia sebut 'Rumah' ini. Kertas dan buku-buku, juga anjing-anjingnya yang tidur berdesakan di lantai kayu.
"Kau tahu? Kini kau memiliki pengikut yang menyenandungkan namamu bak dewa pagan. Terimakasih pada Freddie Lounds,"
Sosok itu tidak merespon.
"Aku tak mengerti. Setelah semua yang kau perbuat— yang kita lakukan bersama. Kupikir kita sudah sepakat dalam satu hal?" Will mengingat kembali percakapan mereka di tepi jurang itu. Bahwa ia menyetujui keindahan dari apa yang dinamakan orang lain sebagai kegilaan.
"Saat kau muncul dalam mimpiku, aku tidak bisa memutuskan bahwa itu mimpi buruk atau bukan— Sial! Aku bahkan tak bisa bernapas tanpa mengharap kau juga mengirup udara yang sama denganku—dan sekarang aku bahkan tidak bisa menarik platuk benda terkutuk ini!" Ia mengacungkan moncong pistolnya tepat ke arah dahi sosok itu.
"..Kenapa kau selalu ada ?" Lirihnya. Kini kedua kakinya tak lagi cukup kuat untuk bertumpu. Kepalanya terasa sangat berat.
Seseorang seolah menahan tubuhnya agar tidak jatuh bebas membentur lantai. Telapak tangan yang hangat meraih handgun dalam genggamannya dan menjauhkannya dari jangkauan. Sosok itu membantunya untuk duduk bersandar di kaki sofa.Will merasakan kembali telapak tangan hangat itu di tengkuknya. Dia meraih dan ikut menggenggam tangan itu.
"Hannibal," Panggilnya lemah. Kau mau meninggalkanku lagi?
"Kita sudah menyetujui satu hal, Will."
Suara beraksen khas itu seolah membangkitkan rasa nostalgia dalam dirinya— dan dengan berat hati Will mengakui bahwa ia sangat merindukan sosok itu. Sialan. Kenapa di saat begini, ia justru berada dalam kondisi—
"You son of a bitch ... Apa yang kau masukkan dalam minumanku..?" Tuduhnya. Sosok dihadapannya tersenyum.
"Sampai jumpa lagi, Will."
Will Graham merasakan kecupan di dahinya sebelum akhirnya ia mendengar suara pintu ditutup, dan kesadarannya benar-benar hilang.
-END-

KAMU SEDANG MEMBACA
Hembus: Air to Breathe
FanfictionDia selalu ada, bahkan dalam tiap hembusan napas yang diambilnya. "Kau tahu," Pecahnya. "aku masih merasakan bahwa dia berada didekatku." Disini Alana menurunkan ponselnya, dan meletakkannya di atas meja kayu yang tak kalah noraknya dengan sofa Will...