Juni: Ramadhan

199 9 17
                                    

Minor di Antara Mayor

by: Shin Chunjin

Warning: cerita ini based on author's true story, tidak mengambil keuntungan apapun dan tidak berniat menyinggung siapapun.

Enjoy~

~~~~~~~~

Aku baru saja mendapat pekerjaan tetap bulan Januari lalu. Aku menganggur enam bulan lebih sebelum akhirnya mendapat tawaran di tempatku bekerja sekarang. Sebagai orang yang akhirnya mendapat pekerjaan, aku senang sekali sekaligus bersyukur. Zaman sekarang, sulit sekali mencari pekerjaan. Baru mencari saja sulit. Bayangkan saja kemungkinan diterimanya. Nilai tinggi dan predikat cum laude tidak menjamin kita cepat mendapatkan pekerjaan meskipun itu faktor pendukung yang penting jika hendak melamar. Oh, perlu kalian ketahui bahwa aku adalah keturunan Tionghoa.

Satu kata yang cukup meresahkan ketika aku memulai kehidupan di dunia kerja adalah Ramadhan. Pasalnya, hanya aku yang bukan muslim di antara rekan kerjaku. Bukannya aku tidak percaya diri menjadi kaum minoritas, tapi mungkin sifatku yang menghormati satu sama lain menjadi senjata makan tuan bagi diriku sendiri. Hatiku sedikit tidak tenang memikirkan bagaimana aku harus bersikap. Aku ingin menghormati rekan kerja yang menjalani puasa, namun kebutuhanku untuk makan dan minum tidak bisa kutahan sepanjang jam kerja, bukan?

Dulu, ada seorang teman menegurku sambil tertawa karena tengah makan siang pada masa Ramadhan. Aku tidak tahu apakah dia seratus persen bercanda atau ada niat menyindirku barang satu persen saja. Aku tidak tahu dan tidak akan pernah tahu karena tidak mungkin aku tanyakan pada yang bersangkutan. Itu membuatku trauma hingga sekarang. Bahkan untuk minum saja aku terpaksa membawa botol minumku ke kamar mandi dan minum di sana. Aku selalu membawa bekal sehingga tidak khawatir dengan para penjual makanan yang tutup. Yang aku pikirkan adalah bagaimana aku bisa makan tanpa menyinggung mereka.

Kemarin, rekan kerja yang duduk di sebelahku puasa. Aku bingung karena belum memasuki bulan Ramadhan. Untuk bayar hutang, katanya. Meski aku tidak mengerti bagaimana sistemnya, aku hanya mengiyakan. Aku tidak enak karena sudah minum dengan santainya tadi. Namun, dia bilang kalau aku mau makan silakan saja, tidak perlu merasa tidak enak hati. Aku terkejut karena tidak menyangka akan mendengar hal seperti itu. Ternyata sulit juga melupakan trauma masa kecil.

Memasuki bulan Ramadhan, aku ingin mencoba menghilangkan rasa tidak enak hatiku karena ingin makan dan minum. Rekan kerjaku juga sepertinya bisa memaklumi sehingga mereka pun biasa saja. Tidak menegurku atau membicarakanku karena makan siang sendirian di ruang makan. Mungkin dengan beranjak dewasanya seseorang, pemikiran mengenai hal sensitif seperti SARA juga ikut berkembang. Aku lega karena menjadi minoritas di antara mayoritas tidak menyiksa seperti cerita-cerita orang. Aku pun mendapat keuntungan yang sama dengan rekan kerjaku yang lain, yaitu libur Lebaran selama dua minggu dan mendapatkan bingkisan kue kering.

~ TAMAT ~

AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang