TC - 29

133 17 28
                                    

"Claire! Bangun!" Fanny menggoyang tubuh Claire agar Claire bangun.

"Hmm?" gumam Claire dengan mata yang masih tertutup.

"Ayo! Ikut aku ke butik aku. Karyawan aku ada yang izin. Bantu aku ya? Lagian kamu hari ini libur kan?" ucap Fanny sambil menguap.

"Hmm," gumam Claire lagi.

"Claire! Ayo dong bangun!" seru Fanny dengan tangan yang masih menggoyang-goyang tubuh Claire.

Claire emosi karena tidur nyenyaknya diganggu oleh Fanny. "Apasih Fan?! Aku masih ngantuk," bentak Claire.

"Ya udah, selo aja ngomongnya. Sensi kali kau kutengok," gumam Fanny dengan logat Medannya yang sangat kental.

Mendengar gumaman Fanny langsung membuat Claire terbangun dan menatap Fanny emosi. "Arghh!" teriak Claire di depan wajah Fanny. Dan Claire pun langsung beranjak ke kamar mandi. Fanny tertawa melihat tingkah lucu Claire.

×××

Fanny dan Claire sudah sampai di FS Boutique milik Fanny. Mereka berdua di sambut hangat dan ramah oleh para pekerja Fanny. "Kalau ada pakaian yang mau kamu pakai, ambil aja, nggak usah bayar," ucap Fanny kepada Claire.

Claire mengerutkan dahinya dan bertanya, "Ambil aja? Kamu kira bahannya itu nggak beli?" Fanny menghela napasnya dengan sabar dan menurunkan emosinya, "Kalau aku bilang ambil aja, ya udah ambil aja. Nggak usah banyak cerita lagi, Claire," ucap Fanny berusaha lembut.

"Tapikan--" ucap Claire terpotong oleh ucapan Fanny.

"Ribet banget sih jadi orang!" seru Fanny dengan emosi yang mulai memuncak di ubun-ubun kepalanya.

"Iya deh iya!" bentak Claire marah.

Mendengar bentakan Claire membuat Fanny bingung sekaligus sebal. "Aturannya kan aku yang marah. Kenapa jadi dia yang malah marah dan ngebentak aku? Dasar anak aneh! Aku harus sabar," gumam Fanny sembari mengelus dadanya.

"Sayang!" panggil suara seorang pria dari kejauhan. Fanny pun langsung menoleh ke arah pria tersebut.

"Mau apa lagi ini orang sih!" gumam Fanny dengan wajah cemberut.

Pria yang memanggil Fanny tadi adalah Rafif—sang kekasih hati Fanny. Rafif pun mendekat ke arah Fanny. Setibanya di dekat Fanny, Rafif langsung mengecup kening Fanny dengan kecepatan kilat.

Fanny langsung memukul dada bidang Rafif, "Kebiasaan banget sih main cium-cium sembarangan di depan banyak orang? Malu tau nggak!" gerutu Fanny dengan bibir yang mengerucut manja.

Rafif hanya tertawa melihat tingkah lucu kekasihnya ini. Ingin sekali ia cepat-cepat menikahi wanita di depannya ini agar ia bisa puas mencium sang kekasih hati. "Kenapa itu bibirnya? Minta dicium?" goda Rafif.

Spontan Fanny langsung mencubit pinggang Rafif, "Aw! Sakit loh, yang! Kamu kenapa sukanya main cubit sih? Nggak adil!" Rafif protes dengan ketidakadilan yang dirasakannya saat ini juga sembari mengusap pinggangnya bekas cubitan maut dari Fanny.

Fanny mengerutkan dahinya bingung, "Nggak adil dari sisi mananya?" Rafif pun tersenyum menggoda dan berbisik, "Kalau aku cium, harusnya kamu balas cium juga."

"Dasar otak mesum!" ucap Fanny kepada Rafif sambil menginjak kaki pria tersebut dan meninggalkannya pergi.

"Aw! Ganas banget kamu sih, yang?!" pekik Rafif yang membuat seluruh pengunjung terarah ke mereka berdua.

"Dasar gila!" balas Fanny. Rafif pun langsung mengejar Fanny.

Claire bahagia melihat Fanny udah ada yang memiliki. Namun, ia juga hanya bisa tersenyum miris akan nasibnya saat ini. Andai saja William tak meninggalkannya, sudah pasti mereka akan sebahagia Fanny dan Rafif. Andai saja William berada di sampingnya, andai saja dan selalu andai saja.

Semuanya hanya andai-andaiku aja. Batin Claire.

×××

Di kantornya, William sedang menelusuri dan mencari tahu bagaimana bisa papa Vera membeli perusahaan milik papa Claire dulu. Ia hanya sedikit heran dengan semua kebetulan yang ada. "Charlie," panggil William kepada sekretarisnya yang sedang asiknya menonton televisi.

"Hm?" gumam Charlie.

"Aku merasa curiga akan sesuatu," ucap William serius. Charlie langsung mematikan televisi dan duduk di depan William.

"Apa yang kamu curigakan?" sahut William serius.

"Aku merasa semua ini begitu impossible," ucap William.

"Impossible gimana?" Charlie menyahut perkataan William dengan nada yang tak kalah serius.

"Nggak mungkin aja 'kan secara kebetulan orang tuanya Vera beli seluruh aset keluarga Claire?" William berupaya mengeluarkan opininya mengenai hal yang dicurigainya tersebut.

"Wait a minute," ucap Charlie sambil mengeluarkan ponselnya.

William pun mengerutkan dahinya bingung, "Kenapa?" tanya William bingung.

"Aku mau pesan kopi dulu. Haus nih. Mau? Tapi bayar sendiri," ucap Charlie santai.

"Pesan sama office boy?" tanya William lagi. Charlie pun menghela napasnya sabar, "Nggak. Pesan sama customer service di bawah! Ya iyalah sama OB! Jangan gila dulu dong," sahut Charlie emosi.

"Ya nggak usah pake emosi jugalah," cibir William.

"Mau dipesankan juga apa nggak? Biaya di tanggung oleh yang minum," ucap Charlie.

"Ya udah iya. Aku pesan yang biasa. Nih uangnya," ucap William sembari mengeluarkan selembar uang seratus ribu.

×××

"Mau di lanjut lagi nggak ngomongnya? Yang katanya curiga tadi?" Charlie berbicara kepada William setelah menghabiskan minumannya.

"Ya maulah," sahut William

"Oke," ucap Charlie.

"Jadi gini, aku penasaran dengan Vera. Aku kenal dia kare--" ucapan William terpotong dengan pertanyaan Charlie.

"You know her? How?" tanya Charlie.

"Yap, i know her. Dia mantan sahabatnya Cassie sepupuku," terang William.

"Mantan sahabat?" tanya Charlie bingung.

"Iya. Dulu dia berupaya mendekatiku untuk mengambil hartaku. Vera dan kekasihnya telah menipu Cassie habis-habisan," jelas William lagi.

"Gimana kamu tau kalau dia berupaya mengambil hartamu? Dan bagaimana Vera dan kekasihnya bisa menipu Cassie?" tanya Charlie lagi.

William mulai menceritakan bagaimana rencana licik Vera yang dulu dan kejadian Cassie yang menangis dan menggetarkan kamarnya dulu.

"Licik sekali wanita itu. Jangan-jangan... Vera... udah ngerencanain ini semua, Will. Bisa jadi, 'kan?" ucap Charlie sembari menatap William serius.

"Ya, itu dia yang aku pikirkan. Aku rasa, dia selalu mencari tau apa yang kulakukan dulu sewaktu sekolah," ucap William.

"Yap, kalau nggak, nggak mungkin aja secara kebetulan rumah Claire dan perusahaan papa Claire dimiliki oleh keluarganya? It seems so impossible." Charlie sudah berdiri dari duduknya dan mengepalkan tangannya.

"Secepatnya kita harus menyusun rencana untuk masalah ini." William mengepalkan tangannya juga. Ingin sekali ia membasmi orang yang telah menyakiti Clairenya.

Clairenya? Masih pantaskah?

True ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang