TC - 21

164 21 34
                                    

"Ya ... I don't have anyone else, Claire. I'm alone," ucap Charlie dengan lirih.

Claire tertawa sumbang mendengar penuturan Charlie. "Nggak punya siapa-siapa? Lucu banget tau. Jadi, teman siapa yang ngeroyokin William di ruang musik?" sindir Claire.

Charlie terdiam membeku. Ia melakukan itu semua, karena ia merasa kalau Claire itu 'miliknya' bukan milik orang lain. Tetapi, ia sudah menyesal dengan perbuatannya. Ia sudah benar-benar ingin meminta maaf pada William. Namun, ia terlalu egois pada rasa 'malunya'.

"Itu ... aku udah menyesali perbuatanku, Claire. Aku ingin meminta maaf pada William. Tapi ...," ucap Charlie lirih dan menggantung.

Claire langsung menyambung perkataan Charlie yang putus. Dengan tepatnya pula Claire menebak kata yang mampu membuat Charlie terdiam seribu bahasa.

"Kamu malu," sambung Claire.

Charlie hanya terdiam dan menundukkan kepalanya. Ia tahu kalau dirinya salah. Tetapi, ia juga ingin memiliki seorang sahabat. Charlie ingin ada seseorang yang bisa mengerti dirinya. Charlie sangat membutuhkan tempat bersandar. Charlie juga sangat menginginkan seseorang sahabat untuk menyembuhkan luka-luka yang sedang bertengger tanpa malu di hatinya. Dia sangat-sangat membutuhkan seseorang untuk menjadi obat hatinya. Hatinya yang sedang lara dan hatinya yang sangat rapuh.

"Hanya untuk minta maaf aja, kamu masih egois sama rasa malumu yang tak berujung itu? Lucu banget kamu, Li. Bilangnya nyesal, tapi usaha kamu nol besar," ceplos Claire lagi tanpa tau rasa sakit yang udah menjalar di hati Charlie.

Charlie tidak membantah kata-kata Claire. Karena yang Claire ucapkan semuanya adalah benar. Tanpa sadar, Charlie sudah menangis. Menangis dalam diam. Ingin sekali rasanya ia menangis sekuat mungkin agar hatinya lega. Namun, ia tak mau orang lain melihat kesedihan dan keterpurukannya. Ia akan menangis sekuat mungkin, tetapi nanti, ia akan menangis di kamarnya. Kamar yang sudah menjadi teman sejak kecilnya, dan kamar yang sudah menyimpan berjuta-juta memori, keinginan, dan rasa sakit seorang Charlie.

Tak ada satu pun yang tahu, kalau semua kelakuan buruknya yang ia lakukan kepada orang lain termasuk menghina William, merupakan bentuk pelampiasannya atas kesedihan dan keterpurukan yang sedang menghampirinya. Ia melakukan hal tersebut agar ia mendapatkan perhatian dari semua orang.

Charlie merupakan seorang anak yatim piatu. Orang tuanya telah lama meninggal karena bunuh diri bersama. Pada saat orang tuanya meninggal, Charlie benar-benar terpukul, karena ia benar-benar sendiri di dunia ini. Tak ada satu pun yang peduli padanya. Yang ada, mereka hanya iba dan kasihan melihat Charlie. Tetapi, Charlie tidak ingin melihat orang lain kasihan atau pun iba kepadanya. Ia pun bangkit menjadi orang yang kuat dan menjadi seorang anak yang nakal.

"Maaf," lirih Charlie.

Hati Claire sedikit tak enak mendengar penuturan lirih dari Charlie. "Jangan meminta maaf padaku, minta maaf pada William atau semua orang yang udah kamu bully dan kamu sakitin," tukas Claire.

Charlie kembali terdiam. Claire langsung pergi setelah mengucapkan kata-kata tersebut. Setelah kepergian Claire, barulah Charlie menjatuhkan tubuhnya dan menangis pilu sendirian. Claire yang baru saja sampai di tangga, ia mendengar suara tangisan yang memilukan hati. Karena penasaran, Claire langsung kembali lagi ke atap.

Charlie menangis. Hal itulah yang di lihat Claire untuk pertama kalinya. Tanpa ada rasa ragu, Claire mulai mendekati Charlie yang sedang menangis. Claire memegang bahu Charlie yang gemetar. "Kenapa ... kamu menangis?" tanya Claire lembut.

Charlie sangat terkejut hebat. Ia mengira Claire sudah pergi. Namun ia salah. Kali ini, ia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya di depan orang lain. Charlie mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Claire. Dengan suara yang serak, Charlie pun bertanya, "Kenapa kamu masih ada di sini Claire?"

"Ada apa denganmu?" tanya Claire lagi yang tak menggubris pertanyaan Charlie.

"Aku ... membutuhkan seseorang yang bisa menjadi sandaran untukku Claire," ucap Charlie dengan suara yang gemetar, "dan juga sebagai pengobat hatiku," sambungnya lagi.

"Baiklah, kalau begitu, ikut aku. Hapus air matamu itu," ujar Claire.

Charlie tersenyum lebar sembari menghapus air matanya. Ia pun langsung berdiri. "Ikut ke mana?" tanya Charlie polos.

"Sebentar lagi pelajaran akan di mulai. Kamu mau bolos?" ucap Claire santai.

Charlie terperangah mendengar perkataan Claire. Ia kira, dirinya akan dibawa ke suatu tempat yang menenangkan. Namun ia salah. Claire benar-benar tak bisa di tebak.

"Hah? Nggak kok," ucap Charlie gelagapan.

×××

Pada saat belajar, William terus menatap wajah Claire yang menurutnya sangat-sangat cantik. Claire sangat risih terus-terusan ditatap oleh kekasihnya itu. "Will, jangan menatapku seperti itu," ketus Claire.

"Kamu cantik," goda William.

"Aku tau. Kecantikanku memang udah ada dari lahir," jawab Claire narsis.

William pun tertawa. "Iya, kamu memang cantik dari lahir. Beruntung banget tau nggak, aku bisa mendapatkan kamu," goda William lagi

Wajah Claire langsung merona mendapatkan godaan dari William. "Lebih baik kamu belajar daripada menggodaku seperti ini," ucap Claire sebal.

"Iya, ini aku lagi belajar kok," jawab William.

"Belajar apaan? Dari tadi kamu menatapku terus," ucap Claire yang udah mulai kesal.

"Belajar menerawang masa depan kita, sayang," ucap William dengan nada menggoda.

Pipi Claire sudah sangat-sangat memerah. Ingin sekali ia mencubit William habis-habisan. Namun apalah daya, Claire tidak mau dikeluarkan dari kelasnya. "Dasar receh," cetus Claire.

"Love you too, babe." William menjawab perkataan Claire sembari menggoda.

"Ewh," ucap Claire sambil bergidik ngerih melihat kealayan dari seorang William.

True ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang