Deux : Ketika Aku Berbicara

22 4 0
                                    


"Apa yang kamu lihat?" Ney mengernyit heran.

"Kamu kelihatan bodoh Ney." Sahut Mey menahan tawa. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Kamu malah seperti Annabelle." Balas Ney.

"Ngga deh, sepertinya kamu yang mirip Mba Kunti." Mey merangut karena tidak mau mengalah.

Tiba-tiba seorang pria merangkul pundak keduanya..

"Sudahlah para hantu. Ketimbang berdebat lebih baik kalian menikmati pestanya, bukan?" Ujar pria itu kemudian menggandeng keduanya. Dia Samuel, Suaminya Pingkan.

Mereka berjalan melewati gerbang yang dihiasi dengan mawar putih kemudian disambut dengan ramainya tamu undangan. Lampu lampion turut menghiasi pesta tersebut. Meja-meja bundar diberi taplak meja putih dan dipermanis diatasnya dengan bunga peony. Para wanita mengenakan gaun cantik dan pria tampak gagah menggunakan jas mereka.

Dari jauh tampak Pingkan tengah berbicara dengan beberapa bule, begitulah dimata Ney dan Mey. Dua orang wanita muda dan seorang pria paruh baya. Pembicaraan mereka tampak serius.

Alunan musik khas daerah tersebut dengan tarian sekelompok pemuda pemudi. Tadi seorang pemuda menawarkan diri untuk menari bersama. Sama sekali tidak mempengaruhi Ney untuk turut serta bergabung. Lantas dengan kikuk ia pergi.

"Kok ngga diterima tadi." Kata Mey sembari membawa sepiring cup cake dan meletakkan dihadapan Ney. Kemudian membisikan sesuatu ditelinga kakaknya.

"Apaan sih!" Ney kesal lalu beranjak pergi.

Suara riuh tepukkan tangan mengiringi langkah Pak Walikota beserta istrinya yang berjalan ke podium. Ia memberi sambutan. Ia berterima kasih kepada para tamu undangan atas kesediaan hadir dalam acara ulang tahun pernikahan ke-28 mereka. Tidak lupa ia dengan bangga memperkenalkan ketiga putranya.

Sambil meminum segelas lemon tea, Ney menatap ketiga putranya Walikota. Ia mengakui ketampanan mereka. Mata coklat yang jernih menjadi ciri khas keduanya. Selain dengan pemikiran itu, ada hal lain yang tersimpan. Sesuatu yang tidak sama dengan pendapatnya.


||


"Mereka pasti berubah pikiran." Celetuk Ney.

"Ngga! Kita ngga mungkin berubah pikiran." Ujar Pingkan sambil mengeluarkan tissue basah dan mengelap kedua tangannya.

"Kakak ngga takut kalau aku kenapa-kenapa nantinya?!" Balas Ney. Ia menatap keluar jendela mobil dengan kesal.

"Selama aku kenal dengan Pak André, beliau ngga pernah salah dalam menilai seseorang!"

Pingkan menaikkan nada suaranya. Ia memasang ekspresi yang seakan sebentar lagi marah besar. Dia sangat khawatir dengan masa depan adiknya. Ia tidak ingin terus melihat Ney bermalas-malasan di rumah ataupun hanya mengurus ternak mereka. Lagipula, anak seumuran Ney harusnya sedang sibuk-sibuknya menimba ilmu di sekolah ataupun bermain dengan teman seumurannya.

"Tau apa dia tentang aku!" tukas Ney. Ia yang melihat ekspresi kakaknya malah membuatnya tidak dapat menyangkal. Apa yang terlintas dibenak, ia keluarkan.

"Sudahlah.. Pingkan benar. Apa salahnya buat ngelanjutin sekolah disini." Sahut Sam. Ia masih fokus menyetir sambil sesekali melirik kebelakang.

"Tapi kalian juga taukan gimana rendahnya kemampuan bahasa asingku."

Suasana sunyi. Mereka terdiam saat mendengar apa yang dilontarkan oleh Ney. Pernyataan yang masuk akal. Kali ini hanya terdengar suara mesin mobil dan hiruk pikuk keramaian jalanan kota itu.

Cormatin CintanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang