Sembilan

135 11 0
                                    

"Saya mengantarkan Nona Abellia Wanders."

Kata pelayan itu memperkenalkan dirinya. Seketika itu juga suasana jadi hening. Oh tidak.

Demi Tuhan sekarang Abellia benar-benar gugup dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Abellia juga sadar jika seluruh perhatian orang-orang yang ada disana terpusat padanya. Apa ada yang salah dengannya? Wajahnya atau pakaiannya mungkin?

Abellia masih tidak bergerak kecuali mengerjapkan matanya sampai entah darimana seseorang sudah berada di sampingnya. Abellia mendongakkan kepalanya kepada pemilik tubuh jangkung itu.

Devon.

Pria itu meletakkan sebelah tangannya yang terbebas dari menggendong Tyler dibelakang punggung Abellia.

Devon menunduk dan menatap Abellia, "Kau datang." Dan pria itu tersenyum.

"Ayo." Kata pria itu lagi sambil mendorong punggung Abellia pelan menuju salah satu meja yang diduduki oleh wanita setengah baya, wanita muda, seorang pria dan beberapa anak kecil yang ada disekitarnya.

Abellia tidak tahu apa yang sebenarnya ia lakukan, sampai ia berdiri di hadapan mereka. Wanita paruh baya itu menatapnya dengan kerutan di dahinya. Tapi ia tidak mengatakan apapun, ia hanya memandang Devon menuntut penjelasan.

Devon tersenyum, "Jadi Abellia, ini ibuku, Diana McCourtney dan Ma ini Abellia Wanders, arsitek yang menangani perusahaanku dan well, aku juga tidak keberatan jika ia jadi tunanganku."

"Apa?!" Abellia nyaris berteriak ketika Devon menyebutnya sebagai apa tadi? Tunangan? Pria itu pasti benar-benar gila sekarang.

Abellia menutup mulutnya sendiri ketika sadar ia telah berbicara begitu keras, segera ia menatap wanita paruh baya itu yang kini menatapnya dengan pandangan menyelidik dan kerutan di dahinya, tapi Abellia dapat melihat ada sinar yang menyiratkan kebahagiaan di wajah wanita itu, entah kenapa.

"Abellia Wanders, dan eh tidak Nyonya. Saya bukan tunangan Devon, saya kesini hanya untuk mengantarkan ini." Kata Abellia sambil menunduk kecil.

Abellia baru ingat kalau tujuannya datang kemari adalah untuk mengantar cheesecake sialan itu.

"Ma lihat, Abellia bahkan datang dengan membawa buah tangan untuk tuan rumah." Davon menyela cepat. Setelah Davon mengatakan itu, Abellia merasa memiliki kewajiban untuk memberikan kotak kue itu ke seseorang yang dikenalkan padanya sebagai ibunya Davon.

Diana masih menatap Abellia heran tapi tak urung tersenyum ketika menerima uluran kotak dari gadis yang terlihat gugup dan pipinya mulai bersemu merah.

"Apa ini?" Tanya Diana sambil menatap kotak putih yang kini sudah berpindah tangan padanya.

"Eh itu kue, cheesecake, Nyonya."

Melihat Abellia yang begitu sopan padanya membuat Diana tidak bisa menahan senyumnya lebih lebar lagi.

"Oh tidak, jangan panggil Nyonya, panggil saja tante."

"Atau Mama boleh juga." Devon kembali menyela dan dengan refleks Abellia yang berada disebelahnya segera menyikutnya.

"Tante saja cukup kalau begitu, terimakasih." Kata Abellia tersenyum.

Diana membuka kotak putih itu, dan benar seperti yang Abellia katakan, kotak itu berisi sebuah cheesecake yang terlihat lezat.

Devon menarik kursi untuk Abellia dan mengisyaratkan Abellia untuk duduk, tapi saat itu juga seseorang memanggilnya.

"Abellia!"

Tampak seorang wanita yang Abellia tahu adalah kakak perempuan Devon, Daisy, sedang berjalan kearahnya sambil tersenyum. Dan sama seperti terakhir kali mereka bertemu, Daisy memeluk Abellia singkat masih sambil memasang senyumnya ramah.

"Kamu datang!" Serunya senang.

"Aku tidak menyangka Devon akan membawa kamu kesini. Kejutan yang menyenangkan."

Abellia hanya tersenyun kikuk menanggapi, ia tidak tahu harus membalas apa.

"Oh apa Devon sudah mengenalkanmu padanya? Kenalkan ini adik bungsu kami, Danielle dan pacarnya Jordan." Pandangan Daisy beralih pada wanita yang terlihat lebih muda di meja tersebut.

Danielle tampak sedikit bingung tapi kemudian ia tersenyum lebar dan segera berdiri, Abellia hendak mengulurkan tangannya memperkenalkan dirinya, tapi Danielle tidak menyambut uluran tangannya melainkan langsung memutari meja dan memeluk Abellia, sama seperti Daisy, kecuali pelukan Danielle lebih erat.

"Aku suka kau."

Adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Danielle kepada Abellia. Abellia mengerjapkan matanya beberapa kali, tidak menduga reaksi Danielle.

Setelah mejauhkan dirinya dari Abellia, Danielle kembali tersenyum, "Dan oh namaku Danielle dan ini pacarku Jordan."

Abellia menatap pria yang kini juga sudah berdiri dan mengulurkan tangannya.

"Abellia Wanders."

"Jordan Deantowisnu."

Abellia berbalik dan kini sudah ada lagi dua wanita berbeda yang salah satunya menggandeng seorang anak kecil. Kedua orang itu tidak berbicara langsung padanya melainkan menatap Devon menuntut.

"Baiklah, Abellia ini kakak-kakak iparku, Elena Handoko, istri Damian, dan ini Celine Chang, istri Davionne. Guys, ini Abellia Wanders."

"Hai! Ini anak keduaku, dan yang pertama, eh, dimana dia? Astaga ramai sekali disini." Wanita bernama Elena itu berkata setelah memperkenalkan dirinya dan menunjuk anak yang digandengnya.

"Davon, kau tidak mengenalkannya pada mereka?" Tanya wanita yang satunya.

"Abellia kau lihat pria yang duduk disana, nah yang sedang menggendong anak perempuan itu suamiku, kakaknya Davon, Davionne. Dan disebelahnya itu Damian, suami Elena."

Abellia menatap arah tunjuk jemari Celine dan mendapati dua orang pria yang duduk tidak berjauhan, mereka mirip, sangat mirip kalau boleh Abellia bilang, tapi bukan itu yang membuat Abellia tertegun. Melainkan pandangan kedua pria itu yang tajam mengarah kearah dirinya. Alis mereka yang tebal menambah aksen mengerikan dari pandangannya yang tajam. Dan hal itu terasa familier dan membuatnya deja vu.

Abellia merasa pernah ditatap seperti itu. Ia mengerutkan keningnya semakin dalam melawan rasa takut yang muncul dikala tatapan itu menghujamnya. Ya, dia memang pernah dan itu selalu membuatnya takut.

Devon membalikkan tubuhnya hanya untuk mendapati Abellia sedang ditatap tajam oleh kedua kakaknya dan itu membuatnya tidak suka apalagi melihat segaris tipis ketakutan di bola mata hitam itu. Devon memandang kakaknya bergantian dengan tatapan jangan coba-coba atau kubunuh kau, dan hal itu cukup berhasil.

Devon memutar Abellia segera setelah itu.

"Ini enak Abellia! Kamu beli dimana? Sepertinya tante harus mencoba lagi kue ini nanti." Pekik Diana, ibu Devon senang.

Abellia baru akan menyebutkan nama toko roti manapun yang diingatnya entah mengapa, mungkin dirinya hanya tidak sedang mecoba mengambil hati atau mengesankan Diana dan ia juga tidak berniat begitu.  Tapi tiba-tiba dengan nada entengnya yang menjengkelkan ditelinga Abellia pria itu menyeletuk.

"Abellia tidak pernah membeli kue ma, dia selalu buat. Masih ingat kue kesukaan ku juga?" Tanya Devon, dan tangannya mengambil sepotong kue diatas meja.

"Hmmm, rasanya masih seenak dulu. Kamu selalu tahu caranya membuat cheesecake kesukaanku berkali-kali lebih nikmat. Aku selalu suka kue-kuemu Rogers." Devon tersenyum dan matanya menatap lembut ke arah Abellia, tapi ada kegetiran ketika melihat rona merah yang terselip tipis di pipi Abellia.

Tidak. Wanita itu seharusnya tidak tersipu ketika ia memanggilnya 'Rogers'

Tidak ketika wanita itu terus mengira itu adalah panggilan sayang untuknya dulu.

Tidak ketika itu bukan itu kenyataannya.

Tidak ketika Devon membohonginya.

We Were StrangersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang