SATU

103 11 0
                                    

Gadis bertubuh tinggi dengan rambut hitam legam yang jatuh diatas punggungnya itu mengedarkan matanya keseluruh sudut ruangan bercat putih itu. Aroma obat menusuk indera penciumannya ketika ia mulai melangkahkan kakinya memasuki ruangan tersebut.
Rasa sakit dikepalanya kembali berdenyut, membuat gadis itu berjalan cepat agar bisa sampai di ranjang ruang UKS. Berlin Queenida Astherinda. Itulah nama yang tertis pada nametage yang gadis itu kenakan.

"Sialan" umpat Berlin ketika ia kembali merasakan kepalanya berdenyut "Kenapa juga gue lupa sarapan, jadi gini kan. Jijik gue"

Berlin membaringkan tubuhnya dengan perlahan, ia lalu mulai memejamkan matanya. Baru saja Berlin memejamkan matanya tiba-tiba pintu UKS di buka dengan paksa hingga mengeluarkan bunyi benturan pintu dan tembok yang sangat kencanga hingga membuat Berlin berjengit kaget.

Berlin memegangi dadanya, ia melihat seorang cowok dengan baju yang acak-acakan dengan wajah yang dipenuhi luka lebam berjalan dengan lunglai kearah lemari tempat penyimpanan obat. Tangannya dengan brutal mengobrak-abrik isi lemari membuat Berlin yang melihatnya berteriak.

"Woy!" teriak Berlin dengan kencang dan membuat kepalanya sendiri merasa sakit, Berlin bangkit dari duduknya dan berjalan kearah cowok itu "Kalo lo ga tau kenapa ga nanya sih?, jadi berantakan semua kan obatnya?"

Cowok itu menatap Berlin dengan alis terangkat, ia tidak tahu jika ada orang lain di UKS selain dirinya. Berlin berdecak kesal, dan dengan paksa ia menyeret cowok itu agar duduk di ranjang UKS yang ia tempati.

"Jangan coba-coba berdiri" Berlin mengacungkan telunjuknya kewajah cowok itu. "Diam disini, kalo gak gue bakalan pukul lo pake sepatu gue".

Berlin kembali berjalan menuju lemari tempat dimana obat-obatan disimpan, ia lalu merapihkan kotak-kotak obat yang berjatuhan ke lantai, setelah itu ia langsung meraih bungkus kapas dan sebotol antiseptik lalu berjalan kembali kedepan cowok itu.

"Jangan bergerak" perintah Berlin yang dituruti oleh cowok tersebut. Ia mulai menuangkan antiseptik pada kapas yang ia ambil dan dengan hati-hati mulai menempelkan kapas tersebut pada luka lebam yang ada di wajah cowok itu.

*****

Alden menatap gadis dengan rambut hitam legam sebahu yang kini tengah mengobati luka lebam diwajahnya. Ia pikir ketika ia membuka dengan paksa pintu UKS tidak ada orang di dalamnya, ternyata ia salah. 

"Jangan bergerak" Alden terdiam mendengar perintah gadis itu, baru kali ini ada siswi di sekolah yang berani memberikannya perintah.

Alden memperhatikan tangan cekatan gadis itu yang mulai mengobati lukanya, perih memang. Tapi wajah gadis itu membuat Alden lupa akan rasa perihnya "Kenapa lo mau tolongin gue?"

Gadi itu mengehntikan gerakan tangannya, ia menatap Alden dengan alis yang saling bertautan "Kenapa?, menurut lo kenapa emang?"

"Jawab bukan balik nanya" kata Alden dengan cuek yang membuat gadis itu mengehela nafasnya dengan lelah.

"Gue ini manusia, punya rasa kemanusiaan. Sesama manusia ya harus saling tolong menolong dong. Namanya juga makhluk sosial ya harus gini" jawabnya dengan tegas yang membuat Alden penasaran dengan gadis yang dudul di hadapannya ini.

Berlin Queenida Asterinda. Jadi namanya Berlin?. Gumam Alden dalam hatinya ketika ia membaca nametage yang dikenakan oleh gadis itu.

Alden bangkit berdiri dan membuat gadis itu mengikutinya juga. Alden memasukan kedua tangannya kedalam kantung celananya, ia menatap gadis bernama Berlin itu lekat-lekat kemudian berkata "Thanks".

Gadis itu tersenyum kearahnya "Sama-sama"

Alden lalu memutar tubuhnya dan berjalan meninggalkan gadis itu.

****

"Thala" panggil Hanah, gadis bertubuh pendek dengan kacamata yang menghiasi wajahnya.

Gadis bermata coklat itu mengangkat wajahnya dari atas buku yang ia baca dan menatap Hanah dengan penuh penasaran "Lo kenapa Han? Panik gitu?"

Hana menarik nafasnya yang terengah-engah karena ia baru saja berlarian "Alden sama Kevin"

"Mereka berantem lagi"

Deg. Athala terdiam, ada perasaan khawatir di dalam dirinya. Gadis itu lalu bangkit dari duduknya "Mereka dimana sekarang?"

"Diruang Wakasek Thal" jawab Hanah jujur.

Athala menganggukan kepalanya lalu dengan cepat ia berjalan kearah ruang wakasek. Athala menatap jam tangannya, masih ada waktu lima belas menit untuk mengetahui keadaan kedua sahabatnya itu sebelum guru Geografinya masuk ke kelas.

Athala menghentikan langkahnya ketika melihat Alden berjalan keluar dari ruang wakasek, mata mereka saling bertemu dan untuk beberapa saat mereka hanya terdiam dan saling memandang satu sama lain hingga Kevin datang dan membuat suasana menjadi canggung.

"Ka..ka..kalian terluka?" tanya Athala dengan gagap. Karena ini pertama kalinya mereka bertiga bertemu secara bersamaan setelah satu tahun yang lalu.

Alden menghembuskan nafasnya, ia tahu jika Athala merasa canggung dan bingung harus mengatakan apa, "Kevin terluka Atha, dia butuh lo"

Athala menatap Kevin yang berdiri di belakang Alden, wajah cowok itu terlihat sama seperti Alden, hanya saja Kevin belum membersihkan lukanya. Athala menarik nafas dan dengan langkah pelan ia berjalan ke arah Kevin "Gue obatin ya Vin"

Kevin menganggukan kepalanya dan ia menatap punggung Alden, dengan lantang Kevin mengatakan "Ga usah lo kasih tau, yang udah pasti milik lo bakalan dengan sendirinya pulang"

Alden memejamkan matanya dan dengan tidak peduli ia melanglangkahkan kakinya meninggalkan Kevin dan Athala. Harusnya dari dulu ia melakukan hal ini agara kejadian hari ini tidak pernah ada.

Alden, Athala dan Kevin. Adalah tiga serangkai yang tidak bisa dipisahkan, dimana adan Alden pasti ada Athala dan Kevin begitupun sebaliknya. Persahabatan mereka bukan hanya dimulai saat masuk sekolah menengah pertama tetapi sejak dari orok mereka sudah bersama karena memang kedua orangtua mereka saling mengenal satu sama lain.

Hingga sebuah peristiwa yang tidak bisa terelakkan membuat mereka seperti sekarang. Layaknya orang asing yang tidak saling mengenal, tidak ada lagi tiga serangkai yang tidak bisa dipisahkan, yang ada hanya sebuah kenangan yang hanya mampu diingat dalam setiap kerinduan yang membiru.

Alden melangkahkan kakinya ketengah lapangan dan membiarkan panas sinar matahari mulai menggutur tubuhnya. Ia menyipitkan matanya karena cahaya sang surya menusuk penglihatannya, dan tak lama kemudian Kevin datang menyusulnya berdiri di bawah tiang bendera.

"Athala milik gue" kata Kevin dengan tegas yang hanya dibalas dengan senyum sinis dari Alden, "Jangan harap lo bisa rebut dia dari gue Den"

"Gue bukan pecundang Vin" Balas Alden dengan datar yang hanya disambut keheningan.

Keduanya saling terdiam hingga bel istirahat berbunyi.


More ThanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang