Prologue
Kami terlilit utang. Aku dan kakakku menanggung perbuatan ayah kami yang di lakukannya dulu. Dan kini aku hanya duduk di kasur, menatap kosong jendela kamar. Apa yang kau tunggu, Lisa? Keajaiban? Sampai kapan para tetangga terus membantu kami? Kakak juga bingung harus melakukan apa. Kami kehilangan arah tanpa kedua orang tua kami.
Aku juga harus kuliah, sementara kakak bekerja sebagai montir. Pendapatan kami setahun selalu saja kurang untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Jangan lupa fakta tentang anak-anak buah-entah siapa-yang selalu menagih utang. Aku tak menduga kehidupanku akan menjadi seburuk ini.
Tak ada pria yang tertarik padaku. Jika ada, mungkin saja ia dapat membantu kami. Kakakku Yoongi tidak tertarik pacaran. Dan sekarang ia belum pulang.
Hingga kekhawatiranku berakhir saat decitan pintu utama terdengar.
Aku keluar dari kamarku, menemukan Yoongi dengan lebam di wajahnya. Aku memarahinya habis-habisan. Ugh. Ia hanya menambah pekerjaanku, karena aku harus mengobatinya. Sebagai seorang adik yang patuh. Tapi aku bersyukur dia pulang dengan selamat.
Ia tiba-tiba mencengkeram lenganku ketika aku sibuk mengobatinya.
"Lisa. Apa kau menyayangiku?"
Sungguh? Apa yang sebenarnya terjadi padanya akhir-akhir ini?
"Iya, oppa."
"Apa kau ingin melakukan apapun untukku?"
Aku menjawabnya, tersenyum tulus. "Selama itu membuatmu bahagia, itu tak masalah."
"Baiklah." Ia mengakhiri percakapan kami, dan melepaskan cengkraman kerasnya pada pergelangan tanganku.
Aku teringat akan suatu hal. "Sejam lagi aku akan berangkat kuliah," ucapku dengan suara kecil.
"Hm. Belajarlah yang benar," ucapnya menasihati.
Tapi bukan itu maksudku berkata seperti itu, kak. Sekali saja kau menjemputku? Aku tahu kami tidak punya kendaraan. Setidaknya temani aku sekali saja menggunakan bus. Bukankah itu mudah? Sejak sering keluar malam, Yoongi jarang mengajakku mengobrol. Aku juga ingin menghabiskan waktuku dengan kakakku.
***
Langit mulai menjadi oranye. Aku keluar dari gedung, dan menemukan Yoongi berdiri disana-memakai jaket bercorak tentara dan sebuah mobil? Darimana ia mendapatkan uang untuk membelinya?
Aku segera menghampirinya, karena kurasa ia sedang menungguku. "Mobil?" tanyaku di hadapannya.
"Yup. Sekarang masuk ke mobil."
Dia memerintahku dengan wajah datar, tapi nadanya terdengar memaksa.
Dengan segera kakakku menancapkan gasnya. Tapi lama-kelamaan, kusadari tujuannya bukan pulang ke rumah. Dia membawa kami sangat jauh dari rumah. Aku bahkan tak mengenal jalan mana yang ia ambil. Aku khawatir ia tersesat, dan hanya diam.
"Oppa! Apa kau lihat jalannya? Ini bukan jalan menuju rumah!" pekikku padanya.
"Ini jalan yang benar, Lisa. Menuju rumahmu."
"Tapi oppa-"
"Shh.." Ia menyuruhku diam? Jinjja!
Yoongi memberhentikan mobilnya di depan gerbang besar. Ia mengambil benda persegi di sakunya, lantas menekan sebuah tombol yang bahkan aku tak tahu apa itu.
Gerbang besar itu kontan terbuka. Menampilkan wisma yang sering kulihat di film-film. Sangat mewah. Berkilau. Mahabesar.
Yoongi mencengkram pergelangan tanganku, dan menyeretku keluar dari mobil. Aku memberontak. Kali ini ia memperkuat tarikannya dan berhasil menyeretku keluar dari mobil.
Kami sampai di depan pintu utama rumah ini, sepertinya.
"Oppa! Lepaskan aku, aku mohon." Suaraku parau, dan aku tak bisa menahan tangisanku karena aku sangat takut.
Terdengar suara dentingan setelah ia menekan bel rumah mewah ini. Pintu utama terbuka lebar. Barisan para pelayan seakan menyambut hangat kedatangan kami.
Yoongi menarikku ke dalam. Lantas kami menaiki tangga dengan langkah gontai.
Kami berhenti pada sebuah pintu yang dijaga oleh empat bodyguard. Yoongi tanpa aba-aba membuka pintu tersebut.
Ia pun melepaskan pergelangan tanganku. Aku segera mundur beberapa langkah, dan berusaha keluar dari ruangan itu.
Namun usahaku gagal ketika seseorang menutup pintu sangat kencang. Aku mendongakkan wajahku, menatap manik indahnya. Jarak kami sangat dekat hingga aku dapat merasakan hembusan nafasnya.
"Si-siapa kau?" Aku tergugu. Sedikit takut. Jantungku berdegup kencang saat pria di hadapanku dengan sigap mendorongku.
Tubuhku tersungkur ke lantai.
Aku mengalihkan pandanganku pada keluargaku satu-satunya, Min Yoongi.
"Oppa.." lirihku.
Aku tidak menyangka ia akan melakukan ini. Dan pemuda itu memasang wajah dingin seolah tidak peduli terhadapku. Apa aku sangat dramatis? Aku merasa dikhianati. Aku sangat terluka.
"Tolong jangan," mohonku.
Ia mengabaikanku dan malah menyalakan pemantiknya membakar sepuntung rokok.
"Kau akan tinggal disini, Lisa. Jangan mengeluh. Kau akan di sini, selamanya sebagai budak Jungkook."
Ucapannya bagaikan petir yang menhantar pada tubuhku. Aku mulai membenci Min Yoongi. Rasanya ada amarah yang bergejolak di hatiku yang tidak bisa kujelaskan dengan mudah.
Bagaimana bisa ia tega?
Pelupuk mataku terpenuhi dengan genangan air. Aku yakin keadaanku kelihatan sangat menyedihkan sekarang, seperti gadis yang haus kasihan. Yoongi melangkahkan kakinya ke luar. Aku menunduk, rambutku menutupi wajahku seperti tirai, airmataku jatuh.
Kenapa aku selemah ini?
Suasana kamar kembali hening ketika tangisanku sedikit mereda beberapa menit setelahnya. Suara langkah sepatu pantopel terdengar dan semakin terdengar.
"Sudah menangisnya?"
Aku tidak peduli padanya. Bunuh saja aku. Untuk apa hidup kalau keluargaku pun meninggalkanku disini seakan membuangku. Yoongi adalah alasanku bertahan. Dia layaknya bebatuan yang menahan arus air sungai. Dan saat bebatuan itu tidak ada, arus sungai itu akan lepas kendali.
Pria yang bernama Jungkook itu mencengkram rahangku denga brutal, ia menengadahkan kepalaku. Kupandang obsidian hazel miliknya.
"Magnifique," ucapnya. Prancis, aku tahu. Artinya semacam indah atau cantik. Jungkook melepaskan cengkramannya dan membuang wajahku dengan sinis. "Kau akan tinggal disini bersamaku. Patuhilah perintahku dan kau akan baik-baik saja."
© chainsther
KAMU SEDANG MEMBACA
Stockholm Syndrome
Fanfiction[ WRITTEN IN INDONESIA ] [ RESMI TIDAK DILANJUTKAN ] Sindrom Stockholm adalah respon psikologis dimana dalam kasus-kasus tertentu para sandera penculikan menunjukkan tanda-tanda kesetiaan kepada penyanderanya tanpa memperdulikan bahaya atau risiko y...