Selamat membaca!
___
Aku menatap bayangan pantulan diriku di cermin yang melekat pada dinding. Seorang pelayan. Seragamku baru diberikan setelah salah satu pelayan membawaku pergi dari kamar Jungkook. Ia memandikanku dan mengecek apakah aku, uhm, pernah melakukan hubungan seks. Aku juga tidak mengerti kenapa.Aku menggenggam erat kalung yang bertengger di leherku. Yang selalu mengingatkanku pada kedua orangtuaku. Dua foto terpasang di dalamnya. Mereka adalah kedua orangtuaku. Kalung itu adalah pemberian ibuku, karenanya benda itu sangat berharga.
Ketika aku melihatnya, aku pikir aku tidak akan mengakhiri hidupku hanya karena Yoongi telah meninggalkanku.
Aku tidak ingin mengecewakan ibuku dengan mati konyol. Bayangkan saja, ibuku mati-matian melahirkanku dan aku menyerahkan hidupnya demi brengsek konyol yang bahkan tidak sayang padaku. Tidak, aku tidak akan setega itu pada ibu melakukannya.
Ibu pernah berpesan padaku, "Untuk menuangkan cairan susu, pastikan tidak ada satupun lubang di wadahnya. Untuk memecahkan suatu masalah, pastikan tidak ada satu pihak pun yang merasa dirugikan." Aku tidak mengerti saat aku kecil, tapi kini iya.
Seseorang menoyor kepalaku dari belakang. Bagus, itu adalah wanita tua yang kulihat sering memarahi bawahannya. Dia semacam ketua para pelayan disini.
"Tuan Jungkook tidak akan terpana dengan kecantikanmu, bodoh. Untuk apa bercermin lama-lama, kau bekerja sebagai pelayan bukan sebagai aktris. Cepat bawakan teh untuk Tuan Jungkook!" perintahnya lugas.
Wanita tua itu melanjutkan. "Oh ya, gadis kaku. Bawakan juga pakaian-pakaian ini ke kamarnya." Ia memberiku setumpukan pakaian.
Dia menyebutku gadis kaku sejak pertama kali kami bertemu. Wanita itu bilang kalau aku sangat lambat dalam menjalankan tugasku, mungkin memang untuk standarnya. Tapi untuk standar pelayan biasa bagiku aku tidak terlalu buruk.
Aku membawa setumpukan pakaian di tangan kananku, sementara di tangan kiri sebuah nampan berisi teh dan dua lapis roti dipadu dengan selai coklat. Sangat sederhana.
Kulangkahkan tungkaiku menuju kamar Jungkook. Semoga aku tidak tersesat di rumah ini, wahai Tuhan.
Penjaga yang setia berjaga di depan pintu kamar Jungkook membukakan kenop pintu untukku. Mereka kembali menutup pintu kamar usai kumasuki kamar ini.
Bagus, setidaknya aku tidak meletakkan nampan atau setumpukan pakaian di lantai lantas membuka pintu kemudian memungut nampan atau pakaian-pakaian itu dan masuk kedalam kamarnya. Terdengar sangat merepotkan.
Aku meletakkan setumpukkan pakaian itu di ranjangnya, juga nampan di atas meja nakasnya.
Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar. Hingga aku merasakan sentuhan hangat pada pergelangan tanganku.
Aku berbalik menghadapnya.
Dia telanjang dada.
Aku segera membalikkan tubuhku berhadapan dengan pintu kamar.
Dari belakang, ia menyodorkan sapu tanganku. Astaga! Kenapa aku tidak menyadarinya? Baiklah, lupakan saja. Itu tidak penting.
"Maaf lancang, tapi cepat pakaian Anda, Tuan." Aku menunduk dengan perasaan malu. Temperatur tubuhku memanas ketika mengingat dada bidangnya terekspos bebas, sekaligus rambut basahnya sehabis mandi.
Jungkook seksi.
Argh apa yang kupikirkan?!
Dapat kurasakan ia melepaskan genggaman eratnya pada pergelangan tanganku. Aku tetap menunduk, menunggu ia memakai pakaiannya. Selang beberapa menit ia memecah keheningan. "Berbaliklah, aku sudah selesai."
Aku tidak berbalik. Langsung kuminta izin darinya. "Tuan, apakah aku boleh keluar sekarang?"
"Tidak bisa."
Tidak bisa?! Kenapa tidak bisa?!
"Kemarilah," perintahnya. Aku memutuskan untuk menghampirinya.
"Sapu tanganmu nih."
Bagus, aku lupa akan barangku. Ya ampun Lisa, kenapa kau selalu berpikiran negatif padanya.
***
"Anak baru, kemarilah."
Aku pun menoleh kearah sumber suara. Dua gadis cantik yang kuduga sepantaran denganku memberikan isyarat untuk menghampiri mereka.
"Ada apa?" tanyaku pada keduanya.
Aku tak mengenal mereka, sungguh. Tiba-tiba saja mereka memerintah untuk mendatangi mereka.
Salah satu tangan gadis itu tiba-tiba mencengkram kuat lenganku, ia mendorongku hingga membentur dinding. Kepalaku pening. Aku menggeleng untuk membuyarkan pusing itu.
Aku memberontak, mendorongnya kuat hingga gadis itu tersungkur di lantai. "Jangan berbuat hal itu lagi denganku kau mengerti?!" ancamku.
"Apa yang kalian lakukan? Kembali bekerja!" Suara wanita itu membuat dua gadis tersebut lari terbirit-birit. Dengan wajah garangnya, ia menghampiriku.
"Apa yang kau lakukan, gadis kaku?"
"Tanyakan sendiri pada pelayan-pelayan bodohmu itu!"
Aku mengabaikannya dan meninggalkan wanita tersebut dengan perasaan kesal. Ya walaupun aku merasa beruntung ia datang pada waktu yang tepat. Jika tidak, mungkin kami sedang berkelahi sekarang.
Kuputuskan untuk pergi ke dapur, mencari sesuatu yang bisa kugunakan untuk meredakan amarahku.
Suara pecahan piring menggema ke setiap sudut dapur pun mengejutkanku. Aku baru saja datang dan lihatlah apa yang terjadi.
Serpihan kaca melukai kaki wanita tersebut. Bukan, ini bukan wanita tua tadi.
Darah mengalir dari telapak kakinya. Namun pria yang tak kukenal malah menjambak rambutnya. Nampak jelas bendungan air di pelupuk mata wanita tersebut. Tidak lama lagi air itu pun akan jatuh, aku yakin.
Aku bagaikan pahlawan kesiangan, menepis tangan sang pria saat ia nyaris menampar wanita yang kini berada di belakangku. Aku menahannya sebisa mungkin.
Aku tidak tahu darimana keberanian ini datang. Tapi aku merasa kalau aku tidak melakukannya aku akan merasa bersalah. Karena tidak ada orang yang membela gadis itu. Aku kasihan padanya.
"Kau berani bermain dengan wanita, hah?"
Beberapa pelayan yang tadi hanya sibuk memperhatikan adegan ini, kini saling berbisik. Aku tak terkejut karena seperti itulah kebanyakan manusia.
"Siapa kau!" pekiknya.
Astaga, mulutnya sangat bau.
Ia segera memelintir tanganku. Aku memekik kesakitan. Bisa kulihat dari ekor mataku pria itu tersenyum menang.
"Apa-apaan ini?"
Seluruh insan yang berada di dapur menoleh kearah sumber suara. Teriakan sang tuan rumah berhasil mengalihkan perhatian mereka yang asik menonton adegan memalukan ini sekaligus melepaskan cengkraman kuat pria yang memelintirku.
"Apa kau gila," ucapku kesal pada pria bernama Mingyu, sembari menatap pergelangan tanganku yang mulai memerah.
Pandangan kami bertemu. Hingga aku tak menyadari ia pun telah mengenggam hangat tanganku.
"Obati dia." Beberapa pelayan mengangguk dan mendekat ke arah kami. Lantas Jungkook pergi.
© chainsther
KAMU SEDANG MEMBACA
Stockholm Syndrome
Fanfiction[ WRITTEN IN INDONESIA ] [ RESMI TIDAK DILANJUTKAN ] Sindrom Stockholm adalah respon psikologis dimana dalam kasus-kasus tertentu para sandera penculikan menunjukkan tanda-tanda kesetiaan kepada penyanderanya tanpa memperdulikan bahaya atau risiko y...