Kepulan asap membubung di atas secangkir teh yang tengah kusiapkan. Aku pun menyeruput perlahan minuman itu. Sisa cairan teh yang melekat pada ujung bibirku kujilati penuh nikmat.
Sekali lagi, seseorang menoyor kepalaku. "Kau ini pelayan bukan pemain iklan! Cepat siram halaman belakang!" pekik wanita tua akhirnya aku tahu namanya. Dalmi.
Lagi-lagi ia menganggu ketenangan yang telah kudapatkan. Dasar wanita tua. Baiklah, aku sungguh keterlaluan kali ini. Tapi manusia itu juga keterlaluan!
Kuputuskan segera mengamalkan tugasku tersebut. Ah, Deulmi juga memperingatiku untuk tidak menyirami tanaman di bagian barat. Ia bilang, Jungkook sendiri yang akan menyiraminya.
Air jernih keluar melalui selang berwarna hijau. Sembari menyirami tanaman-tanaman ini, aku bersenandung lagu.
Dulu aku sering menyanyikannya bersama Yoongi. Kami berlomba dalam memenangkan kategori pita suara terbaik. Itu ide kakak, sangat konyol.
"Tell me why, ain't nothing but a heartache.
"Tell me why, ain't nothing but a mistake.
"Tell me why, i never wanna hear you say. I want it that way.
Aku kembali bersenandung karena sejujurnya aku lupa akan liriknya. Lebih baik bersenandung daripada harus menyanyikan lirik yang salah. Itu akan memalukan.
"Kau harus merendahkan suaramu."
Sedikit terkejut, aku menoleh ke arah sumber suara. Tidak ada siapa-siapa.
"Kalau kau bernyanyi seperti tadi, bisa dipastikan penonton akan kabur bahkan sebelum kau menyanyikan reffnya."
Dahiku mengerut ketika merasakan hawa manusia menghampiriku.
"Ah sialan!" latahku. Hatiku mencelos ketika Jungkook tiba-tiba muncul di sampingku seperti hantu di film.
Kalau saja orang di sampingku bukanlah majikanku, sudah kupukul pantatnya sampai ia menyesal telah mengejutkanku.
"Saya minta maaf," ucapku lalu membungkuk padanya.
Jungkook mengangguk lantas pergi dari hadapanku. Entah kemana, aku tidak terlalu peduli.
"Meow."
Kurasakan sesuatu yang lembut menyentuh kakiku. Aku merundukkan kepalaku, melihat seekor anak kucing menggeliat di kakiku. Astaga, betapa imutnya!
Semasa hidupku, aku tak pernah memelihara kucing. Padahal aku sangat menginginkan si furball itu.
Kumatikan keran. Aku berjongkok, lantas mengangkat anak kucing itu kedalam pangkuanku. Aku sadar matanya pun berwarna biru. Astaga, ia sangat menggemaskan!
"Kalau kau mau, kau boleh mengambilnya."
Aku mendongakkan kepalaku. Cahaya matahari menyilaukan penglihatanku. Kepala orang itu tiba-tiba bergerak, menutupi matahari yang menyilaukan mataku.
"Tuan Jungkook. Saya minta maaf." Sembari menggendong anak kucing di dekapanku, aku berdiri dengan kepala yang ditundukkan.
Bisa kulihat ia tengah mengenggam selang yang kupakai tadi. Kurasa ia akan menyirami tanaman miliknya itu. Seperti yang dikatakan Gukjoo, Jungkook sendiri yang akan menyirami tanaman di bagian barat.
"Aku menemukannya di jalan, di dalam kardus. Kurasa ia dibuang oleh pemiliknya. Makanya aku membawanya."
Anak kucing ini seketika mengingatkanku pada nasibku sendiri. Dibuang. Nasib yang menyedihkan.
Tangan Jungkook tiba-tiba mengelus bulu anak kucing tersebut. Dua ujung bibirnya membingkai seulas senyuman. Wah, ini pertama kali bagiku melihat pria dihadapanku tersenyum.
Senyumannya cantik.
Eh tidak! Tidak sama sekali.
Jungkook memundurkan langkahnya, dan pergi ke sayap barat untuk menyirami tanamannya.
"AAAAKKKKKHHHHHH!" Suara jeritan membuatku segera menuju ke sumber. Aku menemukan Deulmi dengan wajahnya yang bergidik ngeri melihat kakinya.
Astaga, momen ini seharusnya diabadikan! Seandainya saja aku punya kamera untuk ini.
"Gadis kaku! Gadis kaku! Cepat singkirkan cacing itu dari kakiku!" teriaknya memohon, masing menyebutku Gadis Kaku.
Tawaku meledak. Sungguh, tawaku tidak bisa kusembunyikan lagi. Apalagi saat tubuhnya bergetar, sementara lemak di tubuhnya ikut bergoyang-goyang. Ya ampun!
Aku memungut cacing tanah yang menempel di kakinya. Lantas melemparnya sembarang.
"Apa-apaan ini!"
Aku mengernyit.
"Rasakan itu! Kau akan terkena amarahnya! Huft!" Dengan jalan angkuhnya ia meninggalkan taman ini.
Aku membalikkan tubuhku. Lalu menghampirinya dengan perasaan bersalah.
"Beruntung kalau cacing ini mengenaiku. Bagaimana kalau orang lain atau kau yang terkena."
Aku mendongakkan kepalaku, meluruskan pandanganku. "Tapi tadi aku yang melemparnya, Tuan."
Jungkook menunjukkan raut sedikit terkejut. "Oh jadi kau."
Aku mengangguk pelan.
"Apa kau sudah menamainya?"
"Maaf, tuan?"
"Kucing itu," Jungkook menunjuk anak kucing yang berada di dekapanku menggunakan dagunya. "Kau sudah memberinya nama?"
Aku menggeleng. "Belum."
"Kalau sudah, beri ia kalung bertuliskan namanya. Kucing itu juga milikku, jadi jaga dia dengan sangat baik."
Begitulah pemikiran Jeon Jungkook. Apapun yang ia anggap miliknya adalah miliknya. Kalaupun itu bukan miliknya, ia akan bertekad untuk memilikinya.
"Samcheong. Namanya Samcheong."
"Samcheong?"
Aku mengangguk, tersenyum bangga.
"Tuan, saya meminta izin untuk pergi." Kubungkukkan badanku sembilan puluh derajat olehnya. Lantas kulangkahkan kakiku menjauh darinya.
"Anak baru! Kemarilah!"
Jungkook memerintahku kembali. Tanpa ragu aku menghampirinya.
"Lebih dekat," suruhnya di hadapanku.
Aku pun maju selangkah.
Tangannya tiba-tiba melingkar di leherku. Ia memasangkan sesuatu di leherku. "Jangan bersandiwara seakan tidak ada yang terjadi pada malam itu. Aku tahu kau yang membawaku ke kamarku. Terima kasih."
"Kalungmu tertinggal di kamarku. Lain kali jangan meninggalkan benda berharga di tempat sembarangan."
Jantungku berdebar sangat kencang. Tadi itu sangat dekat. Nyaris kulitnya menyentuh milikku. Bahkan hanya skinship bodoh dan aku tak bisa menguasai keadaan hatiku.
Lisa, kau menjijikkan.
© chainsther
KAMU SEDANG MEMBACA
Stockholm Syndrome
Fanfiction[ WRITTEN IN INDONESIA ] [ RESMI TIDAK DILANJUTKAN ] Sindrom Stockholm adalah respon psikologis dimana dalam kasus-kasus tertentu para sandera penculikan menunjukkan tanda-tanda kesetiaan kepada penyanderanya tanpa memperdulikan bahaya atau risiko y...