Bab 3. Tentang Kedekatan Kita

8.9K 1.3K 332
                                    

Kita berteman tanpa sebab. Kau yang mendorongku untuk jadi temanmu. Padahal kita sudah terlalu dewasa untuk melakukan hal-hal manis seperti itu. Aku terlalu kekanakan. Mungkin karena aku terlalu sensitif terhadapmu. Kau begitu dewasa dengan caramu, bijaksana dengan pribadimu. Aku tidak punya kalimat lain untuk memujimu, namun kau tahu... aku tidak pernah menyangka akan bisa sedekat ini denganmu.

"Aku buat kue. Mau nyicipin?" tanyamu pelan. Kau muncul ketika aku sedang sibuk mengerjakan tugas di depan laptopku. Aku mengangguk pelan.

"Boleh." Dan singkat saja jawabanku. Aku mengetik beberapa lembar, namun aku tidak tahu kalau pada akhirnya kita akan berakhir pada tempat yang sama.

Kau menghidangkan sepiring kecil kue di depanku, bahkan meski aku mendapatkannya dengan gratis. Kau malah tersenyum dan duduk di depanku. Aku ingat pertemuan pertama kita tiba-tiba. Waktu itu kau begitu kurang ajar karena muncul tiba-tiba di depanku, bahkan ketika aku tak pernah menyadari kehadiranmu di cafe ini sebelumnya.

Aku mencicipi kue buatanmu sedikit. Rasanya luar biasa lezat. Entah aku yang terlalu berlebihan atau karena ini memang sesuai dengan seleraku.

"Enak..." pujiku.

"Nggak ada kalimat yang lebih panjang gitu? Misalnya, 'Wow! Enak banget ini! Aku suka banget!' gitu?"

Aku menggeleng dan terkekeh. "Nggak banget, deh kalau aku harus muji macam orang alay gitu!"

Kau mengangguk pelan. "Iya, kamu lebih pinter ngungkapin ekspresi. Biasanya sama nangis juga kalau udah terharu."

Aku bungkam. Kau mengingat kejadian waktu itu! Bahkan meski aku mencoba melupakannya. Aku terlalu cengeng dan juga kekanakan karena menangis di depanmu hanya karena makanan.

"Aku bodoh banget waktu itu, ya?"

Kau menggeleng lagi. "Aku malah bahagia banget waktu itu. Masakanku kayaknya enak banget sampe bikin kamu nangis..."

Aku tersenyum. Kau masih menceritakan tentang betapa terkejutnya kau ketika tahu aku menangis hanya gara-gara masakanmu. Bahkan kau juga sempat bercerita kalau kau mencoba mencicipi masakanmu kembali dan kau mengatakan tidak ada yang salah. Ketika kau juga memerintahkan pegawai yang lain untuk mencicipi, mereka juga mengatakan enak. Tidak ada yang salah dengan masakanmu, itu yang kaukatakan.

Aku mengangguk setuju. Memang tidak ada yang salah, namun aku punya kenangan tersendiri dengan rasa ini. Sayangnya aku masih tidak ingin mengatakan semuanya padamu. Kita memang sudah berteman, namun bukan berarti aku bisa mengatakan semuanya. Aku tidak bisa mengatakan apa yang kuinginkan padamu.

"Saking enaknya aku sampai terharu..." ucapku pelan. Kau masih tertawa.

"Itu akan jadi recomended menu mulai sekarang."

"Aku bisa pesen tiap hari."

"Boleh..."

"Tapi aku takut gendut," jawabku pelan. Kau menggeleng kencang, dengan gestur jari telunjuk yang bergoyang di depan wajahmu.

"Nggak masalah kalau gendut! Kamu lucu kalau gendut. Pipimu jadi makin tembem, matamu jadi agak sipit..."

Aku membayangkan apa yang kaukatakan, lalu aku merinding mendadak. Bagaimana bisa itu dikategorikan lucu? Tidak lucu sama sekali! Malah terdengar sangat menjijikkan! Aku tidak mau seperti itu! Itu sangat menggelikan. Bisa-bisa tak ada yang mau mendekatiku.

"Nanti aku jadi makin jones!"

"Cari orang yang bisa melihat sisi imut kamu apa adanya, lah!"

"Mana ada orang yang suka sama cowok gendut!" cibirku.

Menantang PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang