Bab 5. Lalu Merebak Dosa

10.8K 1.2K 335
                                    

            Bibirmu masih menjelajahi bibirku. Kita melakukan perbuatan yang sangat mengejutkan, namun hatiku jauh lebih bingung daripada kau. Kau membuatku bingung, namun aku harus bertanya. Tidak akan kubiarkan hatiku hancur untuk kedua kalinya karena harapan palsu yang kauberikan. Aku tidak akan berharap kalau memang untuk terluka. Namun sayangnya aku terlalu munafik. Aku terlalu larut dalam rayuan maut yang kausebut ciuman.

Bibir kita saling melumat, meluapkan rasa aneh dan tabu yang sebentar lagi akan berubah makin berbahaya. Tidak, sekarang pun sudah berbahaya. Bibir kita terlepas hanya untuk mengambil napas. Lalu setelah itu kau mencumbuku lagi, meluapkan sesuatu yang entah bagaimana aku mengejanya.

Kita mengejanya sebagai cinta.

"Mas..." Aku memanggilmu. Kutatap matamu yang memandangku dengan tatapan sendu. Aku tidak tahu apa yang sedang menjangkiti kita, namun aku sama sekali tak menyesal karena sudah mengenalnya.

"Aku sayang kamu. Cinta kamu..."

Perasaanku makin membuncah aneh karena ucapan itu. Sebentar lagi kita akan dihadapkan pada masalah lain yang lebih rumit. Aku tidak yakin dengan ketetapan hatiku sendiri. Apa aku kuat jika kau meninggalkanku suatu hari nanti?

"Mas..." Aku menatapmu lagi. Kau tersenyum dan mengusap pipiku sekilas.

"Mau jadi milik Mas?"

Aku mencari cara menjawab pertanyaanmu, tetapi aku tidak punya pilihan lain. Kalau aku menolakmu, maka hatiku akan terluka. Hatiku yang bisa menuntutmu lebih jauh. Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya, namun sekarang aku bisa tahu bagaimana melakukan hal yang baik untuk kita.

"Sebagai apa?"

"Inginmu?"

"Orang berharga yang tak akan ditinggalkan apa pun yang terjadi."

"Boleh..."

"Apa aku nggak terlalu egois?"

Kau menggeleng pelan. "Tidak. Aku juga ingin begitu!"

Kita makin mantap melakukannya, melangkah lebih jauh daripada yang kita mulai. Kita melakukannya. Jemarimu terulur, bergerilya di atas kulitku. Bahkan belum sehari kita saling mengungkapkan rasa, namun ego ini seakan mendobrak naluri kita. Kita juga sepakat menyebut ini nafsu.

Bibir kita saling berpagutan, lidah kita saling menyapa. Kausentuh aku, kusentuh kau. Kau menindih tubuhku, melucuti apa saja yang mengganggu menurutmu. Kita telanjang dan kulit kita bersentuhan. Aku tidak pernah merasa seperti sebelumnya, namun semakin aku bingung... hatiku makin tak kuat. Kita saling menyapa, dengan lidah yang berpagutan panas.

"Mas..." Aku mendesah, menyebut namamu pelan. Kau menelan ludah. Aku tahu. Jakunmu naik turun dan napasmu mulai tak beraturan.

"Maaf..." bisikmu. "Aku nggak bisa nahan ini lebih lama lagi."

Mungkin wajahku memerah saking gilanya sekarang. Aku tidak tahu harus bagaimana, namun sekarang aku yakin kalau kita akan mencelupkan kaki kita ke dalam api neraka. Aku tidak menyesal sekarang. Hatiku menuntut.

"Lakukan kalau begitu!" Dan aku merasa begitu jalang karena berani menantangmu. Kau menatapku dengan mata berkilat. Lalu...

Kita melakukannya. Bibirmu, lidahmu, dan gigimu menjelajahi tubuhku, meninggalkan rona dan jejak yang tak akan hilang dalam waktu beberapa jam. Kau menyentuh pusat yang belum pernah kuberikan pada orang lain. Ini perasaan aneh!

Kita saling menyentuh, bahkan aku tidak sadar kalau keringat sudah membasahi tubuh kita. Lalu pada akhirnya, kita melakukannya. Kau melesakkannya, seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Kencang, keras, dan menusuk tepat sasaran. Kau menggerakkannya di tempat itu, melambungkanku pada sebuah kenyataan yang mulai jadi kelabu. Kau bergerak menghentak, mengimajikanku dengan bayangan yang tidak bisa kuungkap dengan kata. Kau mengubah sakit yang akhirnya berubah jadi rasa aneh yang membuatku mencandu.

Menantang PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang