Bab 1. Tentang Pertemuan Kita

20.7K 1.7K 489
                                    

            Pernah terpikir kalau aku akan duduk di sini dan menunggumu? Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan, sementara namamu masih terpatri di sini. Kau pernah bicara kalau aku adalah aku, yang hanya akan menatapmu sepanjang hari dengan mata berbinar cerah. Katamu, aku sudah aneh sejak dulu. Aku terlalu memujamu, itu yang kaukatakan. Aku tidak tahu apa-apa, namun sekarang aku sudah siap mengatakan aku tahu segalanya. Katamu aku terlihat pendiam ketika mereka tak mengenalku, namun ketika aku dekat dengan mereka... katamu aku lumayan gila. Karena itulah kau mengatakan kalau kau benci melihatku dekat dengan orang lain. Maka dengan perantara tinta ini, akan kugoreskan lembaran panjang yang mungkin bisa mengingat lagi nostalgia tentang kita di masa lalu.

Kita yang masih tertawa di bawah gerimis sambil berlari. Kau mengatakannya mirip drama Korea yang sering adikmu tonton.

Kita yang masih saling menggoda dan menghujat satu sama lain hanya untuk mencairkan suasana kala gerimis mengikis tangis.

Atau kita... yang terlalu naif untuk menantang pelangi.

Ini kisah tentang kita, yang kutulis untukmu... Hanya untukmu.

***

Dulu kita pernah bertemu dalam rintik yang tak kunjung reda. Mereka menyebutnya hujan. Aku masih ingat, dingin yang menyapa, mengingatkanku pada musim dingin di London beberapa tahun silam. Tidak, tidak sedingin itu. hanya saja aku terlalu merindukan gumpalan empuk di rumah, jadi dingin yang kurasakan sejuta kali lebih menggigit dari biasanya. Lalu kau hadir. Menghampiriku dengan senyum, lengkap dengan segelas cokelat hangat yang terlalu manis untuk lidahku.

"Cokelat dipercaya untuk menghilangkan stres," katamu pelan. Aku bungkam, namun rasa kaget masih melingkupi hatiku. Hatiku memang sedang tidak baik, namun kau datang menawarkan sebuah rasa hangat padaku.

"Terima kasih," jawabku. "Tapi aku nggak pesan ini."

Kau tergelak geli, lalu menarik bangku di depanku. Aku tak pernah menyuruhmu duduk di situ, namun kau melakukan segalanya semaumu. Aku diam saja meski aku sedikit terganggu. Aku ingin menyendiri, mengulang lagi rasa bersalah yang membuncah dalam hatiku. Seorang lelaki seharusnya butuh waktu untuk sendiri. Dan adalah sebuah kejanggalan ketika lelaki lain datang lalu menawarkan sebuah rasa hangat.

Aku tidak suka menganggap manusia lain yang tidak-tidak. Dengan kata lain, aku tidak ingin berburuk sangka padamu.

"Sendiri?" tanyamu lagi. Aku terusik. Tak ada siapa pun di sini, jadi meski kau tak bertanya, kau sudah tahu. Aku memang sendiri. Hatiku pun sama.

Aku sedang dalam fase paling berat seumur hidupku. Tunanganku, wanita yang kucintai setelah ibuku ternyata bermain api di belakangku. Dia berselingkuh dengan sahabatku sendiri. Aku marah. Aku mengumpat padanya. Namun, itu bukan berarti aku tak bersalah terhadapnya.

Aku terlalu sibuk dengan duniaku hingga mengabaikannya. Dia merasa kesepian, lalu dia pergi mencari pelampiasan dengan bersama sahabatku. Kalau kau tanya aku sendiri... ya, aku memang sendiri. Namun itu bukan berarti aku bisa menerima orang lain untuk menghiburku. Rasa sakit yang kurasakan tidak sesederhana itu.

"Ya." Aku memutuskan untuk menjawab tanyamu dengan cara yang sangat sederhana. Cafe ini adalah tempat yang paling kusuka. Aku tahu kalau kau adalah pegawai baru, jadi tolong biarkan aku damai sehari saja. Kita belum saling mengenal, bukan?

"Oh, ya? Mahasiswa?" Kau masih mengajukan pertanyaan tentang privasiku. Aku tidak terlalu nyaman dengan orang baru. Mungkin menurut mereka aku gila, namun itu karena mereka sudah mengenalku dengan dekat.

Sedangkan kita?

"Ya." Aku masih menjawab monoton, berharap kau segera pergi dan tidak menggangguku lagi. Aku berharap kau menangkap apa yang kuisyaratkan di balik jawaban singkatku.

Menantang PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang