00 Prolog

319 36 28
                                    

Jakarta, 5 Maret 2016

"Farla!"

Lelaki berpawakan tinggi ini berdiri di depan pintu rumah gadis itu, berseru keras meneriaki namanya. Waktu masih sangat pagi, belum ada tanda-tanda sinar matahari yang akan muncul dan akan menyengat kepalanya, tetapi lelaki ini sangat bersemangat hanya untuk melihat garis senyuman dari wajah kekasihnya. Mereka berdua sepasang kekasih yang sedang mengalami pertumbuhan benih-benih cinta dalam hati mereka, masih sangat baru sehingga rasanya akan sangat sulit jika dipisahkan. Meskipun begitu, keduanya sudah mengenal satu sama lain sangat lama. Komplek perumahan yang sama, dan rumah yang saling bersampingan membuat mereka semakin terlihat dekat dan romantis. Seperti kata banyak remaja saat ini, tidak ada yang murni dalam persahabatan antara lelaki dan perempuan.

Seperti dahulu, lelaki ini setia menunggu walaupun gadis itu masih belum membukakan pintu untuknya. Lelaki ini masih berdiri di sini dengan hening––tanpa suara––,komplek perumahaan ini pun masih sangat sepi, hanya ada suara hembusan angin dan ayam yang berkokok di pagi hari yang dapat memecah keheningan. Namun ia tahu bahwa penantiannya tidak akan sia-sia––suara pintu berdecit terdengar, menandakan bahwa gadis yang telah dinantinya terbangun untuk dirinya.

Gadis bernama Farfalla ini terlihat mengusap matanya dan menguap berkali-kali, dan seperti yang lelaki ini lihat, kedua mata Farfalla masih tertutup rapat, "Apa sih, Al? Ini masih pagi, masih subuh loh."

Tanpa ada kata yang terbuang dari mulutnya, lelaki yang disapa dengan sebutan 'Al' ini membuka kedua mata Farfalla lebar-lebar, membuat Farfalla dengan kesal menepis tangannya. "Buruan shalat subuh ya, nanti jam enam aku jemput kamu. Aku mau ajakin kamu ke tempat yang bagus banget." Kata lelaki ini dengan antusias.

"Altherio, aku masih ngantuk. Lagian kamu tahu kan, aku nggak pernah bangun pagi waktu weekend. Harus ya pagi-pagi banget?"

Lelaki bernama Altherio ini memegang kedua bahu Farfalla, mencoba menjajarkan tingginya dengan tinggi gadis itu. "Kamu tahu, Far, kita bisa di sana sampai malam. Sunrise dan sunsetnya benar-benar indah. Aku selalu pingin, Far, kesana bersama dengan seseorang yang sedang menempati hatiku. Dan itu kamu."

"Gak perlu pakai kalimat sepuitis itu, Al. Oke, aku mau."

Altherio tersenyum senang sambil menurunkan kedua tangannya dari kedua bahu Farfalla, "Oke, aku balik ya. Jangan lupa jam enam."

***

Dibawah langit yang indah, kedua remaja itu terduduk diantara rerumputan. Lelaki itu menatap keindahannya––keindahan dari raut wajah gadis itu yang sedari tadi tidak melunturkan senyuman manisnya dari pemandangan yang indah di hadapannya saat ini. Rambut panjangnya yang tergerai bebas ditiup oleh angin membuat wajah Farfalla tertutupi oleh helaian rambutnya. Saat melihat wajah cantik Farfalla tertutupi oleh rambutnya, Altherio dengan sigap menyelipkan helaian rambut gadis itu ke belakang daun telinga. Perlakuan Altherio membuat lamunannya buyar seketika, lantas ia menolehkan kepalanya menghadap Altherio dengan senyuman yang sedari tadi tak luntur dari raut wajahnya.

Saat itu pula Altherio membuka pembicaraan untuk memecah keheningan di antara mereka berdua, "Aku pernah dengar saat orang meninggal mereka akan kembali ke planetnya sendiri, semua yang mereka lakukan kembali ke rasi bintangnya masing-masing. Itu rasi bintang Sagitarius," Jari telunjuknya mengarah menunjukkan rasi bintangnya kepada Farfalla.

"Itu rasi bintangku. Suatu saat kalau kamu rindu, kamu bisa lihat rasi bintangku, nanti aku bakalan menyampaikan salamku lewat bintang jatuh atau bahkan mungkin kepada hujan bahwa aku juga rindu kamu. Yang jelas saat kamu merasa kesepian aku tetap berada di dekatmu, memang benar bukan dalam bentuk raga, tapi dalam bentuk jiwa."

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang