SATU-ANGGI

411 25 9
                                    

Bekerja disalah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang konsultan perencanaan dan pengawasan sebagai seorang estimator membuatku tiap hari harus menanggung beban untuk tidak membuat kesalahan dalam perhitungan.

Seperti hari ini di kantor semua sedang sibuk-sibuknya. Gambar kerja dan Rencana anggaran biaya harus di setor sedangkan masih ada beberapa gambar yang belum rampung.

Aku, Kak Ega dan Irwan lagi sibuk-sibuknya menghitung volume tanpa ada gambar. "Setidaknya nanti setelah di stor akan ada revisi lagi" Ucap Kak Ega sambil tertawa di iringi tawaku dan Irwan yang langsung tertawa keras.

Menghitung dan membaca gambar menjadi rutinitas sehari-hari setelah lulus kuliah. Padahal waktu menjadi mahasiswa aku selalu berdoa untuk mendapat pekerjaan yang lari dan jurusan yang empat tahun lebih memberikan saya banyak pengalaman menjadi mahasiswi.

Sudah jam 7 malam akhirnya ada beberapa yang sudah meninggalkan kantor. Kak Andri sebagai drafter yang sedang hamil setelah menyelesaikan gambarnya langsung di jemput oleh suaminya.

Aku dan Kak Ega masih setia dengan excel dan auctocad. Membaca gambar satu persatu kemudian menghitung volume pekerjaan. Kadang kelebihan kadang juga lupa di jumlahkan.

Tiba-tiba ponselku berbunyi ku pikir ibu atau ayah yang menelfon padahal tadi aku sudah mengatakan jika aku terlambat pulang. Makassar juga semakin hari semakin padat. Jika kita pulang jam seperti ini sama saja kita pulang jam 9 karena macet.

Aku melihat ponselku dan tertera nomor salah satu teman kelasku disana.

"Halo kenapa?" Ucapku

Aku bukan tipe orang yang suka berbasa basi jika di telfon. Apalagi Dewa adalah teman kelas waktu kuliah.

"Assalamualaikum". Ucapnya dari seberang sana.

"Waalaikumsalam. Kenapa Wa?" aku bertanya langsung. Malas jika harus berbasa basi. Kadang ada beberapa teman kelas yang menghubungiku jika ada yang ingin bertanya masalah pekerjaan. Akupun sebaliknya. Tapi untuk Dewa aku tidak pernah bertanya sesuatu kepadanya. Meskipun dia salah satu mahasiswa cumlaude di kelas. Dan pastinya aku bukan salah satu mahasiswa itu.

"Lagi dimana?" Tanyanya membuatku heran. Pertanyaan yang seolah-olah kita berada di kota yang sama.

"Di Makassar, ada apa?". Tanyaku kembali.

Dari dulu aku memang tidak begitu respect dengan Dewa. Banyak di antara temanku yang pernah menjadi pacarnya waktu masih kuliah. Entah itu teman sejurusanku atau teman UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Atau bahkan terakhir ia berpacaran dengan sahabatku yang juga kuliah di kampus yang sama denganku dan Dewa tapi berada di Fakultas yang berbeda.

"Aku lagi di Makassar, mau ajak kamu makan coto". Jawabnya dari seberang telfon.

Aku berfikir sejenak. Kemudian melihat layar komputer dan juga melihat jam yang tertera disana.

Dilla, sahabatku yang juga berpacaran dengannya. Kembali melanjutkan megisternya dan aku bisa pastikan dia  tidak ada di sini. Terakhir aku bertemu dengannya saat liburan semester. Tapi aku tidak pernah menyinggung hubungannya dengan Dewa begitupun sebaliknya dia tidak pernah menyinggung Dewa di hadapanku. Karena Dilla tau kalau aku tidak begitu suka dengan pacarnya.

UNTUK ANGGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang