cerita 1

913 109 14
                                    

T E M P E
d a n
B O L O S   M O S

-Candra Agni-

_______________

Kebanyakan orang akan merasa tertekan sekaligus berdebar ketika pertama kali menginjakkan kaki di halaman SMA Pramudya. Berhubung sekolah ini termasuk salah satu impian para pelajar berseragam putih-biru, rasanya wajar saja kalau begitu perasaan yang muncul dalam diri mereka.

Dari tadi, itu juga yang kurasakan. Debaran tak beraturan terus mengusik diri sampai rasanya aku ingin memuntahkan jantungku begitu saja. Tapi setelah kuselidiki lebih lanjut, satu fakta mengejutkan menghampiriku.

Ternyata aku lapar.

Tanganku memainkan pulpen tanpa henti. Bosan memandangi manusia-manusia culun berseragam yang berkerumun di depan aula. Suara sahutan mereka membuatku gemas, ingin membungkam satu persatu mulut mereka dengan lakban yang biasa digunakan menjilid kliping. Tidak tahu, ya, kalau aku sedang lapar dan tak butuh suguhan berupa ocehan mereka? Dasar, makhluk tidak peka.

Sambil bersandar di dekat papan pengumuman, aku menunggu kedatangan teman dekatku. Ralat. Teman sialanku. Coba, dia terlambat lima belas menit dari perjanjian dan bisa-bisanya membuatku menunggu dalam keadaan perut kosong begini. Dasar, makhluk tidak peka juga.

"Candra Agni bukan sih?"

Aku melirik, mengangkat sebelah alis pada gerombolan cewek yang mengenakan tas kembar berwarna merah muda. Rambut mereka dikuncir unyu, memakai gelang berbandul Menara Eiffel, dan anting bintang warna hitam. Persis geng bocah playgroup yang biasanya pamer pernak-pernik di taman dekat rumah dan berakhir dengan sebuah drama pertengkaran di perosotan. Aku curiga kalau mereka masih pakai popok di balik rok biru itu. Spesies semacam mereka, pastilah termasuk tipe cewek hobi bergosip yang punya suara toa dan cempreng.

Melihat simbol sekolah di lengan kemeja sebelah kanan mereka, aku menyadari kalau kumpulan cewek bermental playgroup ini berasal dari sekolah yang sama denganku. Dahiku otomatis mengerut. Rasanya aku tidak pernah melihat mereka...

Ah, tentu saja aku berpikir begitu. Ingatanku punya kapasitas terbatas. Jadi, oknum-oknum tak menarik dan tak berkepentingan semacam mereka sudah pasti terlewatkan olehku. Maklum, mereka bukan golonganku.

"Anjir. Beneran Candra," bisik mereka.

Idih. Dandanan bocah tapi bahasanya anjir-anjir.

"Bukannya dia yang pernah mukulin Cio, anak kelas 9 B?"

Nah kan. Dugaanku benar. Bisikan mereka terdengar keras.

Sekali toa tetaplah toa.

Dasar, makhluk yang payah dalam mengendalikan volume suara.

"Eh, bukan cuma Cio. Dia juga yang nendang perutnya Adrian."

Aku melayangkan tatapan sinis. Dengan senang hati, kulemparkan pulpen ke tengah-tengah mereka. Tentu saja: tepat sasaran. Mereka terpekik dan menoleh heboh dengan ekspresi seolah baru saja tertangkap basah buang air di sungai.

"Berisik. Kalo mau ngegosip itu pinter dikit. Dipakai otaknya, Mbak. Minimal jarak tiga sampai empat meter dari orang yang digosipin." Aku mendengus. "Sebelahan gini mau gaya-gayaan ngegosip. Goblok itu namanya."

"Bukannya sepuluh sampai sebelas meter ya?" sahut suara yang kukenali. "Kalo tiga sampai empat meter, aku masih bisa denger."

Ratna Anatari, teman sialanku, mendekat dengan berkas dalam map kuning di tangan kirinya. Tampang sok innocent yang dipamerkannya pada segerombolan cewek toa itu membuatku nyaris muntah. Sudah telat datang, masih gaya-gayaan sok imut begitu.

Arka Candra: Sisi LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang