cerita 3

611 99 20
                                    

K E N D A L A

-Braja Bramasena-

_______________

Tidak ada yang tahu soal ini, tapi aku benci jadi Ketua OSIS.

Well, sekarang kalian jadi tahu.

Aku benci berada di posisi teratas organisasi sekolah, aku benci dicari guru-guru di sela-sela jam pelajaran, aku benci melewati materi pelajaran demi mengurus acara sekolah, aku benci namaku dipanggil-panggil, aku benci pulang sore, aku benci duduk berkumpul di Ruang OSIS setiap pulang sekolah, aku benci harus berada di antara anggota yang kadang sama sekali tak bisa diandalkan.

Intinya, aku benci.

Kalian bisa sebut aku terlalu drama, silakan saja.

Tapi aku bisa bertahan hidup berkat ayah yang mengulurkan tangannya padaku dan kalau bukan karena ayah memintaku untuk menerima tawaran menjadi calon Ketua OSIS ketika pergantian pengurus di tahun ajaran baru, jelas aku akan memilih mundur dan sekalian saja keluar dari kepengurusan. Aku sempat berharap agar orang-orang tutup mata, tidak merasakan eksistensiku, atau bahkan tak mengenalku. Sayang sekali, kesialan senang berteman baik dengan seorang Braja Bramasena. Meski visi-misi sengaja kubuat asal-asalan, delapan puluh sembilan persen warga sekolah memilihku. Kuulangi, delapan puluh sembilan!

Aku tidak mengerti apa yang mereka lihat dariku. Padahal, Ika Adhitiyan—panggil saja Dhita—selaku teman sekelas yang juga menjadi calon ketua, jauh lebih meyakinkan dibanding denganku. Dia punya banyak ide program keren, meskipun belum tahu berapa yang bisa direalisasikan. Dia punya kemampuan public speaking luar biasa dan termasuk tipikal orang blak-blakan. Dia juga jujur, loyal, segala karakter yang harusnya dimiliki seorang pemimpin. Pada akhirnya, dia menjadi Wakil Ketua Satu. Juga seringkali kumanfaatkan ketekunannya untuk mengerjakan bagianku. Kejam memang. Tapi percayalah, meski begitu aku tetap bertanggung jawab atas segalanya. Atau bisa dibilang, berusaha untuk bertanggung jawab.

Kebencianku pada jabatan ini meningkat ketika bertemu dengan siswi-bandel-wajah-sengak-tukang-bolos-hobi-makan.

Namanya Candra Agni, kalau kubaca dari informasi peserta didik baru.

Sekilas, wajahnya mengingatkanku pada ayah. Terutama bentuk alis dan tatapan matanya. Namun lalu, sungguh tidak sopan menyamakan bocah itu dengan ayahku yang terhormat.

Amit-amit.

Aku tidak tahu kenapa, tapi sejauh ini pertemuan kami selalu terjadi saat dia sedang menyantap makanan sambil memamerkan ekspresi menyebalkan yang entah bagaimana dapat memicu emosiku dalam sekali lihat. Ketika dia makan gorengan di kantin dan mie ayam di warung belakang sekolah. Cukup iconic, sebenarnya. Mengingat suatu kebetulan semacam itu adalah hal biasa yang malah membekas di ingatan. Tiap kali aku melintas di Kantin Bu Mawar, aku ingat dia. Tiap kali aku pulang lewat gerbang belakang, aku ingat dia.

Kabar buruknya, aku jadi selalu ingat bocah itu tiap mendengar kata 'hukuman'.

"Hukuman mencintai kamu, boleh Mas?"

Betapa—

Ugh.

"Gimana nih, Ja?" Dhita, Si Wakil Ketua Satu, bersuara.

Aku, duduk manis di Ruang OSIS sekaligus menghindar dari keramaian peserta didik di luar sana, sempat tersentak. Kemudian hanya mengangkat kepala dan menaikkan alis sebelah. "Hm?"

"Itu tuh, anak baru yang tadi aku bilang" Nah, baru juga berkeliaran di pikiranku. Ternyata dibahas juga. "Si Candra Agni. Kalo nggak salah—"

"Yang pasti." Aku memotong dengan dongkol. "Nggak mau pernyataan 'kalo nggak salah' atau 'kalo nggak bener'. Salah, ya salah. Bener, ya bener."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 27, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Arka Candra: Sisi LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang