cerita 2

514 87 16
                                    

T A R G E T
S A T U

-Arka Dhananjaya-

_______________

Mataku mengamati satu persatu siswi yang sibuk berlarian sana-sini dengan rambut kuncir tiga tanpa poni. Sebagian yang berjilbab dipasangi beberapa pita warna-warni di kainnya. Mereka berebutan menyanggupi perintah dari kakak-kakak OSIS demi sebuah tanda tangan. Heboh sana-sini, guling-guling, bahkan sampai salto.

Aku sendiri? Tiga perempat lembaranku sudah terisi oleh OSIS cewek dan beberapa OSIS cowok yang murah hati, tanpa perlu repot mengemis. Ini gunanya menjadi siswa yang ramah dan penurut selama MOS. Bukan hal yang sulit bagiku untuk tebar pesona sambil menaikturunkan alis, berkata "Kak, boleh dong tanda tangannya." Di lembaran, hanya tersisa kosong pada kolom tanda tangan Ketua dan OSIS lain yang memang tidak menampakkan diri sejak tadi.

Sebenarnya, aku sempat melihat Ketua OSIS berjalan santai di koridor kelas, tapi dia tidak menggubris satupun peserta MOS yang menyodorkan kertas padanya. Ketua yang punya perawakan tinggi dan wajah masam itu sama sekali tidak mau memberi kesempatan bagi calon adik kelasnya, dia terus melangkah mantap. Malah melirik sinis dan sukses membuat mereka menciut. Tipikal laki-laki dingin dengan sedikit pesona gahar. Semacam spesies yang pastinya tidak menarik untukku dan tak pantas untuk dikejar demi tanda tangan—lagipula aku cowok, jadi masa bodoh.

Di antara cewek-cewek yang mengekori Ketua OSIS, kudapati sosok familier. Satunya memakai seragam SMP sama sepertiku, sementara satunya lagi mengenakan seragam sekolah swasta tetangga. Guess who? Itu mantan-mantanku.

Bagai bertemu teman seperjuangan, keduanya bertukar sapa dengan ramah dan mendadak saling berbisik sambil sesekali menatapku terang-terangan. Aku terkekeh dalam hati, sudah biasa dengan pemandangan ini. Kulambaikan tangan pada mereka sambil mengulas senyum, serta merta membuat cewek-cewek itu memalingkan wajah dan akting muntah.

Senangnya melihat para mantan bisa akur.

"Nggak ada yang cakep ya." Tiba-tiba sebuah suara menghampiri.

Aku menoleh, menemukan sosok bertubuh kurus di sebelahku. Namanya Rangga. Tapi jangan bayangkan sejenis Rangga-nya Cinta. Dia ini teman dekatku—satu-satunya, berhubung aku punya banyak kenalan tapi sulit untuk akrab seratus persen dengan orang lain—dan mukanya sangat-sangat-sangat Jawa. Cowok yang kalem kalau di depan cewek, tapi super berisik di sekitarku. Jaga imej, katanya.

"Banyak sih sebenernya," kataku. Kembali fokus mengamati para cewek dan membiarkan Rangga menyambar lembaran kolom tanda tangan milikku.

Omong-omong, para siswa diharuskan memotong rapi rambutnya, membuat tas ransel dari kardus dan tali rafia, serta dasi kupu-kupu dari kain flanel. Meski tampil konyol dengan flanel pink ini, sebuah hal luar biasa bahwa aku tetap saja menarik perhatian sebagian besar siswi hingga kakak kelas. Ya, orang ganteng memang susah ditolak eksistensinya.

"Eh, dasar kuda!" seru Rangga tiba-tiba. Dilemparnya lembaran milikku sampai aku mengernyit heran. "Dari tadi leyeh-leyeh di sini, kipas-kipas dengan damai, matanya jelalatan nyari mangsa, tapi kertasnya udah hampir penuh!"

Tawaku tidak bisa ditahan. Lalu sambil kulemparkan senyuman pada beberapa cewek yang melintas dan menyapa, aku berujar kalem. "Pesona Arka Dhananjaya."

"Bajingan emang."

"Language, please."

"Kutil anoa."

"Sorry?"

"Marsupilami!"

"That sounds much better." Aku mengangguk puas.

Arka Candra: Sisi LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang