“Karena aku jatuh cinta sama kamu.”
Ana mengerjapkan matanya beberapa kali. Apa dia salah dengar? Tapi… kata-kata itu terdengar begitu jelas. Lalu apakah dia sedang bermimpi? Tapi.. termasuk dalam mimpi apakah ini? Mimpi indah atau mimpi buruk? Ataukah ini nyata?
Ana berdiri dari dudukku, menatap cowok itu dengan marah. Apa-apaan ini? Ternyata ini nyata! Bukan mimpi ataupun kesalahan pendengaran! “Maksud kamu apa?!” bentak Ana cepat, secepat ritme jantungnya saat ini.
Damar menunduk sebentar, lalu detik berikutnya ikut berdiri. “Aku jatuh cinta sama kamu, Na.” ucapnya lebih tegas. Ana membuka mulutnya dengan kaget, kenapa cowok gila ini tak juga sadar?
“Mar, kamu gila ya? Kamu itu pacarnya Tari, terus apa yang kamu lakuin sekarang?!” tanyanya lagi.
Damar menggeleng, “Aku nggak gila. Aku sadar sama perasaanku sekarang, aku jatuh cinta sama kamu.”
Ana menghembuskan nafasnya dengan berat, fix Damar sudah gila. Ana membalikan badannya, kemudian berjalan menjauh dari Damar. Sampai akhirnya, Damar kembali memanggil namanya. “Cukup, Mar. Kamu bener-bener gila! Aku nggak tahu apa yang kamu pikirkan. Kamu gila, aku tahu itu!”
“Na—“
“Kamu sadar kan aku ini siapa? Please, Mar. Sadar! Lagipula jika memang kondisi kita berbeda, aku tetap nggak akan melihat kamu. Aku masih mencintai Dika!” lanjutnya tanpa memberi Damar kesempatan untuk berkata-kata.
Damar menatap Ana dengan kaget, “Mantan suamimu… Andhika Fardhani? Sutradara itu?”
Ana mengangguk dengan tegas, “Itu tidak penting sekarang.” Jawabnya, kemudian dia menatap Damar lagi. “Aku harap kamu nggak akan mengatakan hal gila itu pada Tari atau orang lain. Karna bagiku, kamu hanya calon adik iparku.”
Damar diam di tempat, hatinya sakit mendengar kata-kata Ana. Semua yang Ana katakana benar-benar menyakitinya. Tapi dia tidak berusaha melawan.
Ana membalikan tubuhnya dan menghilang dari pandangan Damar. Ana menaiki tangga dengan cepat, tangannya cepat menghapus air mata yang keluar dari sudut matanya. Andaikan dia tidak terlambat, andaikan dia datang sebelum Damar bersama Tari. Apakah kenyataannya akan berbeda?
Ana menyadari air matanya menetes semakin deras, membuatnya semakin sakit. Andaikan dulu dia bertemu dengan Damar tidak dalam keadaan yang salah, mungkin dia kini sudah bersama cowok itu. Ana duduk di pinggir ranjang kamarnya, menatap kosong ke jendela.
Dia ingat ketika pertama kali mereka bertemu, yaitu ketika Damar tidak sengaja menabraknya. Tidak, itu sebenarnya bukan salah Damar. Ana yang terlalu terpesona dengan Damar, hingga dia tidak memperhatikan lelaki itu berbalik padanya. Tidak, dia marah bukan karena Damar menabraknya. Tapi karna dia salah tingkah ditatap begitu oleh Damar.
Pertemuan kedua mereka pun tidak lebih baik. Ketika itu Damar hampir menabraknya, dan Ana ada dalam kondisi badmood. Dia tidak ingin marah, dia ingin memberitahukan namanya, tapi dia tidak dalam mood yang baik. Ketika Damar mengatakan akan mengetahui namanya suatu saat nanti, ketika Ana mengatakan ‘jangan harap’, saat itu Ana tersenyum geli sendiri.
Tidak, Ana harus melupakan apapun perasaannya. Dia tidak boleh mengingat apapun. Tidak ada yang mencintai, dan tidak ada yang dicintai. Dia tidak bisa! Keluarganya adalah segalanya untuknya, dia tidak akan melakukan sesuatu yang membuat keluarganya kecewa. Cukup sekali. Cukup sekali saja.
^^^^
Dia jauh.. sekarang dia benar-benar jauh. Damar bisa merasakan Ana menghindarinya habis-habisan, bahkan bisa sampai seminggu mereka tidak bertemu sama sekali. Walaupun Damar sudah terlalu sering datang, dia tetap tak menemukan wanita itu. Mungkin semuanya benar, Damar memang tidak seharusnya punya perasaan begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love 3 : THE TRUE LOVE?
Teen FictionCopyright © 2014 by luthfia_AF WARNING : CERITA BELUM DIREVISI SAMA SEKALI, KESALAHAN DALAM PENULISAN DAN INFORMASI YANG TERMUAT DI DALAMNYA DIBIARKAN APA ADANYA. TERIMAKASIH UNTUK PENGERTIANNYA. (Kalau bisa baca 'You can't live without love?' dan '...