Setelah hampir sembilan tahun membawa pamflet itu kemana-mana, July dengan mudah menyimpulkan bahwa yang ada dalam buku catatan Raka adalah logo Harian Sekolah.
Tidak begitu mirip memang, tapi setidaknya mampu membawa ingatan July ke masa silam.
"Kamu anggota Harian Sekolah?"
Raka mengangguk.
July kembali duduk di bangkunya. Otaknya yang lama bekerja masih butuh waktu untuk mencerna informasi barusan. Ia mengamati wajah Raka seksama, membongkar memorinya, dan berusaha sekuat mungkin untuk mengingat wajah-wajah kecil yang pernah ia temui semasa anak-anak. Usahanya gagal.
July merasa tidak pernah mengenal Raka dari awal. "Saya tidak ingat kamu."
Raka mengangguk. Ia tampak mengerti letak masalahnya. "Anak pindahan dari Kalimantan."
July mencoba mengingat lagi. Dengan usaha yang lebih keras dan waktu yang lebih lama. Tapi hasilnya memang nihil. Kali ini ia yang mengerti, alasannya bukan karena Raka anak pindahan, tapi karena dari dulu ia memang tidak pernah peduli.
Selama ini, July terlalu egois untuk memberi perhatian lebih pada orang lain. Dan ia tidak pernah merasa harus menyesal. Karena bagi anak yang terabaikan sepertinya, mengabaikan pun menjadi semacam cara untuk balas dendam.
"Saya ingat kamu samar-samar. Makannya saya mau duduk di sini." Raka tersenyum. Dari wajahnya, July bisa melihat raut nostalgia.
Ia memperhatikan Raka sekali lagi dengan segala keramahan yang telah ia bawa ke meja ini. Barangkali, July tidak akan pernah cukup terkesima mengingat bagaimana cara Raka memulai obrolan, menawarkan perkenalan, dan tak lelah menyambung percakapan meski July tidak habis-habisnya bersikap kurang ajar. Tiba-tiba July menjadi sangat takjub.
Mungkin memang begitu caranya berteman. Dengan memberi perhatian, meski orang lain tidak. Dengan menjadi baik dan menawarkan bantuan, meski tak pernah dihiraukan. Seperti yang sering dilakukannya dulu selama menjadi penghitung tempo di grup paduan suara sebelum akhirnya ia muak dan memutuskan untuk keluar.
Setelah itu, July terpuruk sendirian.
Mengingat kembali masa itu, July tersenyum. Dari dalam tas, ia mengeluarkan pamflet lapuk yang telah lama ia laminating semasa kecil dulu. Bahkan dengan lapisan plastik seperti itu pun, pamfletnya tetap terlihat busuk.
July menyodorkannya pada Raka. Masih dengan senyumnya yang belum hilang. "Nih, masih saya simpan." Detik itu juga, ia tidak peduli jika dianggap narsistik atau sekedar orang yang percaya diri. Ia hanya merasa bagian dirinya yang ada dalam pamflet itu layak untuk dikenali.
Raka menggelengkan kepala tidak percaya. Ia mengambil pamflet itu, membacanya, dan melihat foto July saat umurnya masih sangat belia. Tawa kecil keluar dari mulutnya. "Aku yang buat berita ini." Raka menunjuk salah satu kolom di sana.
Senyum July hilang. Ia segera merebut pamfletnya, mencoba membaca ulang dengan tingkat ketelitian tinggi yang tidak pernah ia miliki. Setelah hampir sembilan tahun memegang pamflet yang sama, membaca berulang kali hingga bisa memuntahkan setiap kata dan tanda baca tanpa salah, July baru sadar bahwa ada nama orang lain di bawah namanya sendiri.
"Julianna, si penghitung tempo paduan suara"
oleh Raka Irawan.July tercengang. Sementara Raka masih duduk tenang di bangkunya seolah menunggu apapun reaksi July selanjutnya.
"Hmm..." July gugup "Ehm, err.. nama panjangmu bagus."
Hanya itu yang bisa ia katakan. Raka tertawa. Perlahan, diikuti oleh suara July yang dibuat malu dengan kebodohannya.
Dalam teduhnya pagi itu, July sadar bahwa selama ini semua perhatiannya selalu disimpan dan disembunykan untuk dirinya sendiri. Bahkan ia tidak pernah peduli untuk sekedar membaca nama orang lain di dalam pamflet yang telah berjasa membuat kehadirannya terasa sedikit penting.
Melihat Raka, July mengerti kalau sekarang waktunya untuk berbagi. Atau mungkin membuka diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
10:59
Short StoryWaktu bisa jadi petaka dalam banyak hal. Tapi terkadang, waktu hadir dalam bentuknya yang paling menggembirakan. Ia menyamar sebagai detik kelahiran, tanggal pernikahan, atau masa yang menyisakan kenangan. Waktu bisa jadi apa saja, pikir July. Pagi...