Aku mengerti perasaan Mama, karena aku pun merasakan bias luka itu. Meski di posisi anak yang tentu saja tak sebanding dengan posisi Mama sebagai istri.
---
Lembang, sebuah kota kecamatan di Bandung Barat yang selalu menawarkan kesejukan. Bukit dan lembah hijau serta jajaran pohon rimbun masih bisa ditemui di sini. Banyak wisatawan asing maupun domestik yang berkunjung untuk melepas kepenatan dari rutinitas pekerjaan yang padat. Lembang memang menyediakan cukup banyak tempat wisata dengan fasilitas yang nyaman dan harga terjangkau. Itu hanya sebagian kecil dari rasa banggaku dilahirkan di tempat ini.
Rumahku hampir sama dengan rumah penduduk lain di sekitarnya—mengedepankan konsep hunian asri. Halaman yang cukup luas disesaki berbagai tanaman hias. Namun yang paling kusuka tentu saja beragam petunia yang bergelantungan manja di beranda. Aku tak pernah lupa memandangi mereka setiap kali melintas. Seperti saat ini, setelah selesai memarkir mobil di garasi.
Suara bising dari dalam tiba-tiba merusak ketenanganku memandangi bunga-bunga tadi. Lamat-lamat terdengar musik dugem yang membaur dengan gelak tawa. Firasatku mulai tidak enak. Aku merangsek masuk. Kudapati Mama dan teman-temannya sedang mabuk-mabukan di ruang tengah. Botol-botol kosong, kulit kacang, dan bekas kemasan kripik bertebaran di mana-mana. Aroma alkohol menguar. Ini bukan yang pertama. Aku tidak kaget, tapi muak.
Mama menyadari kedatanganku. Ia lekas memasang tampang bersalah. Selalu seperti itu setiap kali kupergoki. Segumpal sakit selalu hadir setiap kali melihat Mama seperti itu. Aku bukannya tak peduli, tapi capek. Aku sering memperingatkan Mama, tapi sesering itu juga ia mengulanginya.
Aku beranjak dari tempat itu, berlari ke kamar. Mama menyusul. Tapi tentu saja pergerakanku jauh lebih gesit dibanding orang setengah mabuk. Aku tak ingin mendengar apa pun yang ingin dikatakan Mama. Bosan!
Punggungku menempel di daun pintu yang baru saja kubanting, kemudian merosot seiring air mata yang tak mampu lagi kubendung. Mama memanggil-manggil sambil mengetuk pintu. Aku tak peduli. Mama berubah. Aku kehilangan sosoknya sejak Papa meninggal lima tahun silam. Nyawa papa melayang di tangan suami selingkuhannya. Kenyataan ini yang membuat Mama depresi. Ia jadi liar, melakukan apa pun yang dirasanya mampu menghalau rasa sedih bercampur amarah.
Aku mengerti perasaan Mama, karena aku pun merasakan bias luka itu. Meski di posisi anak yang tentu saja tak sebanding dengan posisi Mama sebagai istri. Papa memang sangat keterlaluan. Aku memang sedih atas kematiannya, tapi setelah dipikir-pikir, ia pantas mendapatkannya. Setelah kuelu-elukan sebagai Papa terbaik sedunia di depan teman-teman, nyatanya ia memendam kebohongan besar. Kenyataan yang menanamkan luka abadi di hatiku. Terlebih di hati Mama.
Perihal rencana liburan bersama Mama yang kukatakan kepada Yudit tadi, tentu hanya wacana belaka. Mama mana ada waktu untukku? Ia terlalu sibuk dengan teman-teman barunya, teman-teman yang berhasil melenyapkan sosok aslinya. Untungnya ada Om Bagas—adik almarhum Papa—yang bersedia mengambil alih perusahaan Papa. Kami cukup bagi hasil setiap bulan. Jadinya, aku tetap bisa kuliah tanpa was-was memikirkan soal biaya.
Ponselku bergetar, mengangkatku dari lamunan. Aku meloloskannya dari saku jins, mendapati nama Nila—sahabatku—mengerjap-ngerjap di layarnya.
"Halo!" jawabku lekas, setelah meredam tangis dan memastikan gadis berponi itu tidak akan mencurigai nada suaraku. Bukannya tidak mau cerita, aku malah sudah teramat sering menceritakan perubahan Mama belakangan ini. Meskipun Nila pendengar yang baik, kupikir ia akan bosan juga setelah hampir setiap hari kukeluhkan sikap Mama padanya.
"Kamu habis nangis, ya?" Sebaik-baiknya sahabat, itulah Nila. Buktinya, ia masih menyadari perubahan suaraku, bahkan setelah berusaha kunormalkan sebelum menjawab teleponnya tadi.
Gadis energik itu orang kedua yang menghampiriku setelah Ruwanta, di hari pertama menjalani masa ospek kala itu. Kebetulan kami sama-sama di Fakultas Ekonomi. Banyak hari yang telah kami lalui berdua. Setumpuk cerita telah kami jejakkan bersama. Tak jarang kami saling menguatkan dalam berbagai hal. Rahasiaku sudah menjadi rahasianya juga, pun sebaliknya. Kecuali satu hal, ia tidak pernah mau menampakkan sosok lelaki idamannya.
Ia hanya memberikan satu clue, bahwa lelaki itu sekampus dengan kami. Setiap kali bercerita tentang lelaki itu, ia menggunakan nama samaran. Beruang Kutub, demikian ia menjulukinya. Mungkin lelaki itu bertubuh besar dan bersikap dingin. Selalu ciri-ciri seperti itu yang muncul di benakku setiap kali ia menyebutkannya. Sebagai seseorang yang sangat mengerti wataknya, aku tak pernah memaksanya untuk berterus terang. Dan aku yakin, pada akhirnya aku pasti akan menemukan si Beruang Kutub itu.
"Nggak, kok!"
"Ya udah. Eh, minggu depan mau liburan ke mana?" Suaranya kembali ceria. Walau demikian, ia pasti tetap yakin bahwa aku baru saja menangis. Dan bila bertemu nanti, ia akan meminta penjelasan. Seperti yang sudah-sudah.
"Aku nggak ada rencana apa-apa. Paling di rumah aja." Nada malasku mengalun lemah.
"Lah, kok, gitu?"
Aku tidak merespons.
"Ikut ke Bogor, yuk!"
"Ya ampun, La, ngapain? Kita, kan, udah sering banget ke sana. Malas, ah!"
"Tapi kali ini beda. Kita perginya bukan berdua, tapi bareng tim khusus yang dibentuk oleh Ruwanta. Dijamin seru, deh, pokoknya."
Demi mendengar nama Ruwanta, energi positifku langsung terkumpul. Senyumku mengembang tanpa kusadari.
"Serius?" timpalku dengan nada girang yang sangat timpang dengan sebelumnya.
"Iya. Kamu jadi ikut, kan?"
"Pasti!" jawabku mantap. Siapa yang mau melewatkan kesempatan berlibur bersama Ruwanta? Lelaki hitam manis yang menghuni mimpi-mimpi malamku sejak semester awal hingga di penghujung semester tujuh ini.
Tangisku redam sempurna. Rasa sedih bercampur jengkel atas sikap Mama menguap entah ke mana. Semua tergantikan dengan getar-getar aneh yang sukses membuat jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya. Ruwanta. Ah, lelaki itu, sekadar menyebut namanya saja, mampu memindahkan keindahan bunga petunia di beranda ke hatiku.
***
[Bersambung]
KAMU SEDANG MEMBACA
Benih Terlarang
RomanceAku tersentak dan kesulitan bernapas ketika Mama memperkenalkan pacar barunya. Bukan lantaran mama berganti pasangan lagi, bukan pula karena lelaki yang dipilihnya kini tampak sebaya denganku. Lebih dari itu, lelaki yang akan jadi ayah tiriku ini ad...