8 - Hari Ketika Biru Berpaling dari Langit

4.5K 422 27
                                    

Aku tiba di puncak rindu, akan semua hal-hal kecil yang kerap ia warnakan di hari-hariku.

---

Hari-hariku kacau. Tak ada hal menarik yang bisa kunikmati. Waktu terasa lebih lambat. Meski demikian, dua purnama telah terjalin sejak insiden di Bogor. Kesehatanku menurun akhir-akhir ini. Beberapa minggu terakhir sering mual. Masuk angin. Hal ini disebabkan makan serta tidur tidak teratur. Tugas kuliah menumpuk. Ditambah sosok Ruwanta yang sering merangsek dan mengacaukan pikiranku semaunya. Belum lagi Mama yang semakin jarang pulang. Semoga saja ia tak jadi pelakor. Aku mulai malas memikirkannya. Tidak peduli.

Dan hari ini, babak baru kerumitan kisah ini sedang dimulai. Dokter berkacamata yang baru saja memeriksaku menyampaikan, bahwa di rahimku ada janin berumur delapan minggu. Hal yang kutakutkan setelah dua kali tamu bulananku mangkir, benar-benar terjadi. Kemampuan berpikirku seketika melesat entah ke mana. Persendianku tidak berfungsi. Otot-ototku lemas. Aku bahkan tak punya kekuatan untuk sekadar membalas perkataan dokter tadi.

Sesuatu yang perih berlaga di tenggorokan. Genangan bening menghiasi tepian mata. Bibirku gemetar. Rasa takut, bersalah, bodoh, bingung, dan banyak lainnya mencekam bersamaan. Aku benar-benar merasa sendiri sekarang. Entah kepada siapa harus kubagi beban ini.

Pesan dari Nila menggetarkan ponsel di dalam tas jinjing yang kupangku. Dokter tadi tampak sibuk menulis sesuatu. Mungkin semacam resep.

Nila: Kamu di mana?

Wajar Nila mencari, atau mungkin mengkhawatirkanku. Ia tahu, kesehatanku tidak baik akhir-akhir ini. Sedang tadi, aku buru-buru meninggalkannya selepas jam kuliah dan menolak untuk diantar. Aku juga tidak bilang tentang rencana memeriksakan diri hari ini. Benar saja, untung ia tidak di sini—mendengar hasil pemeriksaan dokter. Ini masalah pertama yang kusembunyikan dari sahabatku itu.

Aku beranjak, berjalan gontai meninggalkan klinik. Aku mendapati langit berwajah suram, biru baru saja berpaling darinya. Setelah berada di dalam mobil, wajah suram tadi serta-merta menumpahkan isinya. Hujan kali ini serupa gemuruh dalam dada.

 Hujan kali ini serupa gemuruh dalam dada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Aku mulai memerhatikan kesehatan. Aku membeli susu formula khusus untuk menjaga kesehatan janin, sesuai yang kubaca di internet. Sebisa mungkin kuatur pola makan dan tidur. Sekalut apa pun aku menghadapi masalah ini, aku tidak akan terang-terangan berbuat dosa besar kedua dengan menggugurkannya. Bakal malaikat kecil dalam rahimku suci tak berdosa. Ia berhak lahir dalam keadaan sehat. Sudah kuputuskan untuk mempertahankannya, apa pun yang terjadi.

Namun untuk itu, tentu saja aku harus menemukan Ruwanta secepatnya. Aku harus memintanya bertanggung jawab. Aku tak ingin melahirkan tanpa suami. Tapi, seisi asrama tidak ada yang tahu keberadaan Ruwanta, termasuk Tio yang selama ini tidur sekamar dengannya. Menurut teman sekelasnya, sudah hampir sebulan ia bolos kuliah.

Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas jinjing, bermaksud menghubungi Ruwanta.

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silakan coba beberapa saat lagi!"

Lagi-lagi yang kudapati hanya suara operator. Selalu seperti ini.

Ruwanta ... kamu di mana?

Setelah mengikuti mata kuliah terakhir hari ini, aku menenangkan pikiran di kantin Empok Ratih. Di kampus ini ada beberapa kantin, tapi kantin ini yang paling sering kutongkrongi bersama Nila. Juga Ruwanta, dulu. Selain karena tempatnya bersih dan harga terjangkau, jaraknya juga paling dekat dari fakultasku. Kali ini aku sendiri. Nila pamit pulang duluan. Ia harus mengantarkan mamanya check up.

Aku duduk di pojok, sengaja agak menjauh dari keramaian. Pelayan baru saja mengantarkan pesananku—roti bakar saus kacang dan segelas cola float. Bila sudah duduk bersama makanan seperti ini, biasanya Ruwanta akan muncul dari arah tak terduga. Mengagetkan, lalu mencomot makananku tanpa permisi. Sesukanya. Tapi tidak kali ini. Di saat aku sangat mengharapkan kehadirannya, ia malah sempurna menghilang.

Mataku kembali memanas, meski tenggorokan sudah kubasahi dengan minuman dingin di depanku. Aku tiba di puncak rindu, akan semua hal-hal kecil yang kerap ia warnakan di hari-hariku. Tentang omongan-omongan melantur, tingkah konyol, alunan melodi, cerita tentang bintang, aku ingin semuanya kembali. Lebih dari itu, aku ingin ia tahu, aku tengah mengandung bintangnya.

***

[Bersambung]

Benih TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang