5 - Terpesona untuk Kesekian Kali

5.1K 432 45
                                    

Terima kasih wahai sepasang mata, telah terjaga dan mengantarkanku pada momen ini.

---

Cahaya sore merekah sempurna di Kota Bogor. Dingin masih geming di beberapa sudut. Ini waktu yang tepat untuk memulai agenda liburan yang telah kami rancang. Untuk sore ini kami akan berkuda mengelilingi perkebunan teh. Semua langsung memilih pasangan. Aku berpasangan dengan Ruwanta. Bukan kami yang menentukan, mereka yang menyisakan kami berdua. Padahal aku bermaksud berpasangan dengan Nila. Ini kesempatan emas untuk mengerjainya. Ia takut kuda, terlebih untuk menungganginya. Tapi berpasangan dengan Ruwanta juga tidak buruk. Malah lebih baik. Maka tanpa kupinta, ribuan kuntum petunia bermekaran di hati.

Sepuluh ekor kuda berjalan berderet. Mereka serupa tengah pawai untuk merayakan hari kebesaran. Aroma daun teh berpadu sejuk, bertamu dengan sopan ke rongga hidung. Aku dan Ruwanta menunggangi kuda urutan ketiga. Tepat di depanku ada Nila bersama Tomo, lelaki bertubuh gempal yang terkenal usil. Sepertinya ia salah pilih pasangan. Tubuh mungil Nila tampak tenggelam di belakang tubuh Tomo. Ia berpegangan erat, sedang wajahnya tenggelam di punggung lelaki yang tak hentinya tergelak itu. Sesekali ia memekik, ketika dirasa langkah kuda kurang seimbang. Nila benar-benar menjadi hiburan tersendiri buat kami.

"Kamu suka?" Ruwanta bertanya. Jarak antara mulutnya dan telingaku sangat dekat. Aku bisa merasakan embusan napasnya yang hangat.

"Suka banget," jawabku disertai anggukan.

"Suka kudanya, alamnya, atau orang yang bersamamu?" Nada jail mengental di kalimat barusan.

Aku menyikut pinggangnya. Kami terkekeh.

Tanpa persetujuan, Ruwanta memasang sebelah earphone di telingaku. Jadilah kami menikmati bersama alunan lagu Ada Cinta, lagu lawas romantis milik Acha Septriasa dan Irwansyah.

Mengapa berat ungkapkan cinta
Padahal ia ada
Dalam rinai hujan, dalam terang bulan
Juga dalam sedu sedan
Mengapa sulit mengaku cinta
Padahal ia terasa
Dalam rindu dendam, hening malam
Cinta terasa ada

Aku terhanyut. Kuda-kuda lain mendadak hilang di pandanganku. Lebih tepatnya, aku merasa tengah berdua saja dengan Ruwanta. Hamparan hijau daun teh perlahan menjelma ungu. Lagi-lagi aku melihat petunia di mana-mana. Semburat jingga mulai muncul di ujung langit, menambah efek dramatis suasana. Seperti inikah rasanya dunia milik berdua? Konyol. Maka, apa lagi maksud semua ini, Tuhan?

***

Aktivitas berkuda ternyata tidak bisa dianggap enteng. Meskipun hanya sekitar dua jam tadi sore, cukup mengundang pegal bersarang di badan. Mungkin karena tidak terbiasa. Akibatnya kami tidur lebih awal.

Aku terjaga setelah badan terasa lebih ringan. Sejenak, lagi-lagi bibirku melengkung indah saat mengingat kebersamaan dengan si mata elang tadi sore. Tangan kananku meraba ponsel yang selalu kuletakkan di sisi bantal saat tidur. Kedua mata memicing saat benda itu kuangkat di depan wajah dan layarnya mengeluarkan cahaya. Penunjuk waktu di sudut kanan atas menampilkan angka 2. Terlalu larut untuk malam, terlalu dini untuk pagi.

Di bagian tengah, aku menemukan nama Yudit. Tiga panggilan tidak terjawab. Tidak hanya itu, lelaki yang selalu tampil rapi itu juga mengirimkan foto di WA. Beberapa gambar kaus khas Bali yang disertai pertanyaan singkat, "kamu suka yang mana?" Sepertinya ia habis mengunjungi salah satu pusat suvenir di Pulau Dewata sana. Aku tidak berniat membalasnya. Meski kubilang tidak suka, ia pasti tetap akan membeli salah satunya.

Lagian tanpa kuberitahu pun, ia pasti bisa memilih sesuai seleraku. Ia sudah hafal mati. Ia mengirimkan foto-foto itu tadi sore, ketika aku tengah berkuda bersama Ruwanta. Ia pun bermaksud menelepon sekitar lima jam yang lalu. Aku memang selalu seperti ini. Mengabaikannya.

Aku memilih beranjak daripada mencoba untuk tidur kembali. Jika terjaga di jam segini biasanya susah tidur lagi. Aku tiba di balkon, bertemankan bintang menyesapi aroma malam. Saat mengecek ponsel tadi, sebenarnya aku mengharapkan notification dari Mama. Entah pesan atau panggilan tidak terjawab. Lagi-lagi pikiranku berhasil dikuasai tentang Mama. Perempuan glamor itu benar-benar tidak memedulikanku lagi. Ia sama sekali tidak khawatir setelah aku pergi tanpa pamit. Malam mendadak terasa lebih dingin, ketika tunas-tunas kebencian kurasakan mulai tumbuh di balik tulang rusuk.

"Jam segini, kok, belum tidur?" Suara bas barusan mengagetkanku.

Aku menoleh dan mendapati Ruwanta sedang menenteng gitar, melangkah mendekat.

"Tadi sudah tidur. Tapi aku emang kebiasaan bangun jam segini kalau tidur lebih awal."

Ruwanta duduk di railing balkon yang terbuat dari bahan stainless. Kaki kanannya masih menyentuh lantai untuk menjaga keseimbangan.

"Lah, kamu sendiri?" tanyaku balik.

"Belum ngantuk."

"Jam segini?"

Ia hanya tersenyum melihat ekspresiku.

"Tadinya aku di dipan sana." Gerakan mata elang itu mengarah ke dipan di pojok halaman, tempat favoritnya sejak tiba di vila ini. "Aku suka menatap bintang. Terkadang sampai lupa waktu. Menikmatinya berdua dengan seseorang, tentu lebih menyenangkan. Kebetulan ada kamu di sini," lanjutnya tanpa kupinta. Sepanjang kalimat tadi, ia menengadah. Menatap langit. Memantapkan rasa sukanya terhadap objek yang sedang dibicarakannya. Membuatku leluasa menikmati setiap keindahan yang Tuhan titipkan di wajahnya. Terpesona untuk kesekian kalinya.

"Ternyata dilihat dari sini bintangnya lebih terang." Ia kembali berucap, masih dengan senyum yang sama. "Kamu suka bintang?" Secepat kilat tatapannya berpindah ke mataku.

Aku lekas mengangguk, tanpa sempat berpikir benar-benar suka atau tidak.

"Kelak setelah menikah, anak pertamaku akan kuberi nama "Bintang". Tak peduli ia lelaki atau perempuan."

Apakah ia serius? Entahlah. Intinya ia benar-benar menyukai bintang. Detik selanjutnya kebersamaan ini dilatarbelakangi alunan melodi yang terlahir dari permainan gitarnya. Sempurna. Terima kasih wahai sepasang mata, telah terjaga dan mengantarkanku pada momen ini. Melanjutkan keinginan lelaki hitam manis di sampingku, seutas doa mengalun lirih dalam hati: semoga akulah ibu dari bintangnya.

***

[Bersambung]

Benih TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang