Lihatlah, betapa bodohnya aku. Bahkan sekadar tersenyum atau mengangguk untuk sedikit menyenangkan lelaki berhati malaikat ini pun tidak becus.
---
Liburan selesai. Untunglah. Jika tidak, sepertinya aku akan menciptakan kasus kematian terlangka pertama di muka bumi ini. Ada banyak hal yang kurasakan di balik peralihan sikap Ruwanta. Apa pun alasannya, sadar atau tidak, bagiku sakit.
Tadi malam aku punya kesempatan baik untuk mendekatinya. Berduaan, bicara dari hati ke hati. Tapi setelah kutemani kesendiriannya di dipan, ia langsung sibuk menerima telepon-yang entah dari siapa. Benarkah ia tengah menelepon? Atau mendadak menjelma jadi aktor andal? Dan sekarang ia memilih tempat duduk paling belakang, menjauh dariku. Udara di dalam bus mendadak panas, meski sudah dilengkapi alat pendingin khusus.
Bibi tergopoh-gopoh menyambutku di halaman. Ia langsung mengambil alih barang-barangku.
"Mama ada?" tanyaku lesu.
Bibi tidak menjawab, hanya menunjukkan ekspresi yang sudah kuhafal, yang berarti Mama tidak ada.
Aku menghela napas berat, seberat langkah yang seolah menolak untuk dilanjutkan. Beberapa kelopak petunia di beranda berguguran. Sehelai dua helai daunnya tampak menguning. Kali ini aku sama sekali tidak berselera menyentuhnya.
Kamar Mama yang terpaksa kulewati jika hendak ke kamar, kudapati pintunya setengah tertutup, menampakkan isi yang super berantakan. Pakaian kotor berserakan di mana-mana, seprai tidak terpasang pada tempatnya, ditambah aroma alkohol yang menelisik hidung. Isi kepalaku sukses dibuatnya semakin kacau.
Setibanya di kamar, aku langsung mengempaskan diri dan lara di ranjang. Aku mengeluarkan ponsel dari saku celana, bermaksud menghubungi Nila untuk menceritakan semuanya. Sesak yang ada pasti akan berkurang jika kubagi dengan sahabat yang punya segudang solusi itu. Namun, urung. Aku belum siap siapa pun mengetahui kebodohan ini.
Jadinya, aku malah mengamati foto Ruwanta yang diam-diam kujadikan wallpaper selama ini. Melihat senyum di dalam foto, tak seharusnya ia membuatku gelisah seperti ini. Tangga kepastian harusnya sudah kami jajaki setelah kejadian terlarang itu.
Suara bel pintu bertamu di pendengaranku, ketika hening dan sepi larut mencumbu malam. Setelah kejadian itu dan menyadari perubahan sikap Ruwanta, sudah pasti aku jadi susah tidur. Aku lekas turun. Bibi tampak tergopoh-gopoh, tapi aku tiba duluan untuk membuka pintu. Amarah seketika berkecamuk melihat Mama di depan pintu. Ia dipapah oleh lelaki berkumis tebal. Kondisinya sangat berantakan. Selalu seperti itu.
Genangan bening serta-merta mengaburkan pandangan. Lelaki tadi hendak berkata sesuatu ketika lebih dulu kubanting pintu sekuatnya. Aku berlari kembali ke kamar. Sekilas, kulihat bibi lekas membuka pintu itu kembali, mengambil alih nyonyanya dari tangan si lelaki.
***
Musim semester baru tiba. Aku merasa asing dengan diriku sendiri. Selalu ada yang terasa kurang, sekeras apa pun usahaku untuk terlihat baik-baik saja. Suasana kampus kurasakan lebih damai dibandingkan rumah sendiri yang dilingkupi kesepian. Hanya ada bibi yang tak pernah letih membersihkan bangunan berlantai dua itu, meski tubuhnya semakin menua. Di kampus, setidaknya aku merasa dekat dengan Ruwanta, berharap bisa menemukan sepenggal dua penggal kata dari mulutnya yang mampu binasakan resah di hati. Namun saat ketemu tadi ....
"Hai, Ta!" tegurku saat berpapasan.
"Hai!" Senyumnya masih sama, meski kurang lebar.
"Mana gitarmu?" Aku memancing obrolan.
"Ada di kelas."
Aku kembali memikirkan hal yang bisa membuat obrolan ini lebih panjang. Namun, ia malah pamit. Katanya ada janji dengan teman-teman komunitas. Komunitas apa? Sejak kapan Ruwanta bergelut di komunitas? Kok, aku baru tahu? Aneh! Aku beku memandang punggung Ruwanta menjauh. Tampak tergesa-gesa.
Di beberapa kesempatan lain, Ruwanta hanya menampilkan senyum datar saat kami berpapasan. Biasanya ia selalu meluangkan waktu untuk sekadar berceloteh hal-hal lucu atau memeragakan tingkah-tingkah konyolnya. Aku merindukan itu. Aku kehilangan.
Di bangku taman ini kami pernah membahas perihal rumah impian. Entah bagaimana mulanya. Tapi jika bersama Ruwanta, segala bahan obrolan memang selalu jadi menyenangkan. Meski kadang dibuatnya ngawur.
"Aku nggak mengidamkan rumah mewah. Yang penting ada kolam renang, studio musik, dan ruang khusus yang dilengkapi berbagai macam teropong untuk mengamati bintang."
Aku tergelak. Rupanya yang ia idamkan memang bukan rumah mewah, tapi lebih dari sekadar mewah. Ada-ada saja.
"Kalau kamu?" tanyanya balik.
Aku berpikir sejenak. "Aku menginginkan konsep hunian sederhana, dengan sebuah kebahagiaan di dalamnya yang akan selalu membuatnya sempurna. Tidak perlu terlalu luas, membersihkannya susah." Aku jeda, tergelak. "Dan yang paling penting, harus ada petunia di beranda. Wajib!"
"Petunia bergelantungan di pinggir kolam renang sepertinya unik. Di dalam studio musik atau ruang khusus untuk mengamati bintang, bisa juga, kan?
"Kamu ngaco. Petunia harus mendapatkan sinar matahari yang cukup. Ia tidak boleh diletakkan di sembarangan tempat. Apalagi di ruang tertutup."
"Aku akan membuatnya bertahan hidup di sana, dengan caraku sendiri." Mendadak tatapan Ruwanta sedikit aneh waktu itu. Ada makna mendalam di balik bidikan mata elangnya. Bisa kurasakan, meski samar-samar. Aku tidak kaget. Ia memang selalu seperti itu, membiarkanku sekadar berharap dan berharap.
Aku kembali teringat saran Nila. Gadis penggemar kelinci itu memintaku untuk menyatakan perasaan lebih dulu. Menurutnya, tipe lelaki seperti Ruwanta memang ada. Lelaki yang terang-terangan memberi sinyal, tapi sulit untuk mengakui. Lelaki seperti itu kadang-kadang memang perlu disadarkan. Perkataan Nila cukup masuk akal. Namun, apa pun kondisinya, aku tidak akan memulai duluan. Terlebih setelah kejadian kemarin. Semuanya terasa lebih kacau.
"Hai! Kok, melamun di sini?" Yudit datang, menempati ruang kosong di sampingku, yang biasanya selalu diisi oleh Ruwanta. Dari caranya menyapa dan duduk, Yudit lebih tenang. Berbeda dengan Ruwanta yang suka menepuk pundakku agak keras. Cara duduknya banyak gaya, serta bicaranya suka melantur. Dari dulu mereka memang berbeda. Ini tentang orang yang sangat mencintai dan kucintai.
Namun selembut apa pun cara Yudit bicara padaku, aku selalu bingung menanggapinya. Lebih tepatnya, aku tidak berselera mengobrol dengannya.
"Nih, oleh-oleh dari Bali. Mama, loh, yang pilihin." Senyumnya mengembang sempurna saat menyerahkan kotak berwarna ungu pucat. Di salah satu sudutnya terdapat kembang pita putih sebagai pemanis. Bukankah ini sempurna untuk ukuran hadiah di luar momen tertentu? Aku telanjur dibutakan oleh pesona Ruwanta. Sepertinya aku perempuan satu-satunya di dunia ini yang tidak bahagia mendapatkan perlakuan semacam ini dari lelaki sesempurna Yudit. Belum lagi bingkisan yang baru saja aku terima ini dipilihkan khusus oleh mamanya. Kurang apa lagi?
Aku bisa saja membalas cinta Yudit sekarang juga dan melupakan obsesiku terhadap Ruwanta yang hanya berisi harapan kosong belaka. Tapi, mengalihkan perasaan ke lain hati tak semudah memotong rumput di halaman.
Sebuah kaus khas Bali bercorak kelopak petunia mengisi bingkisan tadi. Aku ingat, ini kaus yang di foto waktu itu. Benar, kan? Tanpa kurespons pun, ia tahu yang kusuka. Entah ia yang pilih sendiri atau benar-benar mamanya. Maksudku, keluarga mereka benar-benar paham kesukaanku.
Sama seperti pemberian-pemberian sebelumnya, kaus berbahan halus itu menguarkan harapan. Sesuatu yang meredup, namun tak pernah letih untuk berpijar.
"Kamu suka?" Mata cerlang Yudit sebenarnya enak dipandang lama-lama, seolah tak pernah ada luka di sana.
Aku diam sempurna. Lihatlah, betapa bodohnya aku. Bahkan sekadar tersenyum atau mengangguk untuk sedikit menyenangkan lelaki berhati malaikat ini pun tidak becus.
***
[Bersambung]
KAMU SEDANG MEMBACA
Benih Terlarang
RomanceAku tersentak dan kesulitan bernapas ketika Mama memperkenalkan pacar barunya. Bukan lantaran mama berganti pasangan lagi, bukan pula karena lelaki yang dipilihnya kini tampak sebaya denganku. Lebih dari itu, lelaki yang akan jadi ayah tiriku ini ad...