Prolog

51 11 20
                                    

Layar laptop di depan wanita itu terus menampilkan gambar-gambar screen saver, wanita itu sama sekali tidak menyentuh laptopnya. Matanya memang melihat ke layar laptop, tapi pandangannya menerawang. Ia membiarkan pikiran-pikirannya berterbangan bebas melewati batas ruang dan waktu. Ia membiarkan bayangan-bayangan masa lalu menyeruak muncul kembali ke permukaan ingatannya. Ia hanya pasrah ketika kenangan-kenangan menyakitkan itu mencekiknya perlahan.

Wanita itu tahu, seharusnya ia tak boleh mengizinkan pikirannya melayang bebas dan menarik masuk bayangan-bayangan buruk itu. Itu hanya akan membuat hatinya sakit. Sesak, karena hatinya terhimpit pahitnya bayang-bayang yang tidak ingin ia rasakan.

Tapi, wanita itu juga tau, meski ia melarang pikirannya untuk terbang bebas dan mencakar semua kenangan yang telah terkubur dalam, dengan egoisnya pikiran itu akan menyeruak keluar dari kuburan-kuburan mereka. Ah sudahlah, tak perlu memikirkan apa yang dipikirkan oleh wanita itu. Toh wanita itu pun tak peduli, ia seperti menikmati setiap detik cengkraman tangan masa lalu di lehernya.

Angin kecil yang berasal dari lubang AC sedikit menyibak rambut hitam sebahu wanita itu yang menutupi sebagian wajahnya. Bersamaan dengan itu, seorang laki-laki dengan pakaian casualmengetuk meja wanita itu dengan sejanga. Sang wanita hanya mengangkat satu alisnya, dan tanpa diminta laki-laki itu menyodorkan secarik kertas. Ah ya! Dan dengan noraknya dia mendekatkan tangan kanannya yang telah dibentuk sedemikian rupa menjadi bentuk telepon ke telinganya. Telepon akuMungkin itu maksud laki-laki tersebut. Laki-laki itu pun pergi setelah mengedipkan mata kanannya, merasa percaya diri jika wanita itu akan meneleponnya nanti. Laki-laki itu terhitung menjadi orang ke-tiga yang memberinya nomor handphone secara cuma-cuma selama 5 jam lamanya wanita itu berada di kafe mewah ini.

"Ini cangkir kopi anda yang ke-empat nona" seorang waiter meletakan cangkir pesanan wanita itu dengan sopan. "kapan kau akan meninggalkan kafe ku?" kesopanan waiter tersebut seolah menguap setelah mengatakan kalimat tersebut dan dia duduk dengan santainya di kursi yang berada tepat di depan wanita itu. Tunggu! Sepertinya dia bukan seorang waiter.

"Aku tak pernah meminta seorang pemilik kafe untuk membawakan kopiku" wanita itu menjawab dengan tak acuh sembari menyesap kopinya. Apa kataku, dia bukan seorang waiter. Oke! Mulai saat ini kita sebut pria tampan itu dengan sebutan 'si pemilik kafe'.

"Ayolah, aku membawakan kopi mu untuk mengusirmu juga. Para pelayanku mana mungkin berani mengusir pecandu kopi seperti mu." Si pemilik kafe merebut cangkir kopi wanita itu dan ikut menyesapnya.

"Aku tahu kopi ku memang yang terbaik, tapi pulanglah! Aku tak suka melihatmu menjadi pecandu kopi seperti ini lagi. Aku sudah bilang kepada pelanku untuk tak menerima pesananmu lagi. Jadi, pergilah setelah kau menghabiskan cangkir kopi ke-empatmu" si pemilik kafe pergi meninggalkan wanita itu dan cangkir kopi yang tinggal berisi setengah.

Wanita itu hanya berdecak kesal melihat cangkir kopinya yang hanya tinggal setengah. Sebenarnya, ia sudah lama meninggal kebiasaan buruk sebagai pecandu kopi. Tapi, lagi-lagi sesuatu di masa lalunya mengembalikan kebiasaan buruknya.

Wanita itu telah kehilangan selera ngopi nya dan hendak membereskan barang-barangnya yang berserakan di meja kafe sebelum seorang pria dengan pakaian hitam melemparkan secarik kertas ke arah mejanya. Oke, dia orang ke-empat!

Tanpa mengisyaratkan apapun pria itu pergi menuju tempat parkir, ia menuju mobil hitam yang berplat nomor luar kota dan mengendarainya meningglkan kafe. Jika boleh jujur pria itu cukup oke, dan sikap cool nya mungkin saja membuat wanita itu tertarik. Dan benar saja, wanita itu membuka secarik kertas yang dilemparkan oleh pria tersebut. Bukan nomor handphone yang ia dapat, melainkan hanya sebuah kata: OUTSIDE.

Tanpa berpikir panjang, wanita itu menoleh ke arah jendela besar. Bukan! Bukan jendela besar, kafe tersebut tidak memiliki satu jendelapun. Kafe itu hanya memperlihatkan dinding-dinding yang terbuat dari kaca. Jadi tanpa melihat jendela pun pemandangan indah di luar kafe jelas terlihat. Tapi, bukan pemandangan indah yang berhasil mencuri perhatian sang wanita, melainkan sesosok pria yang sedang mengambil gambar dirinya dengan menggunakan kamera tua. Tanpa meminta izin, butiran Kristal jatuh ke pipi wanita tersebut.

*****

Hari ini adalah hari ke-tiga ia berjalan-jalan santai di daerah ini. Udara di daearah ini memang sangat sejuk untuk ukuran kota metropolitan. Setelah beberapa menit berjalan, ia akan duduk di sebuah bangku taman di depan sebuah kafe. Tak ada kegiatan khusus yang ia lakukan di sana. Ia hanya menikmati angin sepoi-sepoi di sana sambil memjamkan mata.

Kali ini ia membawa sebuah kamera tua yang ia temukan di tumpukan barang-barang lamanya -hari pertama ia hanya membawa dirinya dan hari kedua dia mengajak Bourbon, anjing kesayangannya-. Mungkin cukup asik juga jika ia bisa menikmati udara segar sambil mengabadikan momen sederhana yang ia lihat nanti.

Hari ini ia banyak mengabadikan momen yang ia lihat. Mulai dari daun kuning yang jatuh di tanah hingga orang-orang yang berlalu lalang di depannya. Ia juga sedikit iseng memotret sepasang kekasih yang sedang bermesraan di sebalah bangku taman yang sedang ia duduki. Andai ia mempunyai seorang kekasih, mungkin yang sedang ia genggam sekarang adalah tangan kekasihnya, bukan malah kamera tua usang itu.

Ia mengedarkan pandangannya, mencari objek foto menarik lainnya. Hingga akhirnya pandangannya tertuju kepada wanita yang sedang duduk di kafe. Wanita itu cantik dengan rambut hitam sebahunya, ia jarang menemukan orang asia yang tidak mewarnai rambutnya tinggal di kota ini. Ini akan menjadi objek foto yang menarik.

Kameranya telah terfokus ke arak wanita itu, kini wanita itu sedang menatap secarik kertas dengan tatapan heran. Oh god! Kerutan di dahinya begitu elok di pandang, tangannya gatal untuk mengusap dahi wanita itu agar tak mengkerut. Berhasil! Gambar wanita itu sempurna, ia akan membidik wanita itu sekali lagi sebelum wanita itu menyadari dan menoleh ke arahnya. Dia tak mau wanita itu mengira dia seorang stalker, dan menjebloskannya ke dalam penjara.

Tapi terlambat! Wanita itu telah menoleh ke arahnya dan menatapnya lama. Ia hendak melarikan diri, tapi ketika matanya bertemu dengan manik hitam milik wanita itu, ia mematung. Tak bisa menggerakkan kakinya untuk kabur. Oke, tak masalah dipenjara untuk beberapa jam karena tuduhan sebagai penguntit -karena wanita itu tidak memeliki bukti yang kuat untuk menuduhnya sebagai penguntit, jadi ia akan segera bebas-, asalkan ia bisa melihat manik hitam nya lebih lama. Entahlah, mata hitamnya begitu memikat pandangan.

Wanita itu bergesas membereskan baranganya dan berjalan mendekat ke arah pria itu. Oh tidak! Wanita itu tidak akan membawanya ke penjara bukan? Ayolah, dia bukan stalker, ia hanya amatir yang memotret apa saja yang menurutnya menarik. Pria itu tanpa sadar menahan nafasnya, ia tidak berani menebak apa yang akan dilakukan wanita itu. Tamparan mungkin bukan sesuatu yang buruk jika dibandingkan dengan dinginnya penjara. Wanita itu semankin mendekat.

"Pieter?" wanita itu menyebutkan nama seseorang dan memegang rahang pria itu.

"Pieter?" ulang sang pria.

-----------------------------

Happy reading😁😁
Abaikan typo😂

The Morning FogTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang