(4) Sial

38 5 0
                                    

Lebih baik terlambat menyadari, daripada tidak sama sekali.

Jam istirahat pertama.

Kantin dan koridor salah satu SMA favorit di Surakarta ini terlihat ramai. Para murid berlalu-lalang sibuk dengan dirinya masing-masing. Ada yang pergi ke kantin, ada yang pergi ke perpus, ada juga yang hanya mengobrol bersama teman di koridor ataupun di kelas.

Namun lain halnya dengan Aksa.

Salah satu makhluk bermuka bak dewa yunani tersebut sedang pergi menjelajah pulau kapuk dengan tenang. Tentu saja karena tidak ada yang berani mengganggunya.

Bagi yang mendekat pasti mendengar dengkuran halus yang keluar dari mulutnya.

Seperti yang Ara lakukan saat ini.

Niat awal akan membangunkan salah satu titisan kebo abadi, sekarang Ara malah diam seperti patung sambil menatap wajah damai Aksa yang sedang tidur.

"Nikmat Tuhan mana yang engkau dustakan," gumam Ara seraya meneguk ludahnya.

Bagaimana tidak? Melihat Aksa yang sedang tidur seperti ini merupakan ujian iman dengan level yang cukup tinggi bagi para perempuan, termasuk Ara.

Alisnya yang tebal, bulu matanya yang cukup lentik, matanya yang apabila dibuka maka akan terlihat iris berwarna biru, hidungnya yang sangat mancung seperti perosotan, bibirnya yang sedikit tebal dan ranum--Ara meneguk saliva-nya dengan susah payah--dan juga rahang yang terlihat tegas.

"Ya Allah, kuatkan hamba-Mu ini," batin Ara seraya menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan sedikit keras.

Beruntung di kelas hanya terdapat beberapa murid yang notabene-nya mereka adalah para kutu buku. Jadi Ara tidak perlu malu jika ada yang menertawakan dirinya, karena sedari tadi Ara hanya berdiri sambil mengamati pemandangan di hadapannya.

Ketika tangan Ara mulai terangkat untuk membangunkan Aksa, bahu Ara ditepuk oleh seseorang.

Ara yang kaget pun refleks menurunkan tangannya sehingga tidak sengaja menggaplok kepala Aksa dengan keras.

"Kampret," umpat Aksa pelan sambil mengelus-elus kepala belakangnya yang terasa berdenyut.

Ara melotot, tidak menyangka bahwa tangannya tadi telah menggaplok kepala Aksa dengan sangat keras, menurutnya.

"Duh Aksa sorry banget maafin gue ya, gue gak sengaja ini," ujar Ara sedikit panik.

Aksa hanya melirik Ara sedikit lalu melengos.

"Si anjir ganggu tidur gue aja," batin Aksa sebal.

"Gapapa," jawab Aksa singkat atau malah cenderung dingin.

Ara meneguk ludahnya dengan susah payah.

"Oi!"

Ara dan Aksa menoleh.

"Ara lu kok ga peka sih. Bahu lu udah gue tepuk juga masih aja diem di sini. Ayo temenin gue ke ruang guru bentar," ujar Radit panjang lebar.

Ara menghela nafasnya, ternyata tadi itu Radit.

"Ogah. Gue mau ke kantin sama Aksa," jawab Ara dengan muka datarnya.

Aksa yang tadinya ingin kembali ke pulau pribadinya itu mengangkat kepalanya lalu memandang Ara dengan penuh tanda tanya.

"Gue nggak ngerasa kalo lu ngajak gue ke kantin," ujar Aksa datar.

Ara memejamkan matanya lalu menghela nafas lagi.

AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang