Pagi ini aku telah bersiap tepat jam 6 pagi. Bukankah sudah bilang bahwa bosku ini amat menghargai waktu? Tak bisa ku lbayangkaan bagaimana reaksinya jika datang terlambat.
Aku melesat menuju lobby untuk menunggu sopir yang katanya akan menjemputku.
Di depan apartemen, sudah ada mobil sport hitam yang kemarin digunakan Rio untuk mengantarku. Apa aku tak salah? Rio mengatakan aku akan di jemput jam 7 dan sekarang baru jam 6.
Aku mencoba mendekati mobil itu untuk memastikan apa dia yang disuruh Rio atau bukan.
“Ify? Sekertarisnya pak Rio, kan? Bapak sudah berangkat dari rumah dan langsung menunggu di bandara,” mengkerutkan alis adalah hal pertama setelah mendengar perkataan pria ini.
“Bisa berangkat sekarang, nona? Saya pikir, kita akan bertemu tepat jam 7 pagi tapi ternyata pak Rio memang tak pernah salah memilih orang sebagai pegawainya.”
“Aku juga berpikir begitu. Cukup lama bapak menunggu?”
“Pak Rio sudah mencengkoki untuk terus datang lebih awal dan jangan sampai orang lain menunggu. Jadi 1 jam bukan masalah.”
“Apa? Mengapa Rio tak bilang akan semua ini? Aku minta maaf karena bapak harus menungguku.”
“Justru ini adalah rekor saya menunggu orang lain dengan cepat. Biasanya jika saya disuruh pak Rio untuk menjemput nona Keke, saya bisa menunggu 3 jam lamanya.”
“Keke?”
“Kita tak punya waktu untuk menjelaskan soal itu nona, bisakah kita berangkat sekarang?”
Aku mengangguk sebagai balasannya. Tak penting juga mengetahui siapa itu Keke.
“Nona bisa panggil saya Roni, atau Rio sering menyebut Abang. Dia pria menyenangkan, bahkan mengizinkan memanggil dengan namanya.”
“Kalau begitu bisa berhenti memanggilku nona, panggil aku Ify," dia mengangguk kemudian tersenyum.
Selama perjalanan menuju bandara, aku dan abang terus saja bercerita tentang banyak hal. Kami tertawa bersama sepanjang jalan.
Aneh, padahal Rio dikelilingi orang-orang berselera humor tinggi seperti paman Duta, Obiet, dan sekarang abang Roni. Tapi kenapa dia begitu dingin?
“Bang, bisa ceritakan bagaimana Rio sebenarnya?”
“Apa kau belum puas? Seingatku kita telah membicarakannya puluhan kali sepanjang jalan.”
“Entahlah.”
“Apa kau menyukainya?” dia melirikku kemudian nyeringai.
“Mana mungkin aku menyukai pria seperti dia. Kau tahu, bahkan aku nyaris tak percaya atas semua yang kau bilang tentang dia barusan. Itu sangat bertolak belakang dengan sifatnya padaku. Apa dia selalu begitu terhadap sekertarisnya?”
“Memang dia bagaimana?”
“Dia pemaksa, sok perfect, dan dingin.”
“HAHAHAHA,” tawanya seketika pecah bahkan bisa ku pastikan, suara terdengar hingga keluar mobil. Aku mengkerutkan dahi. Apa yang salah? Apanya yang lucu? Aku sedang serius.
“Oke oke aku minta maaf soal barusan. Kau lucu sekali.”
“Kutahu itu sejak lahir.”
“Jika yang kau katakan tadi memang terjadi, aku berani bersumpah bahwa aku tak pernah mendengarnya selama ini. Dia memang pria cool yang digilai banyak wanita. Perlakuannya terhadap sekertarisnya selalu sama dengan pegawainya yang lain dia tak pernah membeda-bedakan. Sekali lagi perlu aku tegaskan, dia orang baik.”
Aku diam mendengar jawaban yang belum bisa memecahkan teka-teki di dalam kepalaku.
“Tapi kurasa dia memang sedikit berubah akhir-akhir ini. Aku tak pernah dimintai menjemput sekertarisnya, biasanya dia akan menyuruh supir-supir barunya. Haruskah aku sombong kalau jabatanku adalah supir senior keluarga Haling?”
“Kau sudah melakukannya.”
“Baiklah, kita lanjutkan. Belum lagi aku diminta menjemputmu di apartemen milik Panggrahito yang kelewat terkenal dan mahal. Dia memang selalu memberikan akomodasi tempat tinggal pada setiap pegawainya, hanya saja di apartemen biasa. Biar kutebak, mungkin hanya kau saja yang tinggal di apartemen itu atas nama Rio, iyakan?”
Aku mengangguk.
“Sudah bisa ditebak. Dia selalu mendapat apa yang dia mau dengan semua caranya.”
“Haruskah aku tersanjung atau takut akan semua ini?”
“Takut? Dia bukan orang jahat. Aku memang tak tahu apa sebenarnya niatnya dibalik semua ini, tapi dapat dia tak akan menyakitimu. Lihatlah dirimu Ify, kau cantik dan menarik. Kurasa Rio mulai tertarik padamu," pria kembali nyeringai sambil menaik turunkan alisnya.
“Berhentilah nyeringai seperti itu.”
“Baiklah baik. Asal kau tau, kata-katamu barusan mirip sekali dengan Rio.”
Mengapa dia senang sekali menggodaku?!
Tak berapa lama, kami telah sampai bandara. Bang Roni tak turun dan mengucapkan selamat jalan padaku. Dia hanya berhenti di tempat drop drive. Katanya dia terlalu banyak urusan. Terserahlah.
“Terimakasih bang.”
“Seharusnya aku yang berterimakasih.”
“Untuk apa?”
“Untuk segala sifatmu yang mengingatkanku pada putri kecilku," aku tersenyum mendengarnya.
“Kurasa dia seorang putri yang cerewet sepertiku.”
“Juga kecantikannya sepertimu.”
“Bolehkah nanti kita bertemu dengannya?”
“Sure,” bang Roni tersenyum. Ternyata dibalik tubuh gempalnya, pria ini punya sisi melankolis jika berhubungan dengan anaknya.
“Aku harus ke dalam sekarang. Kau tau kan Rio bagaimana.”
“Andai aku bisa melupakan itu Ify. Cepatlah sebelum kau disuruh jalan kaki hingga Spanyol.”
Benar kata bang Roni, Rio telah sampai di bandara. Kurasa dia lebih dulu datang dibanding aku. Oh bukannya sudah jelas.
“Akhirnya kau sampai juga. Kukira bang Roni akan lama menunggumu.”
“Mengapa tak bilang jika bang Roni sudah menunggu sejak jam setengah 6 pagi? Dia jadi harus menungguku hingga satu jam lamanya.”
“Cukup cepat.”
“Apa?”
“Kita harus boarding sekarang.”
Dia pun pergi begitu saja meninggalkanku. Apa tak bisa barang sekali saja dia tak pergi seenak jidatnya meninggalkanku? Dia pikir aku ini siapanya? Aku sekertarisnya yang harusnya mengatur semuanya untuknya bukan sebaliknya.
Seingatku ini masih pagi dan Rio sudah berhasil menghancurkan mood ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Night
Fantasy[TAHAP REVISI] Arylin Salifyna Umari merasa aneh dengan bosnya sendiri karena melarangnya melihat malam. "Memang ada apa dengan malam?" Sebaliknya Arios Adirajada Haling direktur muda dengan sikap dingin yang suka mengambil keputusan sendiri kini t...