Rumah itu terlalu mencolok ketika Didi pertama kali melihatnya, yang akhirnya ia langsung cocok untuk ditempati. Cat rumahnya dominan putih. Halamannya terbuat dari batu granit alami. Tak ada pagar pemisah antara halaman dengan jalan. Soal jalan itu sendiri, entah dari mana developer menamainya Jalan Sumur no. 13, padahal di samping kiri-kanan rumah itu tidak berdiri bangunan lain, hanya sebidang tanah merah yang ilalangnya dibiarkan meninggi. Di antara lahan yang penuh ilalang itu, rumah jadi terlihat besar sekali.
Malam mulai gelap. Rumah Jalan Sumur no. 13, yang dihuni pasangan suami Istri Didi dan Ratih itu mulai temaram akibat lampu komplek yang berpendar satu per satu. Rumah itu seperti berdiri seorang diri. Seolah dikucilkan dari kelompok rumah yang dikembangkan developer-nya.
Malam itu, Didi mendapat telepon dari kantornya agar hadir dalam sebuah pertemuan.
"Di, kamu mau ke kantor?" tanya Ratih.
"Kayaknya iya deh. Si Bos minta aku buat nemenin tamu dari Kanada."
"Lho kok bukan Si Bos yang nemenin, malah kamu?"
"Iya maksudnya aku sama bos. Kita lagi dapat projek pembangunan mall. Bos pengen aku membahas desain bangunannya kepada si Kanada itu."
Ratih mengerti, hanya saja ia mengulum tangannya yang berkeringat, berharap suaminya tidak ikut dalam pertemuan itu.
"Di, malam-malam gini, kamu kok mau nemenin orang lain? Istri sendiri siapa yang nemenin?" rayunya.
Sebenarnya Didi luluh terhadap rayuan maut istrinya itu, akan tetapi keprofesionalan dalam bekerja harus ditegakkan. Jadi mau tak mau ia memilih pergi memenuhi permintaan bosnya.
Didi tersenyum berusaha meredam rayuan Ratih, "Aku ga' lama kok."
Tetapi Ratih tidak puas dengan senyuman suaminya.
Ketika mulutnya ingin mengucapkan pulangnya jangan malam-malam ya, kalimat Didi lebih dulu menyambar, "Rumah kita ini cukup terang kok. Ga' gelap-gelap amat. Ilalang yang tumbuh di samping dan belakang rumah sudah tidak tinggi lagi. Aku sudah minta satpam komplek buat ikut jagain lingkungan sekitar rumah."
Perasaan Ratih tetap tidak enak. Rasa cemas soal suara di dinding itu masih belum reda.
"Sudah, ya. Aku berangkat. Kamu ga' usah khawatir."
Ratih dipeluk dengan penuh rasa kasih sayang. Kepala Ratih menyandar di bahu suaminya, dan tangan Didi mengusap rambut istrinya itu. Kemudian Didi mengecup kening istrinya.
"Jangan pulang malam-malam, ya," akhirnya kalimat itu terucap juga.
Didi sudah di dalam kendaraannya, lalu pergi meninggalkan istrinya sendirian di rumah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ketuk Pintu Rumah Kami
HorrorRatih cemas mendengar kegaduhan dari balik dinding. Setelah hampir setiap malam mendengar suara-suara itu, Ratih minta kepada suaminya agar pindah rumah. Tetapi Didi tidak serius menanggapi istrinya karena mereka baru saja membeli rumah di Jalan Sum...