#4

1.4K 168 4
                                    

"Tih, kamu tadi tidak membukakan pintu untukku—"

Ratih mendengarkan suara itu dengan saksama.

"―Terpaksa aku langsung masuk."

Tanpa sadar Ratih sudah terduduk di tempat tidur. Ia tak ingat kapan pakaiannya berganti menjadi setelan baju tidur.

Lelaki yang bicara itu sudah berdiri di depannya.

"Aku mengetuk pintu rumahmu tadi, tapi kamu sepertinya sudah tidur. Makanya aku langsung masuk ke sini," katanya dengan suara datarnya.

"I—iya, tidak apa-apa, Di," ujar Ratih. "Apa kamu yang mengganti pakaianku?"

"Tidak. Bukan. Kamu sudah seperti itu sejak tadi."

"Hahaha... Masa iya? Aku tidak sempat make-up jadinya."

"Aku tak mau membuatmu repot-repot berdandan. Bagiku, itu tak penting."

"Eh, Di. Tadi waktu kamu belum datang, ada kejadian aneh, deh."

"Kejadian apa?"

"Masa tadi ada orang ketuk pintu, pas aku buka ga' ada siapa-siapa. Aku kira itu satpam yang kamu minta jagain rumah. Tapi aku perhatiin satpamnya lagi patroli."

Tidak ada suara dari lawan bicaranya. Ratih rasa, lawan bicaranya itu sedang mendengarkan ceritanya.

"Terus yang ngetuk pintu siapa? Kamu ya?" kata Ratih geli sambil bercandai lawan bicaranya. "Dasar jahil. Ngapain ngetuk pintu, masuk aja. Kan, kamu bawa kunci cadangan."

"Iya. Itu aku, dan aku tak punya kunci cadangan."

Perasaan aneh tiba-tiba muncul dari benak Ratih. Bagaimana ia masuk kalau tidak punya kunci? Jangan-jangan ia maling!

Ditatap lagi orang yang di depannya itu, namun tak jelas. Pandangannya buram seperti penglihatan orang rabun. Ia hanya melihat sebentuk wajah. Rahangnya Persegi dengan bola mata yang hitam. Sepintas bentuk rahangnya mirip wajah suaminya namun kulitnya pucat nampak tak sehat.

"Aku sudah memberitahumu jauh-jauh hari tapi kamu rupanya tak mengerti."

Pandangan Ratih makin tak jelas ketika menundukkan ke arah kakinya. Ratih merinding melihat ke bawah orang itu. Ia hanya melihat lubang yang dalam dan berhawa dingin berpijak di bawah pria itu. Tak berjalan, tak melayang, tetapi muncul begitu saja seolah menembus kasur dan lantai di bawahnya.

"Bahkan suamimu tak paham. Atau jangan-jangan suamimu pura-pura tak mendengar."

Ratih mundur dari posisi duduknya beberapa senti. Ia waspada terhadapnya. Jelas orang itu bukan maling. Maling mana yang bisa menembus dinding lantai kamarnya?

"Aku rasa hidupku semakin tidak nyaman. Rumahku menyempit. Aku terhimpit atap dan tembok. Pergerakanku sekarang terbatas. Tak sebebas dulu sewaktu aku masih perwira perang kemerdekaan."

Dalam kewaspadaannya itu, Ratih mulai paham misteri suara gaduh yang didengarnya belakangan ini.

"Sebetulnya aku senang ketika kamu mendengar suara yang aku buat. Kamu terbangun dan suamimu tidak. Aku ingin menampakkan sosokku, tetapi cinta suamimu menghalangiku. Sekarang, suamimu sedang pergi. Inilah kesempatanku, Tih."

"Tidak, kamu mau apa? Jangan menggangguku," teriak Ratih. "Pergi!"

"Tidak apa-apa, kan? Tak salah juga kalau aku yang kesepian di bawah situ mendambakan kasih sayang? Aku kira selama ini aku hidup. Ternyata sebaliknya. Sudah berapa lama aku di situ? Hhmmm... kurasa sudah lama sekali."

Kalimat 'Aku kira selama ini aku hidup' sangat mengganggu pikiran Ratih. Ia begidik setelah yakin sosok didepannya itu memang bukan manusia.

"Kamu ini apa? Datang dari mana?" Ratih memberanikan bertanya seperti itu.

"Panjang. Ceritanya sangat panjang. Kamu ingin tahu sepenuhnya atau itu hanya pertanyaan basa-basi?"

Ratih menyesal karena sudah bertanya seperti itu, karena sebenarnya ia tak ingin mendengar cerita seram apapun di rumah ini. Suara-suara di dinding tempo hari yang berulang-ulang saja sudah membuat pikirannya ingin meledak.

"Tidak. Maafkan aku. Aku menyesal telah bertanya. Sekarang, kamu pergi dari rumah ini. Pergi!"

Makhluk itu menatapnya tajam. Ada semburat senyum sinis mengancam keselamatan Ratih.

"Oh tidak semudah itu. Aku sudah menunggu saat-saat seperti ini sejak lama."

Tiba-tiba ia melayang mendekati Ratih yang mulai terpojok di sudut ruangan. Lengan transparan itu menjulur mencoba menyentuh kulit Ratih.

"Akan kutunjukkan sesuatu."

Ratih melonjak ketika zat transparan itu berhasil menyentuh kulitnya.

Ia seperti terlempar jauh ke masa lalu. Tubuhnya berseragam perang. Ada emblem bendera Indonesia di lengan kanannya. Sebuah lencana berbintang tersemat di kerah sebelah kiri. Perlengkapan senjata sudah ditanggalkan dari tubuhnya oleh sekawanan prajurit perang dari negara lain. Prajurit itu adalah mereka yang pernah menjajah Indonesia masa perang dunia kedua.

Lalu Ratih melihat sebuah sumur yang dalam. Kepalanya pusing ketika tak sadar bahwa tubuhnya sekarang tercebur ke dalam sumur. Ruangan itu seperti berputar-putar di kepalanya. Suara cipratan air membahana setelahnya. Kulitnya menggigil kedinginan sambil meronta-ronta akibat tak bisa berenang karena kedua tangan dan kakinya terikat oleh rantai yang digantungi pendulum. Pendulum itu sangat berat. Tak ada guna meronta-ronta sebab tak berpengaruh apa-apa pada rantai itu. Ditambah lagi ia mulai kehabisan tenaga. Rantai yang mengekang itu tak mudah untuk dilepas.

Cahaya matahari penerangan satu-satunya di sumur itu meredup. Diikuti oleh gelak tawa prajurit biadab dari permukaan. Kemudian keadaan yang gelap perlahan menutup matanya sehingga tinggal menunggu waktu sampai akhirnya ia tewas tenggelam.

Jangan Ketuk Pintu Rumah KamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang